31.1 C
Jakarta

Konferensi Negev dan Sekuel dari Normalisasi Hubungan Arab-Israel

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahKonferensi Negev dan Sekuel dari Normalisasi Hubungan Arab-Israel
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Konferensi Tingkat Tinggi Negev yang dilaksanakan pada tanggal 27-28 Maret 2022 menjadi salah satu konferensi penting di Timur Tengah yang diselenggarakan oleh Israel dan negara-negara Arab lainnya pada tahun ini, dimana konferensi ini telah telah banyak diliput oleh media-media berskala regional maupun internasional terutama Al Jazeera dan Anadolu Agency yang kemudian menjadi perbincangan hangat mengenai dinamika politik di kawasan tersebut. Konferensi tersebut dilangsungkan di Sde Boker yang berlokasi di padang gurun Negev, dimana tempat perkebunan atau yang dikenal sebagai kibbutz ini merupakan tempat peristirahatan terakhir Perdana Menteri pertama Israel yaitu David Ben Gurion sejak tahun 1973 dan tempat ini dipilih oleh pemerintah Israel sebagai bentuk penghormatan terhadap pembentukan negara Israel, sehingga dengan memilh Sde Boker tersebut dapat diketahui bahwa tempat ini juga akan memiliki nilai tambah dari aspek historis dikarenakan menjadi tempat konferensi Arab-Israel untuk pertama kalinya setelah ketegangan diantara kedua blok tersebut selama bertahun-tahun.

Tidak hanya mengenai pemilihan Sde Boker sebagai lokasi dari berlangsungnya konferensi, konferensi ini juga dihadiri oleh beberapa negara Arab yang notabene merupakan sekutu Israel dan Amerika Serikat, yaitu Israel, Amerika Serikat, Mesir, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko, dimana keempat negara Arab yang disebutkan terakhir ini dilibatkan dalam konferensi ini sebagai “buah manis” dari normalisasi hubungan Arab-Israel yang dicanangkan oleh AS beberapa tahun lalu untuk semakin merekatkan persatuan antara setiap sekutu-sekutu AS di Timur Tengah. Perlu diketahui pula bahwasannya ketiga negara Arab ini – mulai dari Uni Emirat Arab, Bahrain – telah memulai normalisasi hubungannya dengan Israel sejak tahun 2020 lalu, dimana konferensi Negev yang dipandang sebagai momentum bersejarah bagi Israel ini menjadi sekuel dari normalisasi hubungan Israel-Arab pasca pengesahan kesepakatan Abraham Accord atau dikenal sebagai Perjanjian Abraham pada tanggal 13 Agustus 2020 lalu oleh mantan presiden AS Donald Trump. Kesepakatan yang dimulai dengan penandatanganan kerjasama antara AS, Israel, UEA, dan Bahrain ini menjadi proyek diplomasi yang dilakukan oleh Trump sebelum akhirnya mundur dari jabatannya pada tahun 2021, dimana kesepakatan ini digagas oleh Trump sebagai bentuk strategi politik untuk menghimpun kembali Israel dan negara Arab dalam merajut kerjasama berskala penuh di Timur Tengah dan penandatanganan perjanjian yang dilakukan oleh UEA dan Bahrain terhadap normalisasi hubungan dengan Israel kemudian disusul dengen keikutsertaan Sudan dan Maroko untuk membuka hubungannya dengan Israel pada masing-masing bulan September dan Desember 2020.

Dengan keempat negara Arab tersebut yang sudah menormalisasi hubungannya dengan Israel – ditambah dengan Mesir yang sudah melakukan perjanjian damai dengan Israel sejak tahun 2011 – maka konferensi Negev ini menjadi bentuk lanjutan dari normalisasi hubungan Arab-Israel yang sudah bergaung sejak permulaan abad ke-21 dan dapat dipandang pula oleh akademisi politik Timur Tengah bahwa aliansi Israel dengan negara Arab yang mayoritas beraliran Sunni mulai resmi mendapatkan bentuknya untuk memperkuat keamanan kolektif sesama negara mitranya. Agenda pembahasan dari konferensi yang berlangsung selama dua hari ini tertuju pada dua agenda utama, kerjasama ekonomi dan pembentukan front politik-keamanan antara Arab-Israel di kawasan, dimana kedua agenda ini telah lama menjadi perhatian utama bagi AS dalam merekatkan hubungan antar sekutunya di kawasan dan dengan penyelenggaraan konferensi tersebut maka harapannya kerjasama pada kedua bidang tersebut akan semakin intensif dalam menyikapi perkembangan geopolitik di Timur Tengah kedepannya. Pertama ialah kerjasama ekonomi antara Arab-Israel, dimana pertemuan pertama konferensi yang dihadiri oleh keenam menteri luar negeri dari masing-masing negara tersebut mulai mengadakan pembahasan mengenai pembukaan kembali tiga sektor ekonomi utama yaitu kerjasama perdagangan komoditas antar negara, penguatan sektor pariwisata, dan pembangunan sektor energi terbarukan dalam menghadapi perubahan iklim. Sebagaimana diketahui bahwa Israel juga merupakan penyedia komponen teknologi terbesar kepada negara seperti UEA dan Bahrain, dan dengan adanya konferensi ini maka setiap negara yang tergabung di dalamnya akan saling mampu bekerjasama pada bidang ekonomi untuk bersama-sama mendorong tercapainya kemajuan ekonomi bagi setiap negara.

Kedua ialah kerjasama politik-keamanan yang hendak dicapai oleh Israel, AS, dan keempat negara Arab lainnya, dimana agenda kerjasama pada politik-keamanan yang dibahas dalam konferensi tersebut lebih tertuju pada penguatan solidaritas antara Israel dengan negara Arab untuk menghadapi Iran sebagai musuh utama dari negara-negara “Sunni” di kawasan Timur Tengah. Solidaritas yang hendak dibangun oleh Israel dan negara Arab ini memang tidak lepas dari pengaruh rivalitas Arab Saudi-Iran yang sudah berlangsung lama di kawasan, dimana setiap konflik yang muncul di Timur Tengah tidak lepas dari polaritas Sunni-Syi’ah yang diwakili oleh kedua negara tersebut dan perang proksi yang juga dilancarkan oleh Arab Saudi dan Iran di setiap wilayah konflik – seperti Irak, Yaman, dan Lebanon – tentu memiliki implikasi yang besar terhadap instabilitas politik dan keamanan di Timur Tengah. Selain itu, Iran yang saat ini sudah memiliki proyeksi kekuatan yang mumpuni di kawasan – terutama program nuklir dan pengerahan proksi pro-Syi’ah seperti Hezbollah, Houthi, dan lain sebagainya – tentu dapat memberikan legitimasi dan modal politik bagi Iran dalam mengembangkan proyek geopolitiknya yaitu Shi’ite Crescent yaitu persatuan negara Syi’ah yang akan membentang mulai dari Iran hingga Lebanon, sehingga pengaruh politik yang dimiliki oleh Iran saat ini akan memberikan ancaman kepada kelompok negara Sunni di kawasan Teluk.

Tidak hanya negara Sunni, Israel sebagai satu-satunya negara Yahudi di Timur Tengah juga mendaptatkan ancaman yang luar biasa dari keberadaan Iran, dimana relasi antara Iran-Israel seringkali tertuju pada ketegangan dan konflik politik yang sebagian besar didominasi tentang isu kepemilikan nuklir dan pendudukan Palestina dan dengan posisi Iran saat ini yang sudah sedemikian kuat melalui proksinya di Timur Tengah, maka persamaan ancaman antara Israel dengan negara Arab terhadap keberadaan Iran disatu sisi mendorong mereka berdua untuk membangun solidaritas di kawasan dan sekaligus membangun kerjasama politik-keamanan yang lebih komprehensif dalam menghadapi Iran. Kedua agenda tersebut menjadi pembahasan utama yang dicanangkan dalam konferensi tersebut pada beberapa waktu yang lalu dan bukan tidak mungkin bahwa orbit Israel-AS dalam kawasan tersebut akan menjadi lebih kuat pada waktu mendatang. Namun demikian, kendati pembahasan dalam konferensi tersebut berfokus pada dua agenda yang telah disebutkan di atas, namun ada satu agenda tersembunyi yang hendak dicapai oleh Israel dan negara Arab lainnya, yaitu mendirikan poros reaksioner yang bisa dikatakan “berlawanan” dengan kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah, khususnya mengenai kemungkinan perundingan nuklir dengan Iran pasca AS keluar dari JCPOA tahun 2018.

Sebagaimana prioritas pemerintahan Biden yang tertuju pada penegasan komitmen AS untuk kembali berunding dengan Iran mengenai program nuklir yang dimiliki oleh Iran, Israel dan keempat negara Arab tersebut mulai bersikap “waspada” dengan langkah AS tersebut dikarenakan keputusan Biden dalam membuka dialog dengan Iran dikhawatirkan akan membuak peluang bagi Iran dalam mengembangkan program nuklirnya lebih jauh lagi dan pelonggaran hubungan AS dengan Iran untuk kembali memulai pembicaraan ini juga disatu sisi memberikan kekhawatiran kepada Israel dan negara Arab lainnya akan potensi kebangkitan Iran, sehingga dalam konferensi ini Israel mulai menetapkan dirinya sebagai inisiator dalam forum tersebut dan sekaligus mengesampingkan peran AS dalam pelaksanaan konferensi tersebut. Selain itu, menurunnya performa AS di Timur Tengah juga menjadi agenda rahasia dari Israel dan negara Arab lainnya, dimana fokus AS mulai terpecah sebagai akibat dari perang Rusia-Ukraina yang masih berlangsung hingga saat ini yang membuat AS dan Uni Eropa harus mengerahkan fokusnya dalam menghukum Rusia untuk keluar dari sistem internasional atas perbuatannya.  Selain itu, agresivitas China di kawasan Indo-Pasifik yang semakin merepotkan negara tetangganya seperti Jepang dan Korea Selatan tentu semakin membuat AS harus bermain di dua kubu untuk menahan dua kekuatan tersebut dari mendapatkan pengaruh yang luas dalam politik internasional dan kompetisi kekuatan besar antara AS, Uni Eropa, Rusia, dan China saat ini telah membuat pengaruh AS semakin menurun di Timur Tengah, sehingga dengan kekosongan peran AS di kawasan tersebut maka Israel dan negara Arab saat ini hendak mengambil peran yang ditinggalkan AS tersebut untuk tetap mengonsolidasikan hubungannya dengan sekutunya dan sekaligus menekan Iran di kawasan.

Dhien Favian A, Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru