34.3 C
Jakarta

Pengaruh Kekuasaan terhadap Perkembangan Tafsir di Indonesia

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanPengaruh Kekuasaan terhadap Perkembangan Tafsir di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Pemahaman terhadap Al-Qur’an mengalami perkembangan yang cukup pesat dari masa ke masa, tak terkecuali di Indonesia. Perkembangan ini dapat dilihat dari ”kesadaran” pakar tafsir dalam merespon isu-isu yang berkembang. Pada era Orde Lama dan Orde Baru tafsir lebih banyak berpijak pada pemahaman terhadap keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an. Berbeda, pada era reformasi dan terlebih pasca reformasi, tafsir mulai banyak menyentuh tema-tema pokok sehingga kesan tafsir itu lebih kontekstual dalam merespon isu-isu yang hangat diperbincangkan.

Pada era Orde Lama pakar tafsir Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy menulis tafsir pada keseluruhan Al-Qur’an berjudul Tafsir An-Nur sejak 1952 sampai 1961. Dengan menggunakan model yang sama, K.H. Bisri Mustofa menulis tafsir pada tahun 1950 dengan judul Tafsir al-Ibriz dalam bahasa Jawa. Kemudian, pada era Orde Baru tepatnya tahun 1967 Buya Hamka menulis tafsir dalam bahasa Indonesia dengan judul Tafsir Al-Azhar. Dan masih banyak karya tafsir yang lain yang tidak dapat saya singgung semua dalam tulisan ini.

Setelah dua era politik di Indonesia itu, sebenarnya masih muncul karya tafsir dalam bentuk non tematik dan saya kira ini adalah tafsir yang terakhir di era reformasi. Tafsir yang saya maksud adalah Tafsir Al-Misbah yang ditulis oleh M. Quraish Shihab pada tahun 1999 pada saat dia menjabat sebagai Duta Besar RI di Kairo. Setelah itu, Quraish Shihab menulis tafsir fokus pada tema-tema tertentu, salah satunya adalah tafsir Islam dan Politik: Perilaku Politik Berkeadaban.

Perkembangan tafsir di era perpolitikan di Indonesia ini membuktikan bahwa kehadiran politik itu memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membentuk pemahaman pakar tafsir terhadap Al-Qur’an. Maka dari itu, pemahaman terhadap Al-Qur’an itu hendaknya disikapi dengan pendekatan yang benar. Agar pemahaman terhadap kalam Allah ini menghasilkan pemahaman yang holistik dan berkeadaban. Al-Qur’an bukan hanya dijadikan sebagai kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan semata.

Pemahaman yang benar terhadap Al-Qur’an di sini dapat mengantarkan politik ke arah yang benar karena politik dan agama merupakan dua hal yang saling berkaitan sehingga keduanya harus dipertemukan tanpa ada pertentangan. Pemahaman yang keliru terhadap Al-Qur’an karena kepentingan politis semata dapat diperhatikan pada pemahaman politikus terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sehingga mendiskreditkan kaum perempuan, merugikan pihak politik yang lain dan masih banyak yang lainnya.

BACA JUGA  Benarkah Politik Sebatas Menang-Kalah, Bukan Benar-Salah?

Lalu, bagaimana cara untuk memahami Al-Qur’an di ranah perpolitikan? Kita hendaknya melihat nilai-nilai yang diperjuangkan dalam Al-Qur’an. Mengenai masalah nilai ini, Imam as-Syathibi merumuskan menjadi lima aspek penting yang harus diperhatikan dalam penerapan syariat atau yang biasanya disebut dengan Maqashid asy-Syar’iyyah, yaitu memelihara akal, harta, agama, jiwa, dan keturunan. Jadi, jika ada pemahaman yang bertentangan dengan nilai-nilai ini maka pemahaman itu tidak dapat diterima dan dibenarkan.

Katakan saja, karena faktor ketidaksetujuan terhadap ideologi negara yang sah, maka ada kelompok yang menawarkan berdirinya Negara Islam yang getol mengkafirkan Negara Bangsa. Negara Islam yang dikampanyekan ini, katanya, akan dipimpin oleh seorang khalifah. Mereka mengadopsi pemahaman ini dari surah al-Baqarah ayat 30 dan surah Shad ayat 26 yang kedua ayat ini berbicara seputar khilafah. Tapi, khilafah yang dimaksud pada ayat ini bukan seperti yang dipahami oleh pengusung khilafah tadi.

Khilafah pada surah al-Baqarah ayat 30 itu, seperti yang disitir dari pandangan Quraish Shihab dalam bukunya, Islam dan Politik, berbicara seputar manusia yang diperintahkan oleh Allah untuk membangun dan memakmurkan bumi serta mengantarkan makhluk yang ada dalam jangkauannya ke tujuan penciptaannya. Sedangkan, pemahaman khilafah pada surah Shad ayat 26 itu membahas tentang sosok yang memiliki kekuasaan politik, yaitu Nabi Daud. Nabi Daud memiliki wewenang yang cukup kuat di tengah-tengah Bani Israel saat itu. Melihat dari dua pemahaman ini, tidak ada hubungannya dengan pendirian Negara Islam dan pemberian stigma terhadap negara selainnya dengan sebutan ”Negara Kafir”.

Sebagai penutup, kehadiran politik memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap pakar tafsir dalam memahami wahyu Allah, yaitu Al-Qur’an. Maka, tidak menutup kemungkinan pakar tafsir menghidangkan penafsirannya untuk merespon isu-isu politik yang lagi berkembang. Sehingga, kita sebagai penikmat karya tafsir hendaknya menimbang-nimbang mana karya tafsir yang lebih banyak subjektifnya dan mana karya tafsir yang lebih banyak objektifnya. Saran saya, pilihlah karya tafsir yang lebih objektif karena itu karya tafsir yang sesuai dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Islam.[] Shallallahu ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru