31.9 C
Jakarta

Politik Agama: Politik Tak Bermoral atau Politik Berkeadaban?

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanPolitik Agama: Politik Tak Bermoral atau Politik Berkeadaban?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Politik menjadi isu yang menarik dibahas akhir-akhir ini. Sebab, warga negara Indonesia hampir menghadapi kontestasi politik dalam Pemilihan Presiden 2024. Sampai-sampai pakar tafsir Indonesia Prof. Quraish Shihab menulis sebuah buku berjudul Islam dan Politik, Perilaku Politik Berkeadaban.

Pentingkah menghadirkan agama dalam politik? Pertanyaan ini muncul karena terbersitnya keraguan sebab klaim bahwa melibatkan agama dalam politik disebut sebagai politik identitas yang berkonotasi negatif. Munculnya konotasi negatif terhadap politik identitas berawal dari penggunaan narasi agama dalam aksi 212 tahun 2016 dalam kontestasi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta.

Politik agama itu bukanlah politik identitas yang diklaim oleh banyak orang sebagai politik tak bermoral. Politik agama dapat dipahami dengan politik yang dibangun di bawah nilai-nilai agama yang menghendaki kemaslahatan, bukan kemafsadatan. Hal ini sesuai dengan misi yang dibawa oleh Nabi Muhammad yaitu menebar nilai-nilai rahmat di persada bumi. Rahmat itu adalah kemaslahatan.

Politik memiliki kaitan yang cukup erat dengan agama. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Kaitan politik dengan agama atau sebaliknya tergambar dalam sebuah ungkapan: ”Dinuna siyasatuna wa siyasatuna dinuna”. Artinya, agama itu (membutuhkan) politik (sebab agama tanpa politik tidak bakal memiliki ruang untuk disebarluaskan). Begitu pula, politik (membutuhkan) agama (sebab politik tanpa agama, maka sulit akan terkendali).

Maka, melihat pentingnya menghadirkan agama dalam politik, Imam as-Syathibi merumuskan aspek-aspek penting yang semestinya diperhatikan dalam melibatkan agama ke ruang publik atau, dikenal dengan istilah, ”Maqashid asy-Syar’iyyah”. Ada lima aspek yang Syathibi tawarkan: menjaga akal, agama, harta, jiwa, dan keturunan. Mungkin juga ulama sekarang menambah dengan menjaga lingkungan dan lain sebagainya.

BACA JUGA  Shalat Tarawih dan Hikmah yang Tersirat di Dalamnya

Beberapa aspek tersebut hendaknya tidak boleh dilupakan dalam politik agama. Tanpanya, politik agama tidak akan memiliki manfaat sedikitpun di ranah publik. Politik agama hanya menjadi benalu yang melahirkan kemafsadatan. Semisal, politik agama dengan pendirian Negara Islam, pengangkatan khalifah, klaim larangan memilih pemimpin non-muslim, dan masih banyak yang lainnya.

Jika politik agama dipahami demikian adanya, maka itu jelas keluar dari nilai-nilai agama. Bukankah Tuhan memerintah dalam surah Shad ayat 26 untuk menegakkan hukum dengan haq yaitu kebenaran yang berlandaskan ilmu dan kebijaksanaan. Bahkan, sikap politik agama hendaknya disesuaikan dengan amanah kekhalifahan, yaitu sebagaimana disinggung dalam surah al-Baqarah ayat 30, membangun dan memakmurkan bumi serta mengantarkan makhluk yang ada dalam jangkauannya ke arah tujuan penciptaannya.

Sebagai penutup, tidak perlu khawatir dengan melibatkan agama dalam politik. Karena, keduanya merupakan bagian yang saling berkaitan. Ulama terdahulu seperti al-Mawardi telah menulis buku soal politik kenegaraan berjudul Al-Ahkam as-Sulthaniyyah (Hukum Tata Negara). Setelah itu, Ibu Taimiyyah menulis buku politik juga berjudul As-Siyasah as-Syar’iyyah (Politik Agama). Maka, masihkah kita menyebut Politik Agama sebagai politik yang tak bermoral?[] Shallallahu ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru