29.7 C
Jakarta

Islam Nusantara Menangkal Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahResonansiIslam Nusantara Menangkal Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pandangan dan tindakan radikalisme yang berkembang di Indonesia, sebenarnya dapat dihadapi dengan corak keagamaan yang ditampilkan oleh Nahdlatul Ulama. Nahdlatul Ulama, dalam praktik keagamaannya bercorak Islam Nusantara. KH. A. Mustofa Bisri (Islam Nusantara, Makhluk Apakah Itu?. 2015), berpendapat bahwa Islam Nusantara dapat dipahami secara sederhana melalui pendekatan ilmu nahwu. Jika Islam Nusantara, diposisikan sebagai bentuk idhofah, maka idhofah bisa ada tiga alternatif makna,  lam, fii atau juga bisa makna min. Jadi, tinggal memilih makna yang tepat asal jangan disamakan dengan ‘Islam Sejati’.

Praktik keislaman yang sudah dikembangkan oleh orang-orang nusantara, yang mengembangkan Islam yang rahmatan lil ‘Alamin, Islam yang ramah, damai dan teduh. Islam yang mampu memberikan sebuah nilai terhadap peradaban Indonesia dan dunia. Islam yang selama ini sudah diajarkan oleh guru-guru Islam di masyarakat, yang diperoleh dari guru-guru sebelumnya hingga sampai sanadnya kepada Rasulullah SAW.

Konsep Islam Nusantara, senafas dengan Islam Rahmatan lil ‘Alamin. Dan sesungguhnya goal dari konsep gerakan Islam nusantara adalah mewujudkan ajaran dan nilai-nilai Islam yang damai, toleran, santun, ramah, serta berkarakter bagi semesta raya (Isom Yusqi, dkk, Mengenal Konsep Islam Nusantara, 2015). 

Sementara itu, Azyumardi Azra (Islam Nusantara, Jaringan Islam Global dan Lokal, 2002), mengenai Islamisasi di nusantara, memberikan pandangan bahwa proses islamisasi—pada masa awal—di  kawasan nusantara yang tidak seragam dalam pola waktu pengenalannya dan karakter budaya lokal yang harus dihadapi oleh Islam. Seperti misalnya apresiasi masyarakat nusantara terhadap kehadiran Islam, berbeda-beda. Pada masyarakat pesisir yang cenderung bersifat terbuka dan kosmopolit, Islam lebih mudah untuk masuk. Berbeda halnya dengan apresiasi dari masyarakat agraris yang ada di pedalaman, mereka lebih cenderung tertutup.

Dalam dua karya besarnya (Islam Nusantara, Jaringan Islam Global dan Lokal, 2002dan Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, 2007, Cet. III), terkait karakteristik mendasar jaringan ulama ketika melakukan islamisasi di nusantara, Azra menegaskan mengenai peranan ulama dan murid-muridnya dalam jaringan ulama, dengan penuh keyakinan mampu memainkan peran strategis dan penting untuk melakukan berbagai pembaruan wacana dan sekaligus praktik keislaman pada tingkat lokal. Jaringan ulama yang dimaksud di antaranya adalah, mereka yang berpusat di Haramain, dengan dua titik masjid agung di Makkah dan Madinah, sekitar akhir abad ke-15, sampai abad ke-16 dan 17. Mereka terdistribusi pada kawasan dakwah dengan sebaran ke Samudra Hindia yang meliputi; Afrika Utara dan Timur, Arabia Selatan dan Timur, Anak Benua India, dan Nusantara.

Pembaruan wacana dan praktik keislaman yang dilakukan oleh ulama saat menyebarkan Islam di Nusantara, berimplikasi pada pengembangan keilmuan Islam di generasi berikutnya, atau setidaknya membuka ruang interpretasi yang lebih progresif terhadap teks dan konteks. Dan akhirnya mewarnai ranah pengembangan ushul fiqh dan kaidah fiqh, tasawuf, sampai kepada politik dan kebangsaan.  Seperti yang diungkap oleh KH. Afifudin Muhajir, dalam tulisannya “Meneguhkan Islam Nusantara Untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”, bahwasannya paham dan praktik keislaman pada masyarakat muslim nusantara merupakan hasil dari dialektika antara teks syari’at dan realitas sosial dan budaya lokal. Contoh lain, adalah ide dari Hasbi Ash-Shiddiqie tentang “Fikih Indonesia” yang dilontarkan pada tahun 1961an, yaitu sebuah konsep fikih yang dirumuskan dan ditetapkan sejalan dengan kepribadian Indonesia dan karakter Indonesia. Dan, gagasan “Pribumisasi Islam” yang dilontarkan oleh KH. Abdurrahman Wahid, yang mengedepankan ‘urf (adat, budaya) serta kebutuhan lokal sebagai bahan pertimbangan dalam proses istinmbat hukum atau penetapan hukum Islam (Akhmad Sahal, Kenapa Islam Nusantara?, 2015).

BACA JUGA  Perang Gaza dan Matinya Kemanusiaan di Barat

Metodologi Islam Nusantara

Dari perspektif metodologi, Abdul Moqsith Ghazali (Metodologi Islam Nusantara, 2015) melihat bahwa kehadiran Islam Nusantara bukan untuk mengganti doktrin keagamaan (Islam) yang sudah ada. Namun, kehadirannya hanya  untuk mendialogkan Islam dengan konteks kultur, budaya, dan adat masyarakat yang beragam. Moqsith menawarkan metodologi dalam Islam Nusantara dengan pendekatan mashlahah mursalah, istihsan, dan ‘urf.  Keluwesan pandangan keagamaan NU melalui konseptualisasi Islam Nusantara yang bisa ditempuh dengan tiga pendekatan tersebut memperlihatkan apresiasinya yang besar terhadap hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam membangun sebuah peradaban. Ulama terdahulu selalu mengakomodasi kreasi budaya yang sudah berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat. Sebenarnya, mendikotomikan antara Islam dengan tradisi adalah bukan langkah yang bijak, tapi justeru Islam harus berdialog dengan kebudayaaan, selama budaya-tradisi itu tidak mengubah pokok ajaran Islam. Karena keduanya saling berkelindan, disatu sisi ‘urf-tradisi membutuhkan ajaran dan nilai Islam agar tradisi tidak meluluhlantahkan nilai-nilai universal kemanusiaan. Pun di sisi yang lain, Islam memerlukan ‘urf sebagai lahan untuk menanam ajaran Islam.

Menangkal Radikalisme

Islam Nusantara hadir pula untuk mengimbangi gerakan yang dilakukan oleh kelompok puritan, yang dalam beberapa kesempatan sering mengarah pada tindakan yang radikal. Agus Muhammad (Islam Nusantara di Tengah Gelombang Puritanisme, 2008), mendasarkan peranan Islam Nusantara di tengah gempuran kelompok puritan, pada beberapa hal yaitu, pertama, bahwa puritanisme dengan pengertiannya yang ekstrem, keras dan radikal tidak sejalan dengan tata kehidupan warga muslim di Indonesia yang lebih mengedepankan karakter keberagamaan yang moderat, toleran, dan akomodatif. Kedua, kelompok Islam tradisional memiliki perangkat yang menjadi pendukung keberlanjutan nilai, ajaran dan praktik keagamaan mereka, seperti lembaga pesantren yang ada dihampir setiap pelosok nusantara. Bahkan, dalam perkembangannya pesantren kemudian banyak yang mendirikan lembaga formal dari tingkat dasar, menengah, termasuk perguruan tinggi dengan out put santri yang mendalami kajian khazanah klasik sekaligus berwawasan global dan kekinian. Dan ketiga, dalam konstitusi Indonesia, UUD 1945, tidak memberi ruang berdirinya negara Islam, seperti apa yang diusung oleh kelompok puritan yang berkembang pada abad ke-20.    

Gun Gun Heryanto (Agenda NU-Muhammadiyah, Republika, 2015), berpendapat bahwa NU, dengan paham keagamaannya yang menampilkan kekhasan Islam Nusantara, mampu menengahi kepentingan komunitas masyarakat keagamaan yang hak-haknya terabaikan. Namun dengan tetap merawat tradisi Islam yang toleran, dalam menjaga tatanan keadaban berbangsa. Hal ini diungkapkan pula oleh Azyumardi Azra (Pasca dua Muktamar, Republika, 2015), berharap pasca muktamar, NU (ke 33 di Jombang) dan juga Muhammadiyah (ke-47 di Makassar), kembali bergiat untuk mengusung Islam Nusantara yang dapat dimaknai pula sebagai Islam wasathiyah, yang diantaranya untuk menangkal paham dan tindakan radikalisme.

Mengatasi radikalisme dengan pendekatan regulatif belaka apalagi dengan cara-cara represif, tidak akan menghasilkan capaian yang substantif. Alih-alih mengurangi atau menghilangkan radikalisme, justeru yang ada akan memberi ruang bagi tumbuh suburnya gerakan ini. Namun dengan pendekatan paham keagamaan yang moderat, Islam nusantara, diyakini akan mampu mengikis paham radikal yang sering berhujung pada terorisme.

Atau, Islam Wasathiyah—meminjam istilah yang ditulis Azyumardi Azra—yang oleh NU dirumuskan menjadi Islam nusantara. Sehingga, dapat mengokohkan semangat kebangsaan dan menepis gerakan radikalisme, menuju tatanan warga bangsa yang damai. Dan toleran serta membawa rahmat bagi peradaban dunia. Wallahu’alam bi al-Shawab.

Oleh: Dr. Iyan Fitriyana

Penulis, adalah Ketua STAI Wasilatul Falah, Kabupaten Lebak, Banten.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru