26.6 C
Jakarta
Array

Rukun; Moderasi Islam, Moderasi Universal

Artikel Trending

Rukun; Moderasi Islam, Moderasi Universal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Indonesia dengan keberagaman budaya, agama, suku, bahasa yang dimiliki meniscayakan menjadi salah satu bangsa yang memiliki masyarakat multikultur. Keberagaman semacam ini akan menjadi harmoni yang indah jika mampu dikelola dengan baik. Distingsi seperti inilah yang kemudian harus dirawat dan dijaga. Di saat yang sama, realitas plural semacam ini juga akan menjadi tantangan besar jika tidak ditangani dengan bijak dan arif, akibatnya akan timbul ancaman perpecahan yang kemudian memunculkan luka-luka sosial.

Islam sebagai way of life atau jalan hidup, bukan hanya untuk kepentingan umat islam semata, akan tetapi harusnya mampu menyentuh kepentingan umum diluar islam maupun untuk islam sendiri. Akan tetapi agaknya terlalu egois jika islam hanya mementingkan dirinya sendiri, meningat islam di belahan dunia ini keberadaannya ada yang minoritas dan juga mayoritas. Islam harus hadir sebagai solusi berbagai macam problema.

Ditengah kondisi yang demikian, kehadiran moderasi Islam diharapkan menjadi solusi. Wajah moderasi Islam yang dimaksud bukan berarti Islam berada dalam posisi netral yang berada dalam hitam-putih sebagaimana yang sering dialamatkan kepada istilah moderasi itu sendiri. Wajah moderasi Islam yang sesungguhnya adalah memperjuangkan nilai-nilai universal keadilan (ta’adul), persamaan/toleransi (tasamuh), seimbang (tawazun), serta menebarkan rahmat untuk seluruh makhluk, yang mana nilai-nilai itu tadi memiliki akar sejarah yang kuat dalam tradisi Nabi dan Sahabat.

Corak pemikiran Islam Indonesia terkenal sangat berwarna kesufian yang pekat. Ini tentunya tidak mengherankan jika dilihat dari beberapa sudut. Pertama, datangnya Islam ke kawasan ini, seperti juga yang ke Asia Tengah dan Afrika Hitam, banyak ditangani oleh kaum sufi sekaligus pedagang. Jaringan gilda-gilda perdagangan mereka yang luas (yang berpusat pada tempat-tempat penginapan mereka dekat masjid sekaligus padepokan-padepokan kesufian mereka yang disebut zawiyah, khaniqah, ribath, dan funduq ­–“pondok”) telah memberi mereka fasilitas menyebarkan Islam melalui perembesan damai (penetration pacifique). Karena watak kesufian yang banyak mengandalkan intuisi pribadi dan perasaan (dzawq), pemikiran Islam yang diwarnainya tampil dengan sikap yang cukup reseptif (berpembawaan mudah menerima) unsur-unsur budaya lokal. Melalui kebijakan para “wali” (khususnya Wali Songo), gaya pemikiran Islam di Indonesia umumnya dan di Jawa khususnya menjadi mudah sekali diterima rakyat banyak. Maka Islam dalam tempo singkat menjadi agama mayoritas bangsa kita (Madjid, 1995).

Indonesia yang multikultural ini harus mampu dikelola dengan baik dan bijak. Islam sebagai umat mayoritas harus menjadi pelopor yang baik dan bijak dalam keberagaman Indonesia ini. Karena beragama, apapun agamanya semakin hari pengikutnya ini akan bertambah. Ambil contoh Islam. Pemeluk Islam yang semakin lama mendalami agamanya maka agama yang ada dalam benaknya akan mengkristal, dan semakin mengkristal maka akan banyak reduksi-reduksi dari substansi agama Islam itu sendiri.

Dulu Islam mucul sebagai pembebas atau bahasa al-Qur’annya Min al zulumati ila an nur. Akan tetapi semakin lama kita menyaksikan akhir-akhir ini seakan-akan Islam sebagai pembelenggu. Betapa banyak tokoh-tokoh Islam yang sikap moderasinya terbilang masih rendah banyak mengeluarkan kata-kata ini haram, jangan begini, jangan begitu, mereka salah kita yang benar, dan bahkan saking kebablasannya sampai melabeli kafir. Sungguh sedih melihat wajah Islam yang seperti ini. Islam seperti kehilangan rahmat bagi semestanya.

Berangkat dari fenomena-fenomena inilah sepertinya kita sebagai umat Islam harus menampilkan kembali wajah-wajah Islam yang santun, rukun, dan responsif akan sosial. Moderasi Islam menjadi begitu penting ditengah kehidupan bersama antar umat beragama. Moderasi Islam harus terus menerus diperjuangkan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Bagi saya moderasi Islam yang responsif akan peradaban dan kemanusiaan itu cukup sederhana. Yaitu cukup dijalankan dengan kerukunan. Saya kira rukun ini lebih familiar di telinga orang-orang awam, dan mudah dipahami semua strata golongan daripada istilah akademik yang lain yang merujuk pada arti yang sama dengan rukun. Beberapa istilah yang memiliki kecenderungan yang sama dengan rukun; toleransi, moderasi dll.

Kerukunan berasal dari kata “rukun”. Rukun secara bahasa memiliki beberapa arti. Dalam konteks ini makna yang relevan adalah baik dan damai; tidak bertengkar; bersatu hati; bersepakat; ragam (Naim, 2014). Sedangkan kata kerukunan berarti perihal hidup rukun; kesepakatan (KBBI, 1991). Rukun bukan berarti tidak ada perbedaan. Aspek ini yang seharusnya dipahami dan disadari bersama. Tidak sedikit orang yang berpandangan bahwa rukun adalah sebuah kondisi yang semuanya sama dan seragam. Pandangan semacam ini sah-sah saja. Memang, ketika semua sama dan seragam terlihat seolah-olah rukun. Tetapi kerukunan semacam ini sifatnya semu. Tidak ada di dunia ini fakta sosial yang sama persis, apalagi berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. Semua masyarakat memiliki karakteristik sendiri yang khas dan berbeda satu sama lainnya. Justru pada kondisi semacam inilah sikap memahami dan menghargai perbedaan menjadi landasan penting bagi terciptanya kerukunan.

Perbedaan sebenarnya hal yang natural. Sedangkan rukun adalah kondisi dimana perbedaan tidak dijadikan sebagai sarana untuk memaksa pihak lain. Tidak mungkin ada kondisi yang sama. Kondisi rukun terjadi ketika perbedaan dijadikan sebagai modal untuk membangun kebersamaaan. Perbedaan tidak untuk dipertentangkan, tetapi dijadikan sebagai bahan untuk saling menghormati dan menghargai sekaligus memperkaya kehidupan bersama (Naim, 2014).

Perbedaan, keragaman, plural merupakan keniscayaaan dalam berbangsa dan bernegara. Menurut Azra, pluralisme diakui oleh Islam dalam kerangka normatif dan historis. Oleh karena itu, tegas Azra, usaha atau upaya untuk menciptakan sebuah masyarakat yang tidak plura, masyarakat yang monolitik, yang tunggal, itu merupakan upaya yang sia-sia. Sikap yang paling tepat adalah dengan mengembangkan sikap saling menghormati, toleran, dan menghargai pluralisme (Sururin, 2005). Perbedaan itu niscaya, dan rukun akan memperkaya kehidupan bersama.

Jika ada agama, aliran, organisasi, atau apapun itu bentuknya yang mengajarkan kejahatan, misalnya dengan menganjurkan kepada para pengikutnya untuk melakukan kekerasan, maka eksistensi agama, aliran, dan organisasi itu hampir dapat dipastikan akan memperoleh hambatan dan tantangan secara luas. Agama, aliran, dan organisasi semacam ini lambat laun akan semakin dijauhi karena bertentangan dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Lebih dari itu, resistensidari publik juga akan meluas. Sejarah membuktikan bahwa ajaran atau agama yang mengajarkan kekerasan tidak ada yang mampu bertahan lama dan mendapatkan pengikut yang luas.

Dalam kerangka agama, rukun merupakan kerangka universal untuk kemanusiaan dan peradaban. Rukun menjadi manifestasi yang begitu penting. Kalau kita meninjau dari kerangka normatif, tidak ada satu pun agama yang mengajarkan konflik atau kekerasan kepada pemeluknya. Semua agama yang otentik mengajarkan nilai-nilai kebajikan kepada para pemeluknya. Ajaran kebajikan pada semua agama menandakan bahwa kebajikan sesungguhnya selaras dengan martabat manusia yang tinggi.

Rukun merupakan moderasi Islam untuk peradaban dan kemanusiaan. Islam mengakui hak hidup agama-agama lain dan menghormati para pemeluk agama-agama lain tersebut untu menjalankan ajaran-ajaran agama masing-masing. Di sinilah letak ajaran Islam. Di sinilah letak moderasi Islam mengenai kerukunan beragama. Bukan semata-mata untuk Islam sendiri melainkan untuk peradaban dan kemanusiaan.

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru