30.8 C
Jakarta

Ancaman Teror di Tengah Pandemi, Haruskah Waspada?

Artikel Trending

EditorialAncaman Teror di Tengah Pandemi, Haruskah Waspada?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hari Kamis (9/4/2020), alias nanti sore, jam 14.00 s/d 16.00 WIB, akan berlangsung diskusi publik dalam jejaring (daring/online) bertajuk “Mewaspadai Ancaman Teror di tengah Pandemi” di kanal YouTube livestream http://bit.ly/KTUI_Diskusidaring. Acara berkualitas tersebut akan diisi oleh beberapa tokoh yang ahli di bidang terorisme. Menarik sekali.

Beberapa tokoh diundang sebagai narasumber. Brigjen Pol I.R. Hamli, M.E., Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) adalah salah satunya. Dosen Kajian Terorisme UI dan Psikolog Terorisme Dr. Zora A. Sukabdi, M.Psi dan Pengamat Terorisme UI Ridwan Habib, M.Si adalah dua narasumber lainnya.

Sementara moderator berasal dari pihak penyelenggara diskusi, Sapto Priyanto, M.Si selaku pengurus Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia. Apa daya pikat, sisi menarik, dari diskusi daring ini? Jawabannya adalah: topiknya. Alih-alih membahas COVID-19 justru diskusi ini hendak mengulas teror-teror yang ada di baliknya.

Perihal teror di tengah wabah COVID-19, sudah kita ulas, sebenarnya, pada tulisan yang lalu, Teror-teror di Tengah Virus Corona. Jelas teror yang dimaksud bukanlah bom bunuh diri atau pun aksi sadis lainnya. Upaya mengikis kepercayaan masyarakat terhadap presiden dan pemerintah secara umum, menebar ketakutan, kebencian, dan stigma, bukankah itu juga teror?

Momentum-momentum Teror

Bagaimana diskusi daring ancaman teror di tengah pandemi COVID-19 akan berlangsung, kira-kira apa saja gejala ancamannya, bisa diikuti langsung. Tetapi ada yang perlu kita perhatikan secara serius: betulkan separah itu ancamannya sehingga perlu diangkat menjadi diskusi? Sekelas UI menggelar diskusi terorisme saat musim pandemi, berarti memang ada yang perlu diwaspadai.

Sebagaimana kita tahu, ia tidak pernah terjadi dalam hampa momentum. Ia pasti menunggangi momentum tertentu. Bom bunuh diri selalu terjadi di keramaian, maka keramaian itulah momentumnya. Tetapi dalam konteks pandemi, bagaimana ia hendak dijadikan momentum? Krisis kemanusiaan macam apa yang akan menghantui masyarakat?

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) sudah empat bulan mencipta geger dunia. Dalam masa empat bulan juga, banyak tatanan sosial kita berubah, atau terpaksa berubah. ISIS menebar teror bahwa COVID-19 adalah azab bagi negara-negara Barat—negara kafir. Di Indonesia COVID-19 juga memantik teror. Ia dianggap azab Tuhan, tentara Tuhan, hingga konspirasi Iluminati.

Kasus terbaru, Ali Baharsyah, aktivis HTI yang baru saja ditahan oleh kepolisian, menebar teror bahwa Presiden Jokowi goblok dan tidak mampu mengurus COVID-19. Ia hendak mendelegitimasi kinerja pemerintah, menggerus kepercayaan masyarakat, mencipta chaos antarwarganegara. Kalau pemerintah tidak lagi dipercaya rakyat, narasi khilafah bak menemukan cairan pelumas—mudah tersebar.

Oleh karena itu di tengah semangat untuk memutus mata rantai COVID-19, kita juga harus pintar membaca pemanfaatan COVID-19 sebagai momentum penebaran teror. Adalah berbahaya, jika seiring physical distancing, lockdown, atau pembatasan sosial berskala besar (PSSB), kerukunan antarmasyarakat juga hilang. Yang beruntung adalah para pelaku teror. Jelas.

BACA JUGA  Strategi Kontra-Radikalisasi Berbasis Keadilan Hukum

Keniscayaan kita adalah tetap menjaga kepercayaan terhadap pemerintah, sembari saling pangku tangan dalam menghadapi pandemi ini. Jangan sampai dimanfaatkan para penebar teror, hingga masyarakat berada dalam kelengahan. Pandemi adalah pandemi. Narasi apapun jika untuk memojokkan partisan tertentu, itulah teror. Ia beraksi dalam titik lengah kita.

Teror di Titik Lengah Kita

Bagaimana cara membaca kelengahan kita dalam menghadapi pandemi ini, adalah pekerjaan yang mudah sekali. Tinggal kita lihat diri masing-masing. Saling menyalahkan para pemangku kebijakan? Semakin tidak kompak menghadapi pandemi COVID-19? Atau merebaknya kebencian di mana-mana? Semua ini adalah indikasi kesuksesan penebarannya.

Kita, masyarakat, digiring ke dalam satu perspektif tertentu. Perspektif tanpa solidaritas, perspektif yang dihantui rasa takut, dan perspektif yang membenturkan nilai-nilai agama dengan maraknya wabah, lalu menyeretnya ke dalam stigmatisasi. Dalam tataran demikian, adalah kemustahilan jika COVID-19 akan berakhir.

Atau pandemi tersebut mungkin berakhir, tetapi teror-teror masih menghantui kepala kita. Indonesia boleh jadi telah aman dari virus, tetapi virus kebencian terhadap presiden masih menggerogoti otak kita. Itulah kenapa tidak salah ketika dikatakan, virus khilafah lebih ganas dari virus Corona. Sebab, COVID-19 hanya merusak raga, sementara teror itu merusak mindset kita.

Jika begitu, apakah kita perlu waspada? Sudah tidak perlu ditanya lagi. Kewaspadaan adalah keniscayaan. Bukan saja untuk melindungi raga kita dari serangan virus, melainkan juga memproteksi diri dari rusaknya mindset kita. Rusaknya solidaritas, rusaknya kemanusiaan, rusaknya kepercayaan kita selaku warga negara terhadap pemerintah.

Sekali lagi, ini yang perlu digarisbawahi. Hanya karena tidak berbentuk bom bunuh diri, bukan berarti kita tidak sedang diteror. Ia beragam rupa. Yang lebih berbahaya dari hancurnya tubuh kita sebab bom adalah hancurnya mindset kita. Siapa pun yang mindset-nya sudah terkena teror, nasihat apapun, dari siapapun, tidak akan masuk. Otaknya akan menjadi bebal.

Konklusi

Tentu tidak akan ada yang menginginkan ini terjadi. Cukuplah pandemi memakan banyak korban, jangan menambah korban dengan merusak otak kita akibat teror. Cukuplah COVID-19 menjadi bencana fisik, jangan bencana kemanusiaan. Adakah dari kita yang ingin rugi berlapis-lapis: kehilangan raga sekaligus kehilangan jiwa kemanusiaan?

Jika tidak, maka menjaga titik lengah adalah salah satu langkahnya. Menjadi niscaya untuk menutup ruang serapat-rapatnya terhadap kemungkinan teror menggerogoti diri kita. Berlindung diri adalah keharusan. Bukan dengan cara berdiam diri di rumah saja. Yang paling efektif adalah dengan mengedukasi diri dan sekitar, terhadap ancaman teror itu.

Apakah mengikuti diskusi daring yang diselenggarakan Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia itu termasuk langkah alternatif? Bisa jadi. Proteksi diri dari ancaman teror di tengah pandemi adalah kewajiban bersama.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru