Harakatuna.com. Aceh – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencanangkan tujuh program prioritas tahun 2024. Salah satunya, Program Sekolah Damai yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai perdamaian, toleransi, dan keberagaman dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika kepada para guru dan siswa SMA atau yang sederajat.
Langkah ini sangat penting sebagai upaya menanggulangi bibit intoleransi, kekerasan, dan perundungan di sekolah dengan menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, inklusif, dan terbebas dari sikap ekstremisme dan radikalisme.
Direktur Pencegahan BNPT, Prof. Irfan Idris, menegaskan pentingnya kegiatan Sekolah Damai untuk menanamkan pengetahuan kepada guru dan siswa di satuan pendidikan mengenai cara mencegah penyebaran paham intoleransi, kekerasan dan perundungan di lingkungan sekolah. BNPT melalui program Sekolah Damai hadir untuk membangun ketahanan di kalangan siswa dan guru terhadap paham-paham yang dapat mengarah pada kekerasan.
“Program ini bertujuan menanamkan nilai-nilai perdamaian, toleransi, dan keberagaman, yang selaras dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika agar para siswa mampu berpikir kritis, inklusif, dan tidak mudah terpengaruh oleh ajakan-ajakan ekstrem,” ungkap Prof. Irfan, pada Pelatihan Guru dalam Rangka Menumbuhkan Ketahanan Satuan Pendidikan dalam Menolak Paham Intoleransi, Kekerasan, dan Bullying, di SMKN 2, Banda Aceh, Rabu (30/10/2024).
Prof. Irfan menegaskan, sebagai institusi pendidikan, sekolah memiliki peran strategis dalam membentuk karakter dan kepribadian siswa, namun tidak dipungkiri bahwa sekolah tidak kebal dari pengaruh negatif seperti radikalisme, intoleransi dan kekerasan yang dapat merusak tatanan sosial dan keamanan bangsa.
Kehadiran paham radikal di sekolah, tambah Irfan, umumnya muncul dari berbagai sumber, termasuk media sosial dan lingkungan sekitar. Pengaruh ini dapat menciptakan ketidakstabilan di kalangan siswa yang terpapar, memicu konflik, dan merusak nilai-nilai kebangsaan yang seharusnya mereka tanamkan sejak dini.
“Untuk itu, para pendidik dituntut untuk berperan aktif dalam mengenali tanda-tanda radikalisme, intoleransi, dan kekerasan di lingkungan sekolah serta mengedepankan pendidikan karakter yang kokoh,” terangnya.
Irfan lalu memaparkan survei yang dirilis Setara Institute tahun 2023, Banda Aceh tercatat sebagai salah satu kota dengan tingkat intoleransi tertinggi di Indonesia yang berada di urutan ke-3 dengan skor 4,26. “Data ini mengingatkan kita bahwa masih ada pekerjaan rumah besar dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif, aman, dan harmonis,” tambahnya.
Tidak hanya intoleransi, sambung Irfan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga mencatat bahwa sepanjang 2023 terjadi sekitar 3.800 kasus perundungan (bullying) di Indonesia. Angka ini meningkat signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan 226 kasus pada 2022, 53 kasus di 2021, dan 119 kasus pada 2020.
Kasus perundungan ini tidak hanya melibatkan kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan verbal dan psikologis. “Hal ini tentu menjadi keprihatinan kita bersama karena perundungan yang terjadi di lingkungan sekolah tidak hanya merusak mental korban, tetapi juga mengganggu proses belajar-mengajar dan hubungan sosial di sekolah,” terangnya.
Kehadiran paham radikal di sekolah, tambah Irfan, umumnya muncul dari berbagai sumber, termasuk media sosial dan lingkungan sekitar. Pengaruh ini dapat menciptakan ketidakstabilan di kalangan siswa yang terpapar, memicu konflik, dan merusak nilai-nilai kebangsaan yang seharusnya mereka tanamkan sejak dini.
“Untuk itu, para pendidik dituntut untuk berperan aktif dalam mengenali tanda-tanda radikalisme, intoleransi, dan kekerasan di lingkungan sekolah serta mengedepankan pendidikan karakter yang kokoh,” terangnya.