27.6 C
Jakarta
Array

Pergesaran Kajian Orientalis atas Al Qur’an

Artikel Trending

Pergesaran Kajian Orientalis atas Al Qur'an
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Di era milenial ini siapa yang tak kenal dengan orientalisme, term orientalisme telah familiar di kalangan masyarakat dunia khususnya di kalangan pelajar. Akan tetapi taukah anda, bahwa term ini ternyata sudah tidak diakui lagi dan telah direvisi dengan sebutan lain. Mengapa demikian, demi mengetahuinya mari melacak kembali bagaimana perkembangan term orientalisme sejak awal keberadaanya hingga sekarang.

Bagi yang belum mengenal apa itu Orientalisme, ia adalah sebutan bagi pengkajian barat tentang segala yang ada di timur, sedang Orientalis adalah ahli-ahli di bidang Orientalisme. Orientalisme diketahui muncul ketika pendeta-pendeta Nasrani barat menimba ilmunya di Andalusia (Spanyol) pada saat kejayaan timur (8 M).Bidang-bidang kajiannya berkembang, dimana pada awalnya yang dikaji hanya seputar bahasa Arab dan agama Islam, hingga melebar menjadi kajian atas keseluruhan perihal timur -ketika penjajahan barat menyambar di timur- seperti ragam budaya, agama, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya. Akan tetapi realitas kajian orientalisme lebih condong di bidang agama islam, peradabannya,dan bahasa arabnya.

Memang motivasi pertama orientalis dalam mengkaji keislaman adalah untuk keperluan keagamaan, melihat bagaimana islam sedang berada di puncak kejayaaanya, rasa ingin lebih mengungguli jelas mendorongnya untuk mengkaji islam. Tetapi selebihnya motivasi orientalis menjadi beragam, seperti keperluan politik, pengetahuan, dan lain sebagainya.

Sebagaimana manusia berkembang, tentunya orientalis juga mengalami perkembangan. Mengutip istilah yang digunakan Ismail Jakub, terdapat empat tahapan respon orientalis tentang agama islam, pertama periode benci, kedua periode sangsi, ketiga periode mendekati, dan keempat periode toleransi.

Karakter periode awal orientalis dapat dilihat dari karya-karya orientalis di awal munculnya, yakni memaksakan anggapan pribadi dalam membaca islam atau biasa disebut dengan subyektif. Seperti karya tulis Abraham Geiger, yang berjudul “What has Muhammad Borrows from Judaism” berisi tentang segala pemikiran Abraham Geiger yang menganggap bahwasanya al Qur’an adalah buah tangan Muhammad karena terdapat beberapa istilah Yahudi yang dipinjam oleh al Qur’an. Oleh karena banyaknya karya yang mengkritik dan melemahkan muslim, timbullah gambaran buruk atas muslim di mata barat.

Ternyata tidak hanya tersebar melalui tulisan, Philip Metres seorang penulis inggris menguraikan dalam esainya yang berjudul “Same as It Ever Was: Orientalism Forty Years Later” mengenai banyaknya media Amerika yang menyiarkan film dengan menggambarkan betapa kejamnya orang-orang Arab sehingga mempengaruhi pemikiran masyarakat barat. Tidak hanya beberapa film, dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa kurang lebih terdapat 1000 film yang menyinggung tentang islam, dan hanya sedikit yang menggambarkan islam dengan gambaran yang positif.

Lama kemudian respon Orientalis bergeser sedikit demi sedikit menuju periode toleran. Sebagaimana berkembangnya ilmu-ilmu pengetahuan pada abad ke-19, mulai muncul dari kalangan orientalis yang membaca islam dengan obyektif dan mengkritik para pendahulunya seperti Edward Said dan Maxime Rodinson. Kritikan mereka berdua didasarkan pada karya-karya Orientalis sebelumnya yang dinilai sangat subyektif dengan menggunakan rasio, emosi, dan latarbelakang pemahamannya untuk memahami Islam. Dikarenakan adanya krtiktikan atas karya orientalis terdahulu, pada abad ke-20 inilah -tepatnya tahun 1970- mulai benar-benar bergeser pengertian Orientalisme.

Dalam kalangan barat diketahui, bahwa term Orientalisme sudah tidak digunakan lagi sejak tahun 1990. Term ini dihapus, digantikan dengan istilah Kesarjanaan Barat atas al Qur’an bagi para pengkaji islam dan al Qur’an.Demikian telah dikemukakan diatas bahwa alasan digantikannya term Orientalis ialah karena mengacu pada kebrobrokan pemikiran dan analisis orientalis yang bersifat subyektif atas islam. Dalam beberapa kampus di barat juga terdapat perubahan nama, seperti dijelaksan dalam Wikipedia Oriental Studies bahwa pada tahun 2007 Universitas Cambridge mengganti nama fakultas Oriental studies dengan sebutan Faculty of Asian and Middle Eastern Studies -Studi Asia dan Timur Tengah-.

Lain daripada itu, pergantian term Orientalis juga dikarenakan mulai tahun 1970 tidak sedikit kalangan islam yang belajar di barat tentang islam sendiri. Maka nama-nama sebutan fakultas di universitas juga diganti, karena tidak hanya nonislam yang mengkaji tentang timur tapi juga orang islam. Tidak hanya perihal itu, bahkan terjadi kerjasama antara muslim dan nonmuslim dalam mengkaji al Qur’an. Sebagai contoh buku “The Qur’an in the Malay Indonesian World”, yang merupakan hasil kerjasama para Sarjana muslim dan nonmuslim seperti Andrew Rippin, Mun’imSirry, dan Peter G. Riddel.

Pada tahun yang sama pula mulai muncul beberapa tokoh muslim yang menjabat sebagai dosen yang mengajarkan Religious Studies di universitas-universitas barat, seperti Fazlur Rahman, Sayyid Husain Nasr, Al Faruqi dan tokoh-tokoh lainnya. Dalam kondisi seperti ini, hubungan antar agama telah mencapai pada tahap saling berdialog.

Simpulan yang bisa disematkan dalam tulisan ini, bahwa term Orientalis sudah tidak digunakan karena telah menggambarkan citra yang buruk dari kebobrokan karya-karya orientalis terdahulu yang bersifat subyektif dan juga karena telah terjalin kerjasama antar nonmuslim dan muslim dalam mengkaji al Qur’an. Penggunaan term Kesarjanaan barat atas al Qur’an menjadi pengganti Orientalis yang mengkaji islam dan al Qur’an.  Maka kandungan Orientalisme hakikatnya masih ada sampai detik ini, hanya saja istilahnya diganti dengan Kesarjanaan barat atas al Qur’an. Juga Kesarjanaan Barat atas al Qur’an di zaman ini sudah mencoba untuk membaca dan menyikapi islam serta budayanya secara obyektif.

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru