30 C
Jakarta

Arab Spring Dan Runtuhnya Rezim Otoriter di Negara-Negara Timur Tengah

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahArab Spring Dan Runtuhnya Rezim Otoriter di Negara-Negara Timur Tengah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Negara-negara Timur Tengah pada umumnya adalah negara-negara eksportir minyak dunia. Negara yang ada di kawasan tersebut secara politik juga dipimpin oleh para rezim diktator dan otoriter. Pemerintahan yang otoriter tersebut bisa dilihat setidaknya dari beberapa hal, mulai dari partisipasi politik dan keberadaan partai politik yang sangat terbatas. Pergantian kekuasaannya seringkali didapat dari hasil kudeta dan juga pewarisan tahta. Kemudian, kebebasan berekspresi masyarakat sipil yang sangat dibatasi.

Masa kekuasaan yang begitu lama para rezim di negara-negara seperti Tunisia, Mesir, Yaman, Aljazair, Suriah, Libya, dan Sudan ternyata tidak membawa banyak kemajuan di negara-negara tersebut. Bahkan, krisis ekonomi semakin menjerat rakyat di negara-negara tersebut. Hal itulah yang kemudian melahirkan gerakan aksi protes masyarakat terhadap para pemimpin di negara-negara tersebut, yang kemudian disebut dengan Arab Spring atau Musim Semi Arab.

Arab Spring adalah istilah politik yang menggambarkan tentang gelombang gerakan massa yang revolusioner di Timur Tengah pada tahun 2011. Arab Spring dan runtuhnya para pemimpin otoriter berawal dari sebuah tragedi yang terjadi di Tunisia, saat terjadi aksi bakar diri oleh seorang pemuda Tunisia yang bernama Muhammad Bouazizi di kota Sidi Bouzid. Aksi bakar diri tersebut adalah bentuk protes dan keputusasaan Bouzizi atas sikap represif dan ketidakadilan rezim Zainal Abidin Ben Ali.

Mohammed Bouazizi adalah anak buruh tani, yang berdagang buah dan sayuran sebagai satu-satunya cara untuk menafkahi keluarganya yang berjumlah 8 orang. Namun gara-gara tidak memiliki izin, barang dagangannya bolak-balik disita aparat kota Sidi Bouzid. Berulang kali dia membela diri dan mengupayakan untuk mendapatkan izin, serta pengembalian barang yang disita. Tapi ijin tidak keluar, dan dia malah justru dilecehkan dan dikejar-kejar oleh aparat.

Pada 17 Desember 2010, di usianya yang ke-26 tahun, dalam keadaan depresi, Bouazizi membakar dirinya di depan kantor Gubernur. Tanggal 4 Januari 2011, nyawanya pun tak tertolong. Dan setelah itu, dalam kurun waktu 10 hari, tiga anak muda Tunisia lainnya, mencoba bunuh diri, karena frustasi sebab kesulitan hidup di negara yang lowongan pekerjaan profesionalnya sangat langka. Berawal dari Provinsi Sidi Bouzid di Tunisia inilah, para demonstran kemudian menuntut rezim Ben Ali turun karena buruknya situasi ekonomi, korupsi, dan tingginya tingkat pengangguran di Tunisia.

Dengan segera, Bouazizi menjadi simbol perlawanan rakyat atas rezim Ben Ali. Tidak kuat menghadapi demonstrasi dan kerusuhan-kerusuhan yang terus terjadi, Ben Ali akhirnya melarikan diri ke Jeddah, Arab Saudi. Larinya Ben Ali menandai berakhirnya pemerintahan yang telah dipimpin selama 23 tahun.  Aksi bakar diri dan gerakan protes di Tunisia kemudian menarik banyak perhatian dari negara-negara Timur Tengah dan Internasional. Apalagi aksi-aksi tersebut selalu disebarkan melalui media sosial dan juga media Internasional Aljazeera.

Kemunculan fenomena Arab Spring disebabkan oleh krisis politik, ekonomi dan pemerintahan di beberapa negara Timur Tengah. Faktor-faktor yang menjadi latar belakang Arab Spring, sebagaimana disebut di awal yaitu rezim otoriter yang berlangsung selama puluhan tahun di negara-negara Timur Tengah. Tingginya tingkat kesenjangan sosial dan ekonomi di negara-negara Timur Tengah. Keinginan masyarakat Arab untuk memperbaiki sistem sosial, politik, ekonomi dan pemerintahan. Kemunduran dalam hal hak-hak politik dan kebebasan sipil di beberapa negara Timur Tengah.

Gelombang protes besar yang terjadi selanjutnya adalah di Mesir pada 25 Januari 2011 atau yang dikenal dengan Hari Kemarahan yang bertepatan dengan Hari Kepolisian Nasional, di mana ribuan orang berkumpul di Lapangan Tahrir mengecam tingginya harga pangan, kurangnya lapangan pekerjaan, korupsi, dan sistem pemerintahan yang otoriter.  Di hari pertama demonstrasi, para demonstran menyoroti pengangguran dan krisis pangan. Karena krisis yang terjadi bukanlah akibat musim tanam yang buruk seperti yang diberitakan, namun akibat buruknya akumulasi kapital melalui pengambilalihan hak milik dan atau hak penguasaan atas tanah atau basis produktif masyarakat ke tangan para oligopol kapitalis.

Banyaknya kaum muda yang menganggur, tingginya korupsi di pemerintahan, serta kesenjangan antara kaya dan miskin yang semakin menjadi-jadi membuat rakyat turun ke jalan menuntut mundurnya Presiden Husni Mubarak. Gerakan massa yang terus terjadi sejak 25 Januari 2011 membuat Mubarak akhirnya mengundurkan diri pada 11 Februari 2011, dan menyerahkan pemerintahan kepada pihak militer. Mubarak yang telah berkuasa selama 30 tahun, akhirnya menyerahkan wewenangnya kepada militer.

Sedangkan di Libya, Muammar Qadafi lengser dari jabatannya setelah 42 tahun berkuasa. Bahkan, dia dibunuh oleh para pemberontak. Berbagai konflik yang terjadi di Libya tidak lain mempunyai hubungan erat dengan corak pemerintahan Qadafi yang otoriter. Tindakan represif militer terhadap rakyat sipil,  dan pelarangan pembentukan partai politik serta pembatasan kebebasan masyarakat sipil juga ditengarai sebagai penyebab protes terhadap pemerintah di Libya yang berakhir dengan konflik.

Di Yaman pada 20 Januari 2011, terjadi gerakan besar yang menuntut mundurnya Presiden Ali Abdullah Saleh. Demonstrasi massa yang berlangsung selama tiga bulan dan menyebabkan sejumlah kematian membuat Ali Abdullah Saleh melepaskan jabatannya setelah berkuasa selama 33 tahun. Enam tahun setelah pengunduran dirinya, Saleh dibunuh oleh pemberontah Houthi yang pernah menjadi sekutunya sekaligus yang menggulingkan dirinya saat menjadi presiden.

Di Aljazair, gerakan massa menuntut mundur Presiden Abdelaziz Bouteflika. Sebabnya tidak lain karena pemerintahannya dianggap tidak mampu mengatasi masalah harga makanan, kekurangan perumahan, serta ketidakpuasan politik dan sosial. Presiden Abdelaziz Bouteflika akhirnya mengundurkan diri setelah demonstrasi berlangsung hampir berminggu-minggu. Jabatan yang telah digenggamnya selama 20 tahun harus hilang.

Pemimpin otoriter terbaru yang mengundurkan dan dikudeta dari jabatannya akibat gelombang demonstrasi yang sangat besar adalah Omar Bashir yang selama 30 tahun menjadi presiden Sudan. Selama kepemimpinannya, Sudan diembargo oleh Amerika Serikat dan dimasukkan ke dalam negara pendukung teroris. Bashir juga dituduh telah melakukan genosida terhadap rakyatnya yang ada di Darfur. Dan akhirnya harus lengser pada 2019 silam setelah terjadi krisis dan demonstrasi besar-besaran yang memakan banyak korban.

Fenomena gerakan massa di berbagai negara, yang berani menuntut mundur dan melengserkan rezim-rezim otoriter merupakan fenomena baru di kawasan Timur Tengah. Walaupun tidak semua gerakan demonstrasi di Timur Tengah berhasil menurunkan rezim otoriter, namun gerakan tersebut telah menunjukkan bahwa rezim-rezim otoriter di Timur Tengah belum tentu kebal dari perubahan.

Nur Hasan, Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru