28.2 C
Jakarta

Perempuan Memimpin Salat; Kajian Hermeneutika Gadamer dan Qibtiyah

Artikel Trending

KhazanahPerempuanPerempuan Memimpin Salat; Kajian Hermeneutika Gadamer dan Qibtiyah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Alimatul Qibtiyah adalah anak kelima dari sembilan bersaudara. Ayahnya berprofesi sebagai penghulu dan ibunya sebagai ibu rumah tangga biasa. Ketika usianya beranjak lima tahun, ia hidup di bawah asuhan pamannya. Pada usianya yang belia, ketika paman dan bibinya datang, Qibtiyah terus menangis dan meminta ikut bersama keduanya, sehingga pada akhirnya ia tumbuh dewasa dalam kasih sayang paman dan bibinya. Bibi serta pamannya merupakan seorang PNS.

Meskipun mempunyai sembilan saudara, sejak kecil ayahnya telah memberitahu seluruh anak-anaknya, jika mereka ingin bersekolah, maka dirinya hanya mampu membiayai sampai ke jenjang SMA saja. Ketika itu Qibtiyah mengakui bahwa sudah tidak ada lagi harapan untuk dapat meneruskan kuliah meskipun dalam lubuk hatinya mempunyai tekad untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin.

Perempuan yang lahir di bulan September pada tanggal 19 tahun 1971 ini mengawali perjalanan pendidikan tingkat menengah di PGA Madiun. Qibtiyah bertempat di rumah kos karena keluarga pamannya menetap di Ngawi. Ia mendapatkan uang sebesar Rp.2.500.000 setiap bulan untuk mencukupi kebutuhannya seperti membayar uang pendidikan bulanan, membayar sewa kamar kos dan berbagai kebutuhannya yang lainnya.

Sebagai seorang gadis yang aktif dalam segala kegiatan, dan untuk menunjang beragam aktivitasnya, ia mengakui bahwa dirinya membutuhkan uang tambahan. Oleh karena itu, ia mencoba menjual jajanan ringan pada teman sekolah dan menjadi guru mengaji untuk menambah pendapatan.

Qibtiyah adalah sosok wanita yang dengan ciri khasnya memakai kalung panjang dan gelang manik yang selalu menyertai outfit kesehariannya. Wanita kelahiran Yogyakarta ini selalu berusaha untuk mengerjakan laporan administrasi hingga selesai walaupun sudah usai masa kerjanya. Sebelumnya, Qibtiyah sempat duduk menjadi direktur Pusat Studi Wanita (PSW) pada Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2014-2015.

Qibtiyah juga dipercaya untuk memegang jabatan sebagai ketua dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Aisyiyah pada tahun 2015-2020. Dia juga menjadi anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ia ikut memprakarsai gerakan wanita damai serta wanita anti ekstrimisme. Qibtiyah juga merupakan salah satu koordinator Agen Saya Wanita Anti Korupsi (SPAK). Beberapa tulisan karyanya terkenal dimana-mana, kebanyakan membahas terkait gerakan feminis, gender dan wanita.

Qibtiyah besar dalam lingkungan bibi dan pamannya yang giat bekerja serta bergotong royong satu sama lain. Menurutnya, hal tersebut itulah yang menjadi pondasi pendidikan ideal dan menjadi sebuah gagasan untuk kelahiran dari berbagai pikirannya setelah itu. Alimatul juga aktif dalam mengikuti pelatihan gender pada tahun 1997. Dalam tesisnya di S2 Psikologi Sosial UGM beliau mengkaji isu gender, dan telah selesai pada tahun 2012.

Diskursus tentang Menjadi Pemimpin Salat Bagi Wanita

Alimatul Qibtiyah berpendapat bahwa diskursus wanita dalam berbagai term, yang terkait dengan status dan kedudukannya, sejak manusia diajarkan untuk mengenal Tuhannya melalui sebuah agama sampai pada peran para nabi dan rasul yang menjadi lokus utama, yang ditemukan justru perempuan dalam konteks abtraktif-diskriminatif dan dialamatkan langsung kepada kaum hawa, hanya menjadi bagian pelengkap atau dibahasakan secara lebih luas sebagai makhluk ciptaan Tuhan pada taraf kelas kedua (second class).

Sangat sulit mempromosikan kesetaraan gender apabila feminisme gagal memahami paradigma, norma, dan nilai-nilai Islam. Gerakan kesetaraan gender memperoleh dukungan dan bagaimana mereka menghadapi hambatan- hambatannya. Dan gerakan neo-modernis di kalangan intelektual Muslim memberi kontribusi bagi para aktivis gender Muslim dalam membaca ulang teks-teks keagamaan.

Sementara itu, gerakan-gerakan revivalis memberikan tantangan- tantangan baru bagi mereka. Dengan cara ini, kita dapat melihat hal-hal yang mendasari beragam pergeseran dan perubahan persepsi mengenai gambaran terkait dengan wanita dan lelaki dalam satu bentuk relasi yang ideal, yang melibatkan legitimasi ajaran Islam di dalamnya.

Ada beberapa kasus yang melingkupi wanita salah-satunya yakni masalah wanita yang menjadi pemimpin dalam suatu jamaah salat dengan laki- laki di dalamnya. hal tersebut menimbulkan pro dan kontra bagi kalangan sarjana muslim terutama dari kalangan ulama dan pemikir Islam. Tentu kejadian ini pada satu sisi terkait dengan kedudukan seorang wanita ketika statusnya menjadi seorang pemimpin dalam salat, apalagi sebagian dari orang-orang yang menjadi makmumnya adalah kaum pria.

Maka otomatis yang menjadi perbincangan adalah sejauh mana dalil yang dijadikan dasar, yang dapat dijadikan sumber untuk mengetahui latar belakang permasalahannya dalam memberikan jawaban terhadap kajian yang mengandung pro dan kontra tersebut. Dan pasti perdebatan pun tidak dapat dihindari dengan munculnya berbagai macam opini dan pendapat, baik yang melihat persoalan ini sebagai sebuah hasil ijtihad atau cuma sekadar perbuatan yang bukan-bukan dan tidak mempunyai dasar sama sekali yang dijadikan sebagai pegangan.

Otoritas wahyu dalam masalah ini jelas sekali tidak ditemukan dalil yang memberikan kewenangan seorang wanita untuk menjadi pemimpin dalam pelaksanaan salat, apalagi yang menjadi makmumnya adalah kaum pria, yang justru wanita menjadi makmumnya. Tetapi disisi lain, hadis yang secara teori dalam metodologi pengambilan dan penetapan hukum Islam menduduki second stage setelah wahyu Alquran.

Pendapatnya, seperti yang dimunculkan pada diskusi ushul fiqh, bahwa hukum Islam merupakan hukum yang secara langsung dari Allah SWT. Hukum Allah harus dari referensi wahyu dan kalam-Nya. Wahyu yang selama ini diyakini oleh umat Islam secara langsung dan akurat yakni Alquran. Sedangkan hadis hanya sebatas penjelas akan isi dari wahyu dan tidak seakurat Alquran. Kalaupun hadis disebut wahyu, maka hadis dapat disebut sebagai wahyu yang tidak langsung, tingkatan kedua dan perspektif ketepatannya tidak terjamin.

Menurut Qibtiyah, pemahaman-pemahaman dari beberapa problem kesetaraan dalam Islam, hampir seluruhnya berpatokan pada terjemahan pemahaman dari beberapa surat Alquran dan hadits yang membahas tentang wanita. Akibat perolehan wahyu yang berlangsung di abad kuno yang memandang bentuk kesimpulan secara umum, yang akibatnya pemahamannya mengarah pada membenci wanita,  yang meletakkan posisi, fungsi guna perolehan kesempatan moral wanita yang jauh berbeda dengan pria.

Golongan tekstual juga berpegang pada keyakinan bahwa Islam merupakan agama yang sempurna. Jadi, sudah sepatutnya umat Muslim meyakini apa yang sudah dipahami sebagai hasil baca terhadap Alquran untuk bisa dipraktikkan dalam kehidupan dunia saat ini. Gagasan mengenai kepemimpinan wanita atas pria atau kelompok campuran (wanita dan pria) telah lama mengundang kontroversi di antara banyak sarjana Muslim. Dalam ajaran Islam, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kepemimpinan dibicarakan di Quran Surat An-Nisa’ ayat 34 yang artinya:

Kaum Pria itu adalah pemimpin bagi kaum wanita (istri). Karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka pria telah memberikan nafkah dari harta mereka. Maka wanita-wanita yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga mereka. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan akan nusyuz, maka nasihatilah mereka,Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS An-Nisa’ 4:34)

Dalam tafsir pertengahan dan klasik ayat tersebut dijadikan alasan untuk menggambarkan keunggulan pria atas wanita. Dalam bukunya Alimatul sendiri, mayoritas para sarjana literalis berargumen bahwa Alquran menyatakan wanita tidak boleh menjadi pemimpin untuk pria, terutama berkaitan dengan masalah salat. Mereka berpegang pada prinsip dalam Alquran bahwa pria mempunyai status lebih tinggi dibanding wanita dan pria adalah kepala keluarga karena mereka lebih sanggup dibanding wanita baik secara fisik maupun psikologis.

Selama ini terdapat pandangan dalam masyarakat bahwa pria merupakan pemimpin bagi wanita. Keterangan tersebut disokong dengan pertimbangan dari QS. An-Nisa’ ayat 34. Para penafsir juga menegaskan jika istilah qawwam yakni pemimpin, pendidik, dan pelindung. Dalam Tafsir al-Kabir dijelaskan bahwa Keunggulan seorang pria disebabkan oleh keutamaan daya pikir juga jasmaninya.

Karena daya pikir pria melampaui daya pikir wanita dan usaha yang dilakukan seorang pria dalam bekerja lebih sempurna. Oleh sebab itu, terdapat kewajiban besar yang di tanggungjawabkan pada seorang pria misalnya menjadi pemimpin, seorang guru, ulama’ dan lain-lain. Begitu juga dalam azan, salat Jumat, yang semuanya itu tidak dimiliki oleh wanita.

Penafsiran tersebut mengandung keterkaitan yang tidak sama dalam tafsir ayat secara keseluruhan. Pemikiran awal yang menguraikan terkait arti dari pemimpin, yang memaparkan posisi pria yang lebih tinggi dari wanita. Pendapat selanjutnya mempunyai keterlibatan tentang serupanya antara posisi pria dengan wanita.

Itulah sebabnya mengapa memilih penafsiran QS. An-Nisa’:34 yang layak untuk dikaji. Untuk menguraikan ayat tersebut memerlukan kejelasan makna. Kejelasan makna mempunyai hubungan yang melekat pada corak penafsiran dari zaman kontemporer. Pandangan mendasar pada tafsir kontemporer lebih condong berhubungan dengan makna dari ayat-ayat alquran terkait ide universalnya.

BACA JUGA  Perempuan dan Anak di Medan Teror: Urgensi Kontra-Terorisme

Sehingga ketika ada ayat-ayat dari alquran yang dipandang kurang bersangkut-paut penafsirannya dengan kemajuan zaman, maka penerjemahan di masa sekarang ini berjuang untuk selalu menerjemahkan ayat Alquran sesuai dengan antusias eranya.

Pendekatan tekstual juga bisa dibilang sebagai proses mendalami naskah religi secara makna. Hal inilah yang melahirkan pemahaman yang sifatnya normatif serta tekstual termasuk petunjuk yang didapatkan dari beberapa tulisan awal, yakni Alquran serta Hadis. Proses semacam ini lebih condong memandang rendah tulisan para alim atau kiai pada masa kini.

Bila dijabarkan dengan teknik ini, arti dari bacaan atau ayat apa pun tidak menimbulkan masalah; seluruhnya disetujui seakan penjelasan tersebut tidak disusun dari anggota tetap maupun dalam periode historis secara khusus. Pemahaman secara keseluruhan dijadikan sebagai pemahaman yang disandarkan secara tersurat pada pemahaman ketika awal kali ayat turun.

Golongan literalis menyatakan jika pokok agama yang paling utama akan tetap selamanya serta pengetahuan terkait pokok agama tidak boleh diubah, walaupun masyarakatnya sudah berganti. Terkait pandangan mereka, makna-makna yang diakui asli tersebut sungguh- sungguh benar dan berlangsung bagi seluruh abad dan di semua wilayah.

Pendekatan terhadap teks dengan metode pembacaan yang sedemikian rupa mengakibatkan hadirnya otoritas makna tunggal yang cenderung menekankan hasil pemahaman yang kuat karena seragam, namun pada satu sisi menampakkan ketegangan akan perspektif lain yang mencoba untuk ikut masuk dalam pemahaman atas teks tersebut menuju ke pemahaman yang lain.

Cara seperti ini yang menjadikan para feminis disebut sebagai misoginis karena hanya mengandalkan penafsiran tunggal yang dalam implementasinya menguntungkan pria. Kaum tekstualis menunjukkan dengan jelas suatu kegagalan umum untuk memahami kesatuan dasar Alquran.

Mereka gagal memahami perbedaan antara prinsip-prinsip umum dan respons-respons khusus terhadap pelbagai peristiwa sejarah yang konkret dan partikular. Untuk mencari pemahaman yang padu tentang Alquran, maka harus mempertimbangkan berbagai pandangan para pemikir Muslim, terutama pada periode awal, yang bisa dilacak pada bacaan Alquran tersebut.

Qibtiyah juga menekankan agar para pemikir tekstual bisa melakukan upaya perjuangan (yang bersifat sungguh-sungguh) yang dikatakan sebagai cara dalam mempelajari arti sebuah bacaan yang bersangkut-paut di waktu dulu, dan mengandung perintah tertentu, untuk mengganti perintah tersebut beserta membatasi atau memperlebar atau bahkan memadukannya dengan teknik bermacam-macam sehingga keadaan yang baru bisa diselesaikan dengan jalan keluar yang baru juga.

Pendekatan Hermeneutika Gadamer dan Qibtiyah

Masalah menyangkut agama sangat ringan mengaitkan arus masa agar turut terlibat, meski hanya mengkritik atau bahkan terjerumus dengan jaringan pemikiran. Misalnya, jamaah pria di pemimpini salat oleh wanita. Hal itu merupakan gerakan agama yang mengundang kontroversi terbesar sepanjang sejarah.

Gelombang massanya terbentuk pada waktu Ummu Waraqah yang merupakan pemimpin salat pria. Selain itu, Amina Wadud juga dapat dikelompokkan menjadi wujud wanita yang berkonflik pada periode sekarang. Betapa tidak, ia sudah merintis acara salat jum’at yang berbeda dalam riwayat Islam. Menjadi khatib Jumat sekaligus Pemimpin Jumat ia kerjakan. Dan pada 18 Maret 2005 aksinya terjadi pada Gereja Anglikan, di Sundram Tagore Gallery 137 Grene Street, Mahattan, New York AS, yang dianut 100 orang kurang lebih jama’ah wanita dan pria “campur aduk”.

Dalam beberapa kasus yang melingkupi wanita sambil berupaya turut merespon teks-teks kewanitaan yang tidak dari wahyu, tetapi menjadi sumber yang tak kalah pentingnya dalam memberikan penjelasan terhadap wahyu, yakni teks-teks Rasulullah atau disebutkan sebagai redaksi matan hadis, dan ternyata menemukan banyak persoalan yang terkait secara langsung dengan bentuk aktivitas yang mereka lakukan yang dapat menjadi referensi untuk tidak mempertanyakan lagi status dan kedudukan mereka, tetapi menjadi sebuah jalan untuk memberikan pemahaman yang utuh tentang persoalan yang mereka hadapi.

Secara tematik hadis-hadis terkait jamaah pria menjadi makmum wanita mengacu pada pemaknaan atau maksud arti setiap hadis berdasarkan kasus yang melibatkan wanita dalam hal ibadah salat, meskipun keadaan yang meliputinya berbeda-beda. Dengan demikian, menguatnya penggunaan hermeneutika pada Islam seringkali bermula pada perwujudan antusias pergantian atas teknik mendalami bacaan Alquran, hadits maupun naskah Islam yang lainnya.

Sejak abad 20 terdapat bentuk baru yang muncul dalam pemikiran Islam yang mana mempunyai watak pada sebagian kelompok Islam dianggap menyesatkan atau menyimpang. Lalu bagaimana hermeneutik terkait dengan penolakan dan pembolehan pria menjadi makmum bagi Wanita? Secara khusus seperti apa pemikiran Gadamer bekerja? Seperti inilah yang akan mencoba untuk dijabarkan.

Pada satu sisi terkait dengan kedudukan seorang wanita ketika statusnya menjadi sejadi seorang pemimpin dalam salat, apalagi sebagian dari orang-orang yang menjadi makmumnya adalah kaum pria. Maka otomatis yang menjadi perbincangan adalah sejauh mana dalil yang dijadikan dasar yang dapat dijadikan sumber untuk mengetahui latar belakang permasalahannya dalam memberikan jawaban terhadap kejadian yang mengandung pro dan kontra tersebut.

Dan pasti perdebatanpun tidak dihindari dengan munculnya berbagai macam opini dan pendapat, baik yang melihat persoalan ini sebagai sebuah hasil ijtihad atau Cuman sekedar perbuatan yang mengarang dan tidak mempunyai pondasi apaun yang dijadikan sebagai pegangan.

Otoritas wahyu dalam masalah ini jelas sekali ditentukan dalil yang memberikan kewenangan seorang wanita untuk menjadi pemimpin dalam pelaksanaan salat, apalagi yang menjadi makmumnya adalah kaum pria, yang justru wanitalah yang harus menjadi makmum. Namun disisi lain, hadis yang secara teori dalam metedologi pengambilan dan penetapan hukum Islam mendiami barisan kedua ssesudah awahyu Alquran.

Alasannya, sama seperti yang dimunculkan pada diskusi usul fiqih, maka aturan Islam adalah ketetapan Allah. Ketetapan Allah harus pada tumpuan ilham dan kalam-Nya. Ilham yang langsung dan benar yakni Alquran. Sedangkan hadis merupakan penjelas, terhadap ilham. Maka ia ilham yang tidak langsung, dalam beberapa hal ketepatannya tidak terbukti.

Argumen superioritas pria yang disandarkan terhadap makna Alquran Surat An-Nisa:34, “pria merupakan “qowwam” dan berkewajiban kepada golongan wanita,” kata qowwam menjadi pangkal perdebatan. Beberapa penafsir klasik maupun kontemporer menerjemahkan istilah tersebut menjadi: imam dan penanggung jawab, yang mempunyai keunggulan lainnya, dan pria menjadi manajemen atas problem wanita.

Pria juga dianggap memiliki kelebihan dalam fisik. Oleh sebab itu melalui kaum pria tersebut muncul para utusan, para alim dan pemimpin. Alimatul Qibtiyah menjelaskan tentang penolakan kepemimpinan wanita dalam masalah ibadah yang merujuk pada hadis, “tidak akan berjaya kaum atau masyarakat jika kepemimpinannya diserahkan kepada kaum wanita”. Banyaknya penafsiran yang terkait beberapa Hadis dan ayat Alquran mengindikasikan bahwa kesahihan itu bukan sebuah universalitas yang satu, namun memiliki ragam perspektif.

Memahami larangan wanita sebagai pemimpin salat untuk pria dengan bantuan pemahaman dalam hermeneutika tidak dapat melupakan aspek historis serta analisis analisis semiologi. Memang benar Wanita sama jenisnya dengan pria yang mempunyai urgensi di lingkungannya, tapi pada prosesnya tugas wanita tersekat dengan kaum pria yang menyebabkan peran wanita sebagai komplementer golongan pria. Karena itu, problem kekuasaan wanita tetap sering dikaji, dari masa klasik sampai kontemporer.

Mengacu pada konsep Hermeneutika Gadamer terlihat bahwa dalam memahami ayat kepemimpinan tersebut cukup sistematis. Dengan mengimplementasikan konsep Gadamer tentang hermeneutik ontologis terkait larangan wanita sebagai pemimpin salat untuk pria, secara teoritis maupun praktis memiliki implikasi bagi masyarakat khususnya kelompok tektualis.

Implikasi teoritis melengkapi informasi ilmiah mengenai penafsiran dari Alquran serta Hadis yang tak memperbolehkan jamaah pria menjadi makmum bagi pemimpin wanita, bisa dilakukan melalui jalan Islamisasi pedoman Islam. Penafsiran tersebut dilakukan berdasarkan sesuai keadaan cerita masyarakat sekitar, dan agar terwujudnya perintah kebaikan dan larangan kemungkaran melalui akhlak yang baik.

Dan penerapan yang mudah dalam memahami menurut hermeneutika Gadamer menyampaikan pemahaman pada publik agar tidak menjalankan perbuatan yang menyimpang dari ajaran Islam tersebut. Gadamer sudah menyampaikan petunjuk yang mengartikan kenyataan naskah mati menjadi hidup mendasarkan sesuai kenyataan sejarah mengaitkan ketahanan bahasa yang bisa mengikat perhatian publik agar melaksanakan susunan aktivitas islami yang berperilaku baik.

Melalui hermeneutika, para feminis dan neo-modernis Muslim cenderung membaca ulang teks-teks tersebut dengan menekankan gagasan kesetaraan dan keadilan sesuai pada tugas wanita dan juga pria pada masyarakat, yang lebih bersifat saling melengkapi dan egaliter ketimbang hierarkis dan timpang.

Dalam konteks Islam modern, ketika berbincang tentang interpretasi Alquran berbasis kesetaraan hal ini hanya dapat berhasil jika “pengujian-ulang secara menyeluruh terhadap sumber sumber primer pemikiran, praksis dan pandangan dunia Islam dilakukan dengan memasukan perspektif wanita berkaitan dengan sumber-sumber ini dan yang mengabsahkan pengalaman wanita.

Abdur Rahmad
Abdur Rahmad
Santri Pesantren Nurul Jadid, pelayan para pelayannya kader biru kuning, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam di Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Probolinggo, yang tidak lain hanyalah seorang anak pulau Giligenting di seberang pulau Madura.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru