27.2 C
Jakarta

Tangkal Paham Radikal Dimulai dengan Identifikasi Kecenderungan Anak

Artikel Trending

KhazanahPerempuanTangkal Paham Radikal Dimulai dengan Identifikasi Kecenderungan Anak
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tak hanya menyasar usia dewasa, gerakan radikal juga menargetkan anak-anak untuk dijadikan bakal calon penerus ideologi sesatnya. Cukup ironis memang, anak yang seharusnya dibekali untuk menjadi generasi penerus masa depan, justru dihancurkan hanya untuk melampiaskan nafsu manpulatif dengan dalih memperjuangankan agama.

Cara pendekatannya pun tergolong unik. Tak lagi menggunakan cara-cara konvensional, kelompok radikal menggunakan pendekatan yang inovatif dan halus dalam menentukan siapa yang akan menjadi target sasarannya.  Setiap target juga memiliki cara yang berbeda tergantung dengan bagaimana kondisi target (anak) dan juga kendala yang mungkin dihadapi saat mendoktrin anak anak.

Keterlibatan anak dalam kelompok ekstrimis tersebut pasti didahului oleh paksaan dan iming-iming. Jika pun pada akhirnya kombatan anak dengan sukarela bergabung maka tentu ada banyak faktor yang melatarbelakaninya. Seperti kondisi ekonomi, pertahanan hidup, marginalisasi, diksriminasi, dan garis kemiskinan.

Untuk mengantisipasi masifnya gerakan ekstrimis, perlu didukung dengan upaya down to top. Upaya ini dimulai dari lingkungan yang terdekat yaitu keluarga dan masyarakat di sekitar kita. Karena bisa jadi seseorang tidak menyadari bahwa di lingkungan terdekatnya, virus-virus radikalisme sudah menyebar.

Belajar dari Kasus Nurshadrina Khaira Dahania

Perlu dipahami bahwa anak adalah sosok peniru. Ia akan cenderung menirukan apa yang ia lihat baik dari segi pemikiran, sikap, maupun tindakan. Anak yang lahir dan tumbuh di keluarga ekstremis, berpotensi untuk terjangkit paham ekstremis juga.

Namun tidak menutup kemungkinan juga, anak-anak yang lahir dan tumbuh di keluarga moderat juga bisa terjangkiti paham ekstrimis. Baik karena pemahaman yang diinternalisasi melalui Pendidikan formal, informal, maupun dari pengaruh sosial media yang digeluti setiap harinya.

Hal ini sebagaimana yang pernah terjadi pada Nurshadrina Khaira Dahania. Remaja usia 15 tahun yang bergabung dengan ISIS di tahun 2015. Bukan dari keluarganya, Nur memperoleh doktrin ekstremis dari sosial media. Remaja kelas 2 SMA tersebut mengaku mendambakan kehidupan dibalik naungan khilafah yang sejahtera, maka ia mengajak keluarganya untuk tergabung dengan ISIS.

Bahkan Nur saat itu juga berhasil membujuk ayahnya yang berprofesi sebagai PNS. Nur secara aktif memberikan dalil-dalil tentang kerugian manusia jika sibuk mengejar dunia, dan tidak berjuang untuk Islam. Profesi ayahnya sebagai abdi negara juga dianggap profesi haram karena bekerja untuk thaghut.

Nur yang masih sangat belia bahkan berhasil mempengaruhi 25 orang lainnya. Hingga pada Agustus 2015, berangkat secara bersama-sama ke Suriah untuk tergabung dengan militan ISIS. Modal keberangkatan bahkan didapat dari ayah Nur yang rela menjual rumah demi bisa tergabung dalam kelompok ISIS.

Identifikasi Kecenderungan Anak

Anak yang lahir dari keluarga kombatan, dan ekstrimis lebih mudah untuk diantisipasi dan didekati. Yang menjadi problem adalah ketika seorang anak dari keluarga moderat yang ternyata terpapar ideologi radikal. Perlu waktu yang panjang untuk mengidentifikasi apakah seseorang yang lahir dari kelompok moderat tersebut, benar-benar tidak terjangkit virus ekstremis.

BACA JUGA  Mindset Misogini, Dalang di Balik Terorisme Global

Untuk mengantisipasi terpaparnya paham radikal bagi anak, peran orang tua dan guru sangat diperlukan. Orang tua harus memantau aktifitas yang dilakukan anak diluar rumah. Jika sikap-sikap dirumah menunjukkan indikasi paham-paham radikal, maka orang tua harus segera mewaspadai.

Salah satunya dimulai dari identifikasi cara berpakaian. Meskipun pakaian adalah preferensi setiap orang dan tidak mesti berhubungan dengan afiliasi pada kelompok tertentu. Kerangka berpikir yang harus dibangun adalah ‘tidak semua perempuan bercadar adalah teroris, namun semua teroris menggunakan cadar”.

Jadi jika tiba-tiba terjadi perubahan pada preferensi busana anak, maka orang tua harus segera mendekati dan menanyakan motivasi serta titik balik yang menyebabkan perubahan busana anak-anak. Jika perubahan tersebut karena memang pilihannya sendiri dan ia merasa nyaman dengan pilihan tersebut, maka orang tua harus menghargai.

Namun jika perubahan busana disebabkan karena doktrin dari kelompok tertentu, atau dari seseorang, atau dari social media, orang tua harus waspada. Orang tua harus bisa mencari sumber dari perubahan anak tersebut, dan mengidentifikasi apakah seseorang atau kelompok, atau situs yang dirujuk berafiliasi dengan ideologi radikal ataukah tidak.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah cara anak menanggapi masalah terutama berkaitan dengan negara. Saat terjadi permasalahan yang berkaitan dengan negara baik itu kasus pencucian uang, criminal, dan kasus lainnya, perlu diidentifikasi kecenderungan pemikiran anak. Apakah ia akan mengkritik sistem pemerintahan sebagai bagian dari warga negara, ataukah menggaungkan system khilafah sebagai ganti sistem demokrasi?

Kritik memang menandakan seseorang berpikir dengan cerdas. Jika potensi untuk menjadi analilis politik sudah terbangun, maka hak tersebeut akan berdampak positif pada kehidupan anak kedepannya. Namun jika anak melontarkan kritik dan terus menyebutkan system pemerintahan khilafah sebagai solusi atas permasalahan negara, maka perlu diwaspadai.

Proses identifikasi kecenerungan anak ini tidak hanya berlaku bagi orang tua saja, namun juga berlaku bagi guru di sekolah. Sekolah harus memantau perkembangan anak secara intens. Karena sangat mungkin terjadi, penyebaran ideologi radikal justru terjadi di Lembaga Pendidikan.

Perlu diketahui bahwa anak berada dalam tahap berproses mencari jati diri. Jangan sampai, proses pencarian tersebut berakhir pada kelompok-kelompok ekstremis. Maka peran guru dan sekolah sangat penting untuk melihat bagaimana sikap dan perilaku anak ketika di sekolah.

Jika dirasa anak sudah menunjukkan gejala-gejala yang mengarah pada gerakan ekstremis, orang tua dan guru harus mengambil tindakan tegas. Seperti cara berinteraksi dengan teman, cara menyampaikan pendapat sudah melulu pada kegagalan demokrasi misalnya, dan juga prefrensi busana yang tiba-tiba berubah maka harus segera diwaspada.

Apalagi jika anak menyampaikan solusi atas ketidaksempurnaan sistem demokrasi dengan membangun khilafah. Maka orang tua harus segera menjauhkan sumber-sumber informasi anak yang mengarah pada pemikiran tersebut.

Lutfiana Dwi Mayasari
Lutfiana Dwi Mayasari
Anggota Puan Menulis sekaligus alumni Magister Kajian Timur Tengah UI. Saat ini mengajar Sejarah Peradaban Islam di IAIN Ponorogo. Minat pada kajian gender, perdamaian, hukum, dan politik Timur Tengah.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru