30.2 C
Jakarta

Tugas Media Keislaman atas Maraknya Buku Bermuatan Radikalisme

Artikel Trending

EditorialTugas Media Keislaman atas Maraknya Buku Bermuatan Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Buku, sebagai medium pengetahuan, memegang peran sentral dalam mengonstruksi pemikiran dan pandangan masyarakat. Jika buku yang mendominasi masyarakat muatannya progresif, maka peradaban akan maju karena kognisi masyarakat yang visioner. Sebaliknya, jika buku-buku yang tersebar justru bermuatan negatif, kemunduran nasional akan jelas terjadi. Yang terakhir inilah masalah kita bersama, hari-hari ini.  

Ancaman radikalisme kini semakin merambah lewat narasi terselubung dalam literasi kita. BNPT RI, beberapa hari lalu, mengajak pelbagai unsur pemerintah dan masyarakat untuk bersama menjaga keselamatan ideologi bangsa dengan sikap kritis terhadap buku-buku yang disusupi narasi radikalisme dan terorisme. Imbauan tersebut bukan tanpa dasar. Infiltrasi buku dengan muatan tersebut nyata dan perlu diwaspadai bersama.

Namun, apa yang dimaksud buku bermuatan radikalisme itu? Ia boleh didefinisikan sebagai karya tulis yang mengusung pemikiran atau ideologi ekstrem, yang sering kali terkait dengan paham-paham anti-NKRI dan ideologi Pancasila. Contohnya, buku seri “Tauhid For The Greatest Happiness” karangan Aman Abdurrahman, dedengkot JAD yang kini mendekam di penjara. Jenisnya beragam, antara karya asli, terjemah, bahkan ensiklopedi.

Lantas, bagaimana mendiagnosanya? Mendeteksi buku berbahaya memerlukan tingkat kewaspadaan yang tinggi. Unsur-unsur yang perlu dicurigai mencakup bahasa provokatif, ajakan kekerasan, dan pembenaran terhadap tindakan terorisme. Para stakeholders, dalam hal ini, mesti memiliki pemahaman mendalam terhadap konten buku untuk mengidentifikasi potensi bahaya. Harus menguasai seluk-beluk radikalisme, maksudnya.

Jika hendak ditanya terkait pelaku penyebaran buku-buku bermuatan radikalisme di sekitar, mereka dapat berasal dari kelompok atau perseorangan yang terafiliasi ideologi tertentu. Melacak asal-usul dan jejak keuangan penerbitan buku tersebut menjadi kunci untuk menghentikan produksi dan distribusi. Yang jelas, aktornya tidak jauh dari para teroris, simpatisan, bahkan oknum eks-napi teroris yang nakal.

Bagaimana kebijakan strategis untuk menanggulangi ancamannya? Langkah awalnya ialah menegakkan regulasi terkait penerbitan buku dan meningkatkan pengawasan di industri penerbitan—yang selama ini longgar. Densus 88, Kemenag, Kesbangpol, dan lainnya mesti meningkatkan sasaran monitoring untuk mengidentifikasi dan melaporkan keberadaan buku berpotensi radikal, baik penerbit indi maupun mayor.

Tentu saja tantangannya banyak, terutama karena hari ini ada e-book yang dapat disebarluaskan tanpa bisa dikontrol. Untuk itu, bersamaan dengan langkah taktis tadi, kesadaran masyarakat juga perlu dihidupkan. Sikap kritis dan proaktif menjadi kunci mereka. Ini semua untuk melindungi generasi muda dari ancaman paham yang dapat merusak fondasi kebhinekaan dan memantik disintegrasi bangsa.

BACA JUGA  Mitigasi Radikalisme Setelah Perang Iran-Israel

Selanjutnya, apa peran media keislaman seperti Harakatuna dan lainnya, untuk mengejawantahkan sikap kritis dan proaktif tersebut? Jawabannya: kompleks. Di tataran edukasi, kajian intensif tentang keislaman dan talkshow-diskusi urgen dilakukan secara rutin. Media keislaman wajib menyoroti nilai-nilai toleransi dan perdamaian, serta menggelar talkshow untuk membahas radikalisme yang mungkin muncul dalam buku-buku sekitar.

Selain itu, media keislaman juga secara persisten harus menaikkan artikel yang merespons dan mengoreksi suatu narasi. Menerbitkan esai dan opini dari tokoh-tokoh keislaman yang membantah dan memberikan klarifikasi terhadap pemahaman yang salah dalam buku-buku radikal, sebagai contoh, akan sangat efektif. Namun, esai populer dari penulis-penulis muda dengan ghirah kontra-radikalisme yang tinggi juga krusial diangkat.

Sama krusialnya juga dengan penggunaan platform digital seperti podcast dan webinar untuk memberikan pemahaman tentang cara mendeteksi dan menghindari buku-buku berbahaya yang beredar di dunia maya. Output-nya, misal, menghasilkan materi visual yang mudah dipahami, seperti infografis dan video edukasi, untuk menyampaikan pesan tentang bahaya buku radikalisme yang berseliweran di sekitar kita.

Adapun social media campaign, alias kampanye media sosial tentang anti-radikalisme, semisal dengan dengan tagar khusus yang fokus pada penolakan buku-buku bermuatan radikalisme, atau mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dan menyuarakan keprihatinan terhadap ancaman tersebut, itu lebih menjadi tugas individual daripada kolektif. Fungsinya adalah penyemarakan dan pemerataan kesadaran masyarakat.

Intinya, partisipasi aktif seluruh pihak dalam menyebarluaskan informasi positif dan berkontribusi dalam menangkal paham radikal adalah sesuatu yang niscaya. Sinergisitas dengan lembaga keagamaan dan pemerintah untuk mengeluarkan fatwa terkait dan menyosialisasikan langkah-langkah pencegahan juga tidak boleh absen dilakukan. Sampai akhirnya buku-buku bermuatan radikalisme itu punah dan, atau, tidak laku.

Melalui pendekatan yang holistis ini, media keislaman bertugas di garda terdepan dalam menyadarkan masyarakat tentang bahaya buku-buku bermuatan radikalisme yang semarak di sekitar kita. Peningkatan literasi dan pemahaman yang benar tentang ajaran Islam menjadi kunci untuk membentengi masyarakat dari ancaman pemikiran yang dapat merusak persatuan dan kebhinekaan di negara tercinta, Indonesia.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru