27.3 C
Jakarta

Stafsus Presiden, Hendropriyono Sebut FPI Gunakan Agama untuk Keperluan Politik

Artikel Trending

AkhbarNasionalStafsus Presiden, Hendropriyono Sebut FPI Gunakan Agama untuk Keperluan Politik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Jakarta – Kelompok Front Pembela Islam (FPI) belakangan terus menjadi sorotan semenjak kepulangan Rizieq Shihab dari Arab Saudi hingga teranyar enam anggota laskarnya ditembak mati oleh polisi. Para alanis benyak mentakan bahwa FPI Gunakan Agama untuk keperluan politik.

Menanggapi hal itu, Staf Khusus Presiden, Diaz Hendropriyono mengemukakan bahwa gerakan radikalisme pada dasarnya adalah gerakan politik, bukan soal penegakan agama.

“Gak ada hubungannya dengan agama. Ini politik. Mereka menggunakan agama untuk keperluan politik. Ujung-ujungnya apa? Mereka mau masuk ke politik. Padahal negara kita sesuai Pancasila udah benar. Sudah sepakat dari tahun 45. Kalau mereka sampai masuk ke ranah politik, mereka jadi mempunyai kesempatan untuk mengganti ideologi. Jangan sampai gerakan radikal ini masuk ke politik. Mereka tidak berhenti di terror. Mereka ujung-ujungnya mau masuk ke politik,” kata Diaz dalam podcast Deddy Corbuzier, 9 Desember 2020.

Diaz pun tak memungkiri bahwa bibit radikalisme di Indonesia ada meski jumlahnya tidak banyak. Ia merujuk hasil riset Pew reserach center yang mengatakan  bahwa 4 persen orang Indonesia mendukung ISIS.

“Berarti ada sekitar 11 juta. Lalu, ada World Value Survey, 30-39 persen orang Indonesia rasis seperti halnya negara Iran, India. Jadi ada bibit-bibit rasisme, radikalisme. Bahkan orang Indonesia 60 persen tidak suka dengan suku tertentu,” kata anak ketiga dari tokoh militer, Abdullah Mahmud Hendropriyono itu.

Saat ditanya oleh Deddy kenapa pemerintah tidak bertindak tegas terhadap kelompok radikal dan yang merongrong Pancasila, Diaz tampak menjawab hati-hati, dan bilang bahwa pemerintah perlu melakukan upaya demokratis dan menghindari diri dari tudingan otoriter.

“Harus dengan cara-cara demokratis. Gak bisa kita jadi otoritarian,” katanya.

Lebih lanjut, politikus PKPI itu juga menegaskan bahwa pada dasarnya, berpikir radikal boleh-boleh saja, sepanjang tidak bertentangan dengan ideologi Pancasila. Ia menekankan bahwa Indonesia bukan hanya untuk golongan tertentu saja.

“Indonesia bukan untuk orang Islam aja. Bukan untuk orang Jawa saja. Walau saya juga Jawa dan Islam. Tapi semua orang Indonesia punya hak yang sama. Gak bisa karena dia agama Kristen ngurus IMB jadi susah. Masak cuma gara-gara protes azan kekerasan, langsung vihara dibakar. Itu aturan dari mana?” katanya.

Diaz juga memberi pemahaman bahwa keberagamaan seharusnya menjadi urusan personal seseorang dengan Tuhan, dan kita sebagai warga negara tidak perlu mencampuri apalagi merecoki keberagamaan orang lain.

BACA JUGA  Hikmah di Penghujung Ramadan: Ibadah Puasa dan Zakat untuk Kemanusiaan

“Agama itu seharusnya gak usah ditolol-tololin itu. Cukup between you and God. Ini jadi masalah ketika kita memikirkan orang lain. Orang mau salat, orang mau pakai baju apa, ya itu urusannya. Ngapain diurusin,” imbuhnya.

FPI Tidak Punya SKT, Tapi FPI Gunakan Agama

Menurut Diaz, FPI ternyata tidak lagi memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) di Kementerian Dalam Negeri. SKT FPI, kata Diaz, tidak diperpanjang oleh Mendagri Tito Karnavian sejak tahun 2019, lantaran di dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) mereka tidak tercantum Pancasila dan malah punya visi dan misi menerapkan khilafah Islamiyah.

“AD ART yang tidak mencantumkan Pancasila dan bicara mengenai Khilayah Islamiyah, tahun lalu SKT-nya tidak keluar di Kemendagri. Jadi sampai sekarang FPI belum ada SKT. Saya gak tahu ya, kalau belum ada SKT bisa bikin kegiatan apa enggak. Itu bisa ditanyakan ke Kemendagri,” ujar Diaz saat berbincang dengan Deddy Corbuzier di podcast Deddy, 9 Desember 2020.

Ketika ditanya oleh Deddy soal kegiatan FPI yang sudah berlangsung sejak lama, Diaz bilang bahwa dulu FPI punya SKT. Naum belakang ini bahwa FPI Gunakan Agama untuk keperluan politik.

“Dulu ada SKT-nya. Tidak adanya sejak 2019. Tidak diperpanjang oleh Pak Tito,” katanya.

Diaz pun bilang bahwa jika AD/ART FPI itu tidak diubah, maka FPI tidak boleh ada di Indonesia.

“Hanya ada satu kata utk mereka yang mau mengganti Pancasila: LAWAN !! Jika AD/ART tidak diubah, maka tidak ada ruang untuk mereka di negeri ini,” tulisnya di Instagram.

Diaz juga bicara soal maraknya gerakan radikalisme di Indonesia, yang menurutnya, mulai terjadi setelah reformasi 1998.

“Ada kebebasan yang kebabalasan. Mulai dari situ tokoh-tokoh seperti Abdullah Sungkar, Abu Bakar Baasyir muncul. Orang-orang gak berani waktu zamannya Pak Harto. Setelah era reformasi, kalangan radikal ini punya tempat. Ditambah dengan ada inisiasi yang memungkinkan mereka bertemu dengan jaringan internasional seperti Al-Qaeda,” ungkap Diaz.

Diaz pun membeberkan bahwa pimpinan Alqaeda sempat berada di Indonesia beberapa waktu lalu. Hal itu, kata dia, menjadi peringatan bagi Indonesia untuk mewaspadai radikalisme.

“Ayman al-Zawahiri dengan Omar Al-Faruq dari Al-Qaeda muter-muter di Indonesia,” katanya.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru