31.8 C
Jakarta

Aktor Politik Siluman itu Bernama FPI

Artikel Trending

KhazanahPerspektifAktor Politik Siluman itu Bernama FPI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Rusuh-rusuh negeri tidak pernah berhenti. Keributan perihal ideologi yang hendak diganti, oleh sementara kalangan, jadi kabar harian. Ada Jemaah Anshar al-Tauhid (JAT). Belum lagi ada yang terang-terangan mengaku sebagai pengikut ISIS. Ada juga yang tiarap sejenak, tetapi tak pernah menyerah, yaitu Hizbut Tahrir. Di antara kelompok-kelompok ekstrem tersebut, ada lagi yang berjalan di antara kerumunan pecinta NKRI, meski sering bernarasi sebaliknya. Mereka adalah Front Pembela Islam (FPI).

Mengulas tentang FPI tidak perlu terlalu ke belakang, ke latar historisnya. Habib Rizieq, imam besar FPI, sangat dicintai oleh pengikutnya. Satu lagi, sang habib juga dinantikan kepulangannya. Tidak seperti Hizbut Tahrir dan JAT yang melakukan konfrontasi terang-terangan, dengan bom bunuh diri misalnya, FPI memiliki cara tersendiri. Sebulan yang lalu, sang juru bicara, Slamet Maarif, mengaku telah bertanda tangan di atas surat bermaterai, bahwa mereka setia pada NKRI dan Pancasila (CNN, 27/11).

Tanda tangan tersebut, kata Maarif, menjadi alasan kuat eksistensi mereka, dan Kemendagri dianggap tak ada alasan untuk menolak perpanjangan surat keterangan terdaftar (SKT) FPI sebagai ormas. Sehari setelah Maarif menyatakan begitu, Kamis (28/12), Tempo mengabarkan bahwa Kemanag menerbitkan rekomendasi perpanjangan SKT dimaksud. “Siapapun yang setia kepada NKRI, Pancasila, dan UUD 1945, harus dirangkul, dibina, dan diajak kerjasama,” jelas Nur Kholis Setiawan, sekretaris Kemenag.

Tetapi ada masalah di sini. Harus segera didiskusikan, sekalipun misalnya SKT tetap harus dikeluarkan Kemendagri. Jum’at (27/12) lalu, saat menggelar aksi bela Muslim Uighur di depan Kedubes China, Jakarta, dilansir dari 5News, ketua umum FPI, Sobri Lubis mengutarakan pentingnya mendirikan khilafah di negeri ini. Tak tanggung, kata Sobri, khilafah merupakan cerminan amat UUD 1945. “Insyaallah Imam Mahdi akan menjadi khilafah umat Islam. Imam Mahdi pasti datang jadi khilafah,” teriaknya.

Apa sebenarnya yang ada dalam benak FPI? Mengaku setia NKRI, bertanda tangan di atas surat bermaterai, tetapi suatu waktu juga menyerukan berdirinya khilafah? Apakah mereka tengah memainkan politik siluman mereka?

FPI Cinta NKRI di Atas Kertas

Hanya ada dua jawaban atas pertanyaan di atas. Pertama, FPI memiliki kerancuan konsep tentang NKRI Bersyariah, tak jelas arahnya, sehingga tampak mensinkretiskan NKRI dan khilafah. Tiadanya konsensus tentang NKRI Bersyariah, di kalangan internal FPI, barangkali adalah penyebabnya. Kedua, sikap-sikap FPI akan kesetiaan NKRI hanyalah bualan belaka. Itulah politik siluman yang sedang dilakonkan. FPI adalah aktornya. Mereka menjebak Kemendagri dengan legalitas surat bermaterai.

Tetapi, di sisi yang lain, apakah kita harus terkejut dengan rekomendasi SKT tersebut? Saya pikir tidak perlu. Dilansir Detik, Maarif sang juru bicara juga berbicara soal tudingan anti-Pancasila terhadap mereka. Katanya, seharusnya pemerintah tidak menyebarkan berita bohong, hoax. Ia kukuh meyakinkan bahwa selama 21 tahun tak ada masalah pertentangan ideologis antara FPI dan NKRI. Ia benar-benar membuat pemerintah tak berkutik. “Ya yang kami rasakan itulah (dipersulit),” ungkapnya.   

Di atas kertas, FPI mengaku setia NKRI. Di atas realitas, mereka menyerukan khilafah, yang notabene merongrong keutuhan NKRI itu sendiri. Artinya, ada kesenjangan antara tindakan mereka menandatangani surat kesetiaan kepada Negara dan Pancasila, dengan AD/ART FPI. Jika demikian, maka ada dua kemungkinan. Kalau bukan karena mengelabuhi pemerintah demi terbitnya SKT, mungkin FPI memang setia kepada NKRI. Mereka berjalandi dalam remang-remang, siluman, antara setia dan tidak.

Mencintai NKRI dan setia kepada Pancasila di atas kertas adalah sebuah keabsahan secara konstitusional. Sehingga, eksistensi FPI tidak akan terancam, selama SKT diperpanjang, atau selama masih memiliki badan hukum yang diakui Negara. Masalahnya, bersamaan dengan itu pula, ia akan menjadi sumber dari segala kekacauan (chaos) narasi keberagamaan. Semacam benalu, ia akan sedikit demi sedikit mengikis keutuhan negeri. Saya pikir, itu bukanlah persoalan yang ringan. Tidak.

BACA JUGA  Melihat Lebaran dengan Spirit Memerangi Intoleransi dan Radikalisme

Lalu beberapa orang beragumen, bahwa kiprah FPI untuk menjaga marwah Islam di Indonesia tidak bisa disepelekan. Mereka berjasa, misalnya, mengkonter supremasi non-Muslim terutama dalam aspek politik. Tetapi, apapun alasannya, cinta NKRI dan setia Pancasila tak cukup di atas kertas: sangat manipulatif! 

Utopia-Utopia FPI

Saya pikir sudah bukan rahasia lagi, bahwa konstruksi AD/ART adalah orientasi organisasi itu sendiri. Segala tindak-tanduk dinamika organisasi yang menyalahi AD/ART, pada akhirnya, akan dianggap menyimpang, dan wajib diperbaiki. Penandatanganan janji setia NKRI-Pancasila kontradiktif dengan AD/ART FPI, yakni penegakan khilafah Islamiyah dan NKRI Bersyariah, maka yang salah adalah penandatanganannya. Poinnya, pasti ada rencana besar yang sedang disembunyikan.

Pasti ada agenda yang sedang disusun, sembari mencari dalih demi keberlangsungan eksistensi. Dan kalau pun hipotesis ini benar, maka agenda itu tidak jauh dari dua hal berikut. Pertama, supremasi Islam secara ekonomi dan politik. Kedua, superioritas Muslim daripada non-Muslim perihal muamalah bahkan aktivitas-aktivitas keberagamaan. Itulah esensi NKRI Bersyariah yang digaung-gaungkan FPI. Mereka tetap ingin NKRI berdiri, tetapi Islam dan Muslim, dalam segala aspeknya, harus menjadi penguasa.

Tentu saja cita-cita utopis ini mengesampingkan kesetaraan setiap warga Negara tanpa memandang suku, ras, dan agamanya. Islam digaungkan untuk menjadi high power, tanpa memerhatikan kemungkinan buruk yang akan terjadi. Siapa yang dapat menjamin bahwa sistem bernegara Islami ala FPI tersebut selamat dari eksploitasi dan intrik para politikus? Tidak ada. Power tends to corrupt, istilahnya. Kesewenang-wenangan akan dilakukan pemilik power, dan chaos pun jadi tak terhindarkan.

Politik siluman yang diperankan oleh FPI, yang rancu antara cinta NKRI dan cinta khilafah, berubah-ubah mengikuti dinamika kepentingan. Mungkin sinyal-sinyal jeratan hukum sudah tiba, tetapi yang bersangkutan selamat. Isyarat akan turunnya SKT juga mungkin jadi kabar gembira kepada mereka. Mereka sudah unggul dalam mengincar legalitas secara konstitusional. Paham radikal jadi laiknya bayangan, ada tapi tak tersentuh. Mereka hanya menunggu komando imam besarnya, Habib Rizieq.

Habib Rizieq sebagai Ikon

Sekarang mungkin kita juga perlu bertanya: apakah FPI adalah gerakan Islam radikal? Antara iya dan tidak. Kalau pun iya, jika disahkan oleh undang-undang, maka keberadaannya tidak dapat diusik karena memiliki badan hukum. Kalau pun tidak, segala rupa aksi mereka mengisyaratkan konfrontasi radikal terhadap ideologi Pancasila, meski caranya lebih halus dari JAT, ISIS, dan HT. FPI tak ingin menganti ideologi Negara, atau lakukan bom bunuh diri. Lalu aksi-aksi mereka menunjukkan yang  sebaliknya.

Sang imam besar, Habib Rizieq, adalah ikon instruksi pergerakan politik mereka. Alasan kenapa FPI lebih diterima daripada ormas lain adalah pola politik siluman tadi. Dalih dan argumentasi mereka kuat, sehingga iklim radikalnya menjadi samar. Mereka pun tampak sebagai para pejuang Islam sejati, yang berusaha mengembalikan kejayaan Islam di masa lalu. Sebagai ikon, tak perlu banyak kata dari Habib Rizieq. Bahkan seandainya ada instruksi, tidak langsung pun, mereka akan secara ikhlas melakukannya.

Oleh karena menjaga NKRI adalah kewajiban universal setiap warga Negara Indonesia, maka segala pergerakan kontra-produktif harus dikonter semaksimal mungkin. Tidak ada ruang untuk mengganti ideologi Pancasila, apalagi menanamkan benih-benih radikalisme. Intrik politik harus dibongkar, agar siasat para aktor politik, termasuk politik siluman ala FPI ini, tidak menemukan momentumnya. Tetapi masih tersisa satu pertanyaan: bagaimana sikap kita seharusnya dengan politik siluman ini?

Sejujurnya, kita hanya melindungi NKRI, bukan maksud melawan seorang habib, yang oleh sebagian orang dimaksumkan laiknya Nabi Muhammad. Politik tetaplah politik, tak pandang siapa aktornya. Radikalisme tetaplah radikalisme, seberapa erat pun ditutup, akan tercium pula baunya. Karenanya, politik siluman ala FPI juga mesti kita tanggapi secara mekanisme presisi: silakan saja SKT FPI keluar, tetapi jika sifat silumannya belum insaf, dan selalu menggaungkan khilafah, cabut saja badan hukumnya!

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru