30 C
Jakarta
Array

Dari Islam Muram dan Seram, Menuju Islam Cinta dan Ramah

Artikel Trending

Dari Islam Muram dan Seram, Menuju Islam Cinta dan Ramah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dita Oepriarto adalah kakak kelas saya di SMA 5 Surabaya Lulusan ‘91 dan FE UNAIR Surabaya. Saya tidak pernah kenal langsung sama dia, tapi cukup bisa berempati dan memahami pergolakan batin dan nuansa pemikiran garis kerasnya.

Dia bersama-sama istri dan empat orang anaknya berbagi tugas meledakkan diri di 3 gereja di surabaya. Keluarga yang nampak baik-baik dan normal seperti keluarga muslim yang lain, seperti juga keluarga saya dan anda ini ternyata dibenaknya telah tertanam paham radikal ekstrim. Dan akhirnya kekhawatiran saya sejak 25 tahun lalu benar-benar terjadi saat ini.

Saat saya SMA dulu, saya suka belajar dari satu pengajian ke pengajian, mencoba menyelami pemikiran dan suasana batin dari satu kelompok aktivis islam ke kelompok aktivis islam yang lain. Beberapa menentramkan saya, seperti pengajian “Cinta dan Tauhid” Alhikam, beberapa menggerakkan rasa kepedulian sosial seperti pengajian Padhang Mbulan Cak Nun. Yang lain menambah wawasan saya tentang warna warni pola pemahaman Islam dan pergerakannya.

Diantaranya ada juga pengajian yang isinya menyemai benih-benih ekstrimisme radikalisme. Acara rihlah (rekreasinya) saja ada simulasi game perang-perangan. Acara renungan malamnya diisi indoktrinasi islam garis keras.

Pernah di satu pengajian saat saya kuliah di UNAIR, saya harus ditutup matanya untuk menuju lokasi. Sesampai disana ternyata peserta pengajian di-brainwash tentang pentingnya menegakkan Negara Islam Indonesia. Dan untuk menegakkan ini kita perlu dana besar. Dan untuk itu kalau perlu kita ambil uang (mencuri) dari orang tua kita untuk disetor ke mereka.

Saat itu majalah Sabili sangat laris di sekolah kami. Isinya banyak menampilkan secara vulgar pembantaian etnis muslim Bosnia oleh Serbia. Video-video yang memutar pembantaian etnis Bosnia juga diputar dimana-ma. Dan ini dijadikan pembakar semangat anak-anak muda jaman saya waktu itu untuk menjadi “mujahid-mujahid pembela islam”, beberapa akhirnya berangkat beneran ke medan perang.

Dari pengalaman menjelajah berbagai versi pemikiran dan aktivis islam dari yang paling radikal sampai liberal itu, dari sunni, sufi, wahabi, syiah, NII, dll itu, saya menyadari walaupun Islam ini mestinya satu, tapi ada banyak versi cara orang memahaminya, sehingga melahirkan banyak versi ekspresi keislaman dan pola tindakan.

Dan dari semua versi tadi, yang paling saya khawatirkan adalah versi kakak kelas saya mendiang Dita Supriyanto yang jadi ketua Anshorut Daulah cabang Surabaya ini. Saya sedih sekali akhirnya ini benar-benar terjadi, tapi saya sebenarnya tidak terlalu kaget ketika akhirnya dia meledakkan diri bersama keluarganya sebagai puncak “jihad” dia, karena benih-benih ekstrimisme itu telah ditanam sejak 30 tahun lalu.

Dia mengingatkan saya pada kakak kelas lain, salah seorang aktivis islam SMA 5 Surabaya waktu itu (bukan pengurus resmi SKI)*, yang menolak ikut upacara bendera karena menganggap hormat bendera adalah syirik, ikut bernyanyi lagu kebangsaan adalah bid’ah dan pemerintah Indonesia ini adalah thoghut.

Waktu itu sepertinya pihak sekolah tidak menganggap terlalu serius. Karena memang belum ada bom-bom teroris seperti sekarang. semua sekedar “gerakan pemikiran”. Memang dia dipanggil guru Bimbingan Konseling (BK) untuk diajak diskusi, tapi kalau sebuah ideologi sudah tertancap kuat, seribu nasehat tidak akan masuk ke hati. Dan Akhirnya pihak sekolah menyerah, toh dia tidak bertindak anarkis, bahkan terkenal cerdas, lemah lembut dan baik hati.

Akhirnya kakak kelas saya yang lain ini tiap upacara bendera i’tikaf di mushola sekolah. Kadang saya kalau lagi males upacara, ikut menemani dia di mushola dan ikut mendegarkan siraman rohaninya. Dan yang seperti kakak kelas saya ini tidak hanya di SMA 5, tapi yang saya tahu ada di beberapa SMA dan kampus di Surabaya atau bahkan di beberapa kampus lain di Indonesia.

Yang ingin saya katakan, terorisme dan budaya kekerasan yang kita alami saat ini adalah panen raya dari benih-benih ekstrimisme-radikalisme yang telah ditanam sejak 30-an tahun yang lalu di sekolah-sekolah dan kampus-kampus. Saya tidak tahu kondisi sekolah dan kampus saat ini, tapi itulah yang saya rasakan jaman saya SMA dan kuliah dulu.

Mohon jangan salah paham, main stream-nya pergerakan Islam di sekolah dan kampus ini tidak se-ekstrim kakak kelas saya tersebut. Tapi ada cukup banyak yang sifatnya sembunyi-sembunyi dimana saya waktu itu ikut merasakan ngaji bersama mereka.

Serangkaian bom di tanah kelahiran saya dengan tempat-tempat  yang sangat akrab di telinga dengan segala kenangan masa kecil, plus pelaku utama yang terasa begitu dekat dengan memori masa2 SMA-Kuliah dulu ini membuat saya tersentak bahwa ekstrimisme, radikalisme, bahkan terorisme ini sudah menjadi “Clear and Present Danger”. Ini tidak lagi sebuah film di bioskop atau berita koran yang terjadi nun jauh di negeri seberang. Ini sudah terjadi disini dan saat ini disekitar kita.

Maka kita harus menetralisir kegilaan ini sampai ke akar-akarnya. Tidak ada gunanya kita melakukan penyangkalan (denial) bahwa ini cuman rekayasa, pelakunya tidak paham Islam, ini bukan bagian dari ajaran Islam, ini pasti cuman adu domba, dll.

Nyatanya pelakunya masih sholat subuh berjamaah di mushola, lalu satu keluarga berpelukan sebelum mereka menyebar ke tiga gereja untuk meledakkan diri.

Nyatanya memang ada saudara-saudara kita yang memahami Islam versi garis keras yang hobinya mengutip mentah-mentah ayat2 perang dan melupakan substansi “cinta dan kasih sayang” sebagai inti ajaran Islam.

Nyatanya memang benih-benih  radikalisme, ekstrimisme ini telah ditabur 30 tahun terakhir di pikiran anak-anak muda kita, di sekolah-sekolah terbaik dan dikampus-kampus top di Indonesia. Dan kalau akhirnya mewujud menjadi tindakan nyata terorisme, mestinya tidak mengagetkan kita.

Kalau kita masih saja melakukan penyangkalan, maka kita tidak akan pernah berbenah diri. Tapi kalau kita insyaf bersama, Kalau kita dengan gentle mengakui – bahwa “iya” memang kita sedang sakit, bahwa memang ada banyak diantara kita, dan saudara-saudara kita yang memahami Islam versi garis keras, yang merasa bahwa Islam harus diperjuangkan dengan kekerasan – maka kita bisa mulai mengambil langkah-langkah solutif.

Dan langkah-langkah solutif nyata yang bisa kita lakukan diantaranya adalah:

  1. Mulai menetralisir alias melunakkan paham Islam garis keras dan mulai menyebar luaskan paham Islam moderat (washothiyah).
  2. SMA dan kampus harus disterilkan dari gerakan-gerakan bawah tanah Islam garis keras, diganti dengan kemeriahan dan kegembiraan aktivitas Islam yg menebarkan “cinta dan welas asih” pada sesama manusia.
  3. Sosial media harus dipenuhi kampanye “Islam yang ramah dan penuh kasih sayang”. Bukan Islam yang keras, penuh umpatan, dan kata-kata kasar, apalagi hoax dan berdarah-darah.
  4. Pertarungan politik mohon jangan lagi menggunakan isu SARA sebagai komoditas rebutan kekuasaan. Apalagi disertai kampanye hitam saling menghujat yang membuat bahkan setelah selesai Pilkada/Pilpres-nya masyarakat jadi terbelah saling bermusuhan.
  5. Mawas diri dan sama-sa,a menahan diri dalam menyikapi perbedaan-berbedaan dalam penafsiran Islam. Islamnya satu dan sumbernya sama, tapi nyatanya cara kita memahaminya bisa macem-macam. Dan ini fenomena psikologi yang wajar. Ayo tebarkan sikap saling memahami dan berempati, bukannnya saling curiga dan menyalahkan. Islam harus dipulihkan reputasinya dari wajah muram penuh kekerasan menjadi wajah ramah penuh cinta pada sesama manusia.

Benar kata Muhammad Abduh, cendekiawan muslim abad 20, “Al-islamu Mahjubun bil muslimin”, Keindahan Islam ini terhijab/tertutupi oleh akhlak buruk sebagian umat Islam sendiri”. Jadi mari kita yang akan bersama-sama memulihkan wajah Indah Islam.

Terakhir, mari kita dengar seruan seorang remaja islam peraih Nobel Perdamaian, Malala Yousafzai:

“Peluru hanya bisa menewaskan teroris, tapi hanya pendidikan-lah yang bisa melenyapkan paham terorisme (sampai akar-akarnya: radikalisme, ekstrimisme)”

*Ahmad Faiz Zainuddin, Alumni SMA 5 Surabaya Lulusan 1995, FE UNAIR Angkatan 1995 dan Fakultas Psikologi UNAIR Angkatan 1996

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru