32.7 C
Jakarta
Array

Teruntuk Kampret dan Cebong

Artikel Trending

Teruntuk Kampret dan Cebong
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hai pret..bong..

Gimana kabar kalian? Semoga tekanan darah kalian baik-baik saja. Tapi tampaknya, usai Pilpres agak sulit untuk berada pada tekanan darah stabil. Apalagi ketika melihat postingan kalian semakin menjadi-jadi. Kadang saya merasa lucu melihat postingan kalian saat saling berdebat. Kampret ramai mempersalahkan Quick Count dari berbagai Lembaga Survei.

Lalu tak mau kalah, si cebong menertawakan kampret sambil berkata “Dasar bodoh, otak itu di pake bukan dengkul. Ambisi banget sih loh menang, sampe gak bisa nerima kekalahan gitu.” Saya jadi teringat masa kecil dulu ketika bersama kakak pun sering bertengkar dan tak ingin mengalah. Dan sekarang saat dewasa, saya hanya bisa tertawa geli mengingat masa itu. Mungkin itu juga yang kalian alami. Di usia 73 tahun Indonesia merdeka, ternyata rakyatnya masih belum dewasa.

Hai pret..bong..

Sejujurnya, meskipun kalian kadang membuatku tergelitik saat bertengkar, saat ini saya merasa takut. Takut bahwa pertengkaran kalian semakin tak sehat dan menjadi dendam. Saat kecil dulu, saya dan kakak bertengkar, namun beberapa jam kemudian akur dan saling berbaikan, tanpa memikirkan permasalahan yang sebelumnya terjadi. Namun hei…pernahkan kalian hitung sudah berapa lama kalian saling bermusuhan? Ku pikir itu hanya saat kampanye dan debat Pilpres. Tapi ternyata, usai Pilpres pun permusuhan itu semakin menjadi. Saling menghujat dengan kata-kata kasar.

Dan paling membuatku tak habis pikir, bagaimana bisa kalian saling mengklaim bahwa kelompok kalian penduduk surga sedangkan kubu yang lain ahli neraka. Siapa yang menjamin? Pak Jokowi? Pak Prabowo? Padahal kalian pasti lebih tahu, karena masing-masing kalian mengklaim paling agamis dengan bancking-an para ulama, bahwa Surga dan Neraka hanya Tuhan-lah penentunya. Bukan hanya cinta, tapi ternyata Pilpres mampu menghilangkan kewarasan berpikir.

Hai pret..bong…

Kalian sadar tidak? Kalian berkoar-koar bahwa pilihan kelompok kalian yang paling benar dan akan membawa Indonesia jauh lebih baik. Kalian merasa bahwa perjuangan kalian ini pun untuk tanah air dan rakyat Indonesia. Tapi kalian sadar tidak, koaran kalian sudah di luar batas dan malah menjadi pemecah bangsa ini? Masihkah “Tulus” niat itu untuk Indonesia kita? Saya tak ingin meragukannya. Apalagi kalian tak di bayar semoga untuk membela pilihan kalian. Tapi….Tolong, sudahi!! Sudahi  pertengkaran ini. Bukankah dulu kalian berdua teman mengaji? Bukankah dulu kalian berdua teman dekat? Bukankah dulu kalian suka saling like postingan medsos? Bukankah dulu kalian sering jalan bersama? Apakah hanya karena berbeda pilihan kalian menjadi terpecah dan saling menyakiti? Atau mungkin memang ketulusan itu sudah tergantikan oleh rasa “gengsi”.

Hai pret…bong…

Saya tidak pernah takut siapa yang akan menjadi presiden selanjutnya. Apakah itu dari kelompok cebong yang katanya akan menghapus pendidikan agama Islam. Atau kah dari kelompok kampret yang katanya akan mengganti Pancasila. Karena saya percaya dengan pilihan Tuhan yang Maha Esa dan meyakini bahwa rencana-Nya adalah yang terbaik.

Namun, ketakutan ku yang sebenarnya adalah ketika kalian berdua terus mengagung-agungkan pilihan kalian. Hingga pada saat hasilnya keluar, yang ada hanyalah kekecewaan. Kelompok yang tak naik akan kecewa, karena pilihannya tak menang. Sedangkan kelompok yang naik, senang sesaat, lalu mulai mengalami kekecewaan. Karena selama ini mereka hanya melihat kelebihan pilihan kubu mereka. Menutup mata bahwa orang yang diperjuangkan selama ini hanyalah seorang manusia biasa yang tak pernah luput dari tempatnya salah.

Dan saat menemukan celah dari kesalahan presiden, kubu seberang akan menyerang dengan kata “Seandainya”, sedangkan para pengagum presiden hanya bisa “legowo” termakan janji. Bukankah situasi ini sudah seperti lingkaran setan? Apakah kalian tidak merasa dejavu dengan keadaan ini? Mungkin sebutan kalian “Dulu” bukan cebong dan kampret, tapi sikap dan tingkah kalian masih sama persis seperti hari ini. Semoga ini tidak akan pernah menjadi tradisi.

Dan pada akhirnya, kampret dan cebong, kita harus menghadapi realita dan terus menjalani hidup. Mencari nafkah untuk keluarga, berjualan di pasar, menebar jala di laut, bertani, mencabut rumput untuk pakan ternak, lembur di kantor, membayar listrik, membayar uang sekolah anak, makan nasi tahu tempe, dan mejalani aktifitas keseharian kita dengan perjuangan demi kehidupan yang lebih baik.

Kalian tahu benar-kan, bagaimana lelahnya berjuang mendapat sesuap nasi, maka jangan di recoki dengan situasi panas dan kata-kata pedas yang menyakiti kelompok kita sesungguhya. Rakyat!

Hai pret…bong….

Saya salut dengan perjuangan kalian di Pilpres kali ini. Semangat kalian berbondong-bondong untuk tidak golput dan berpartisipasi memberikan suara demi secercah harapan, bahwa Indonesia kita akan semakin lebih baik kedepanya. Sungguh mulia.

Tapi sudah cukup. Cukup lah perjuangkan kalian sampai pada saat kelingking kalian dibasahi oleh tinta pemilu 17 April. Silahkan tuntut jika ada kecurangan yang di barengi dengan bukti. Silahkan berjuang jika suaramu belum tersampaikan. Tapi sudah cukup perjuanganmu untuk membela para kubu.

Kita sudah sampai pada masanya untuk mengganti ikhtiar menjadi tawakkal. Bahwa penulis skenario terbaik hanya Dia yang Maha Kuasa. Jika kalian masih belum menerima, maka jangan pernah sebut diri kalian hamba Tuhan. Jika kalian masih belum menerima, maka jangan sebut kalian para pejuang rakyat, jika kerja kalian hanya menjadi pemecah yang menebar kebencian.

Hai cebong…musuhmu bukan kampret.

Hai kampret…musuhmu bukan cebong.

Kalian sama-sama lahir di bumi Indonesia. Makan dan minum di tanah yang sama. Membentuk keluarga, anak, cucu dan cicit di ibu pertiwi. Apakah hal itu tidak cukup membuktikan kalian se-bangsa, se-darah, dan bersaudara? Artinya, saudara tidak akan pernah memakan daging saudaranya sediri dengan mengumbar aib, fitnah dan menyakiti hati saudaranya sendiri bukan?!

Ayo move on pret…bong…

Perjuangan kita ke depan adalah berjuang bersama merealisasikan tujuan bagsa ini dan menjadi alarm bagi para wakil rakyat tuk menjalankan amanahnya serta menuntaskan janjinya. Saya paham dengan berbagai ketakutan yang beredar saat kampanye yang mungkin masih membekas di nurai kita.

LGBT akan di legalkan, pendidikan agama islam di hapuskan, komunis akan berkuasa, Pancasila akan di ganti, masa orde lama yang otoriter akan kembali dan berbagai isu yang  bisa membuat kita ketar-ketir saat mendengarnya. Tapi kita tidak akan takut. Karena ada cebong, kampret, dan kita yang saling berangkulan atas nama rakyat Indonesia akan terus berjuang agar anak cucu kita lahir dan dewasa di bumi pertiwi yang kaya, aman, damai dan sentosa. Itulah tugas kita sesungguhnya.

Hai pret..bong..

Tulisan ini adalah secercah keresahan dan kepiluan ku juga segelintir orang yang merasa sedih melihat situasi bangsa ini yang terus memanas dengan lisan yang makin tajam ter-asa. Bangsa ini dikenal dengan keramahan dan kebaikan hati rakyatnya. Tolong jangan warisi anak cucu kita dengan lingkungan kebencian dan sikap temperamen karena rasa ego. Bagaimana pun generasi saat ini adalah cermin generasi mendatang. Mari berikan teladan yang baik. Ayo salaman…

Oleh: Suci Fitrah Syari, menyelesaikan studi di Universitas Tadulako, Prodi Administrasi Publik.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru