27.6 C
Jakarta
Array

Shalat Tarawih, Berapa Rakaatkah?

Artikel Trending

Shalat Tarawih, Berapa Rakaatkah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Berbicara tentang jumlah rakaat shalat tarawih, sudah menjadi perbincangan tahunan di kalangan kaum Muslimin. Sebenarnya mengulasnya kembali laksana seperti memutar ulang kaset lagu-lagu terdahulu yang digubah oleh para ulama. Namun tidak ada salahnya jika kita telaah lagi mengenai dalil-dalil yang dijadikan pegangan oleh masing-masing pendapat yang ada.

Pertama, dasar yang digunakan oleh pendapat delapan rakaat shalawat tarawih ditambah tiga rakaat shalat witir:

((صَلَّى بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ رَمَضَانَ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ ثُمَّ أَوْتَرَ، فلمَّا كانَتْ القَابِلةُ اجْتَمَعْنَا فِيْ المَسْجِدِ وَرَجَوْنَا أَنْ يَخْرُجَ إِلَيْنَا حَتَّى أَصْبَحْنَا)) رواه ابن حبان عن جابر

Pada bulan Ramadhan Rasulullah saw pernah mengimami kami (para sahabat) shalat delapan rakaat lalu dilanjutkan shalat witir. Pada malam berikutnya kami berkumpul di masjid berharap beliau keluar mengimami lagi, namun kami menunggu hingga waktu subuh. HR Ibnu Hibban dari Jabir

Dalam Kasyf al-Tabârîh fî Bayân Shalâh al-Tarâwîh, Syeikh Abu al-Fadhal Senori Tuban mengomentari hadis ini menunjukkan beberapa kemungkinan. Pertama, Jabir termasuk sahabat yang hadir di masjid di dua malam itu. Kedua, Jabir hanya mendapati delapan rakaat saja dari shalat yang dilakukan oleh Nabi saw. Sehingga ia meriwayatkan sesuai dengan apa yang ia dapati dan ia lihat.

((أَنَّ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ ؟، قَالَتْ: مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ،، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ ؟. قَالَ: يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِيْ)) رواه البخاري وغيره عن عائشة

Abu Salamah bin Abdurrahman pernah bertanya pada Aisyah, Bagaimana dulu shalatnya Rasulullah saw? Aisyah menjawab, Beliau saw tidak menambah lebih dari 11 rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun selain Ramadhan. Beliau saw shalat empat rakaat, jangan tanya tentang kualitas dan panjang shalat itu. Kemudian shalat lagi empat rakaat, jangan tanya kualitas dan panjangnya. Lalu shalat lagi tiga rakaat. Aku pun tanya, Rasulullah saw, apa Engkau tidur sebelum shalat witir? Beliau menjawab, Aisyah, kedua mata saya tidur namun hati saya tidak tidur. HR al-Bukhari dari Aisyah.

Kembali Syeikh Abu al-Fadhal Senori mengomentari dalil di atas bahwa hadis tersebut konteksnya adalah shalat witir. Mengingat riwayat al-Bukhari dari Urwah dari Aisyah serta riwayat Abu Dawud dan al-Muwatha’ dari Urwah dari Aisyah dan beberapa riwayat lainnya yang membicarakan bilangan 11 rakaat untuk shalat witir. Lalu melalui Hujjah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, KH Ali Maksum menambahkan beberapa sanggahan. Pertama, sudah jamak diketahui bahwa shalat witir minimal satu rakaat dan maksimal 11 rakaat. Kedua, shalat tarawih tidak dilakukan pada selain Ramadhan, sementara hadis di atas menyebutkan juga selain Ramadhan. Ketiga, al-Bukhari menempatkan hadis di atas pada bab shalat witir.

Kedua, dalil yang dijadikan pegangan pendapat 20 rakaat shalat tarawih dilanjutkan tiga rakat shalat witir:

((كانَ النبيُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي فِيْ رَمَضَانَ بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَالوِتْرِ)) رواه ابن أبي شيبة والبيهقي في سننه عن ابن عباس

Dahulu Nabi saw pada malam Ramadhan shalat 20 rakaat ditambahj shalat witir. HR al-Baihaqi dan Ibnu Syaibah dari Abdullah bin Abbas.

((كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رضي الله عنه فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً)) أخرجه مالك في الموطأ عن يزيد بن رومان

Dahulu di masa kepemimpinan Umar bin al-Khattab, orang-orang shalat pada malam Ramadhan sebanyak 23 rakaat. HR Malik dalam al-Muwatha’ dari Yazid bin Ruman

((أَنَّهُمْ كَانُوْا يَقُوْمُوْنَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَعَلَى عَهْدِ عُثْمَانَ وَعَليٍّ بِمِثْلِهِ))  رواه البيهقي

Pada zaman Umar orang-orang shalat 20 rakaat, sama halnya juga dengan era Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. HR al-Baihaqi

Ketiga, kompromi antara dua dalil pendapat 8 rakaat vs 20 rakaat

((وَكَانَ يُصَلٌيْ بِهِمْ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ وَيُكَمٌلُوْنَ بَاقِيْهَا فِيْ بُيُوْتِهِمْ فَكَانَ يُسْمَعُ لَهُمْ أزِيْزٌ كأزِيْزِ النٌحْلِ)) رواه الخمسة عن جبير بن نفير عن أبي ذر

Dahulu Rasulullah saw mengimami shalat para sahabat sebanyak delapan rakaat kemudian mereka menyempurnakan sisa rakaatnya di rumah-rumah mereka sehingga terdengar dari rumah mereka suara gemuruh al-Quran seperti suara lebah

Keempat, dasar tarawih 36 rakaat

Di zaman kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz yang saat itu berpusat di kota Madinah, shalat tarawih ditambah menjadi 36 rakaat dengan tujuan mengimbangi keutamaan dengan penduduk Mekah. Sebab setiap selesai empat rakaat (dua salam) mereka menyelingi dengan bertawaf. (Al-Fiqh ʻAlâ al-Madzâhib al-Arbaʻah karya Abdurahman al-Jaziri)     

Kesimpulan: Pada dasarnya jumlah rakaat shalat tarawih tidak ditentukan secara langsung oleh Rasulullah saw. Sehingga menjadi ‘lahan’ ijtihad bagi para ulama umat Muhammad saw. Ini bisa dilihat pada pandangan keempat yang diinisiatifi oleh Umar bin Abdul Aziz.  Sejatinya masih banyak riwayat lain yang mengarah pada jumlah selain yang disebutkan di atas. Namun cukup kiranya pendapat-pendapat yang masih banyak penggunanya. Baik delapan rakaat yang berasal dari zaman Nabi saw dan disempurnakan hingga 20 rakaat di rumah, hingga pendapat mayoritas ulama yang memandang 20 rakaat menjadi suatu ijma’ (kesepakatan ulama). Disamping itu jumlah 20 merupakan jumlah pertengahan antara delapan dan 36 atau 40 rakaat. Perbedaan jumlah rakaat ini tergantung pada panjang pendeknya bacaan, demikian menurut Ibnu Hajar dalam Fath al-Bârî. Yang pasti kesemua pandangan tersebut masing-masing mempunyai dasar yang dijadikan landasan. Tidak etis kiranya jika masih ada yang menyalahkan pandangan lain yang tidak sama dengan apa yang dilakukannya. Sebenarnya yang perlu mereka luruskan adalah orang-orang Muslim yang masih belum mau atau malas untuk mendirikan qiyâm Ramadhan (shalat tarawih). Wallahu Aʻlam. [Ali Fitriana]

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru