27.6 C
Jakarta
Array

Terorisme Bagian dari Kita

Artikel Trending

Terorisme Bagian dari Kita
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Rasanya kita sudah terlalu kenyang dengan prilaku terorisme. Betapa tidak, hampir setiap tahun ada saja yang kejadian terorisme yang menguncang negeri ini. Lucunya, fenomena terorisme seperti sekedar “memorial” saja, habis itu hilang entah kemana, kita hanya mengecam beberapa hari saja, kemudian dengan mudahnya melupakan.

Dalam posisi sebagai korban, terorisme merupakan awal dari rasa sakit yang terus menerus terbuka lukanya, sebab kerinduan terhadap sang terkasih, keluarga sudah tidak mampu lagi terobati. Semua itu karena dalam perbedaan dimensi, antara hidup dan mati memisahkan mereka. Mau menyalahkanpun, siapa yang disalahkan? Kepada teroris, yang seperti hantu, tiba-tiba datang membunuh dan hilang.

Sungguh dilema besar memang, dengan warga yang menjunjung tinggi kebersamaan, persatuan dan gotong royong, ada saja satu dua orang, bahkan kelompok yang tiba-tiba muncul dan meneror. Apa ini karena kita yang sudah terlalu lama menutup mata dan telinga terhadap saudara sekitar kita? Atau mereka yang sebegitu pintarnya menutupi kebengisannya.

Sejujurnya, hampir tidak akan mungkin tumbuh dan berkembang bibit-bibit terorisme jika kita mau sedikit membuka mata dan telinga. Tengoklah sekeliling anda! Adakah keganjilan, adakah kesenjangan, adakah warga yang terlantar hingga adakah seseorang yang jauh dari kekerabatan dan persaudaran.

Sebab saya yakin, akar dari terorisme sejatinya adalah masalah dunia, bukan masalah agama. Sebab jikalah duniamu tercukupi pastinya kau akan terlena dengan itu, tidak akan sempat kau berkoar-koar berjihad dengan darah, cukuplah membuat yayasan yatim piatu, sedekah, dan menjadi donatur lembaga agama, saya rasa cukup baginya, seakan sudah memegang kunci surga.

Tapi, bagi mereka yang dunianya tidak tercukupi, ya jalan paling jelas dan terbuka adalah masa depan akhirat yang indah, impian-impian akan dikelilingi harta dan wanita menjadi impian yang harus dimilikinya. Sebab di dunia ia sudah merasa putus asa, hidup tersandung derita, mau berderma saja sudah tidak bisa. Akhirnya mengambil jalan maut. Dalam bahasa Buya Syafi’i, mengambil jalan teologi maut (jihad bom bunuh diri).

Jadi, hal apa lagi yang ingin “digadaikan” demi masa depan indah diakhirat? Tentunya adalah tenaga, jiwa, raga dan ilmu. Bagi mereka yang pernah belajar agama dengan benar, pastilah mereka memilih jalan baik, bersedekah tenaga, ilmu, menjadi Guru, Ustadz di Surau-Surau, meskipun kesejahteraan dunia tidak mereka dapat, tapi kesejahteraan sepiritual mereka nikmati.

Bagi mereka yang sejak kecil tidak mendapatkan ilmu agama yang cukup, ke manakah mereka akan memperjuangkan impian untuk menikmati indahnya surga? Tentu kepada orang lain yang mereka anggap paham agama. Bagi yang mendapatkan guru yang benar-benar paham agama tentu kebahagiaan baginya.

Namun, bagi yang salah mendapatkan guru, hanya karena ia malas untuk mencari guru, ia malah berselancar di dunia maya mencari guru yang mudah membimbingnya menuju surga dengan jalan pintas, ya sudah.

Dengan berani dan gagahnya ia akan menjudge bahwa dirinya layak menjadi pejuang surga, ia layak menjadi Ahlul Surga, dan ia percaya jika surga sudah layak baginya, sebab darahnya sudah ia korbankan demi Surga, hingga tidak segan-segan ia mau membunuh dan merelakan dirinya dibunuh untuk surga.

Dan ketika itu terjadi, siapakah yang salah? Korban paham terorisme atau kita yang terlalu mengangap remeh terorisme, kita menganggap itu bukan bagian dari kita, itu adalah tugas negara, tugas densus. Kita malah percaya teori-teori bodoh mengenai konspirasi global, pengalihan isu, buatan Amerika hingga rekayasa. Mbokyo mikir, kalau ndak nutut mikirnya ndak usah mengkambing hitamkan lainnya.

Dan yang jelas, ini bukan perkara agama bung! Ini perkara sosial kita. Sebab innaddina nasihah, sesungguhnya setiap agama itu bermaksud baik, cuma perilaku pemeluknya saja yang tidak baik. Dan karena kita mayoritas muslim, ya otomatis isu yang dipakai oleh terorisme itu isu muslim dan lawannya. Sebab isu lain tidak mudah digodok dan digoreng.
Kita lihat, Surabaya sebenarnya kota yang sangat toleransi kawan. Kalian bisa merasakannya ketika bulan Ramadhan, tidak ada warung yang ditutup, semua ada sebagaimana hari biasanya, para tukang becak juga slow aja, ada yang minum es teh di siang bolong, ada juga yang menahan dahaga karena puasa.

Hingga matahari tenggelam, Masjid-Masjid mengumandangkan adzan. Warga berduyun-duyun menuju Masjid, baik yang berpuasa atau yang tidak, mereka sama-sama menikmati hidangan takjil dan nasi bungkus. Itu pun tidak ada yang protes, ini tidak puasa tidak boleh makan disini dan sejenisnya.

Hanya saja ada saja oknum yang pikirannya naudzubillah, mengatas namakan agama menodahi kerukunan yang ada. Kurang indah apa Maqbarah Sunan Ampel, yang tiada hari tanpa diziarahi, makam Mbah Bungkul, Mbah Boto putih dan lainnya, belum lagi para pejuang jihadis, yang tidak rela di injak injak harga dirinya oleh belanda.

Ingat, mereka menyerang Belanda bukan karena agama mereka Kristen atau Kafir, tapi arek arek Suroboyo menentang Belanda karena mereka menginjak-injak harga diri bangsa, kita sudah merdeka tapi mereka tidak menghargainya, dan juga mereka tidak hanya bergemuruh pekik takbir, mereka juga menggemuruhkan umpatan-umpatan khas Suroboyoan.

Dan lagi, sudah cukupilah kicauan-kicauan kalian yang berisi cacian, makian yang menyebarkan kebencian-kebencian itu. Kalian secara tidak langsung membentuk paham pahan terorisme mudah masuk dipemikiran anak anak muda. Kebencian antara kecebong dan kampret, antara pendukung Jokowi dan Prabowo, antara penjual nilai islamis dengan nasionalis, antara kubu kontra pemerintah dan pro pemerintah, kalian-kalian ini yang menyebarkan bibit-bibit kebencian, yang lama-kelamaan akan menjadi cikal bakal terorisme.

Hal ini bukan main-main, sudah banyak tokoh nasional, tokoh agama dan tokoh masyarakat yang tidak sadar jika mereka adalah corong bibit bibit terorisme. Mereka menyebarkan kebencian hanya karena ingin dipuji kelompoknya, dianggap bagian dari kelompok ini, namun tidak sadar jika dari kalian-kalian ini bibit bibit terorisme tumbuh subur, coba sedikit kalian renungkan.

Dan akhirnya, saya menyadari bahwa percuma kalian berempati dan sejenisnya, jika akhir-akhirnya kalian dengan mudahnya menanam bibit bibit permusuhan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru