29 C
Jakarta

Pengakuan Mantan Ekstremis dan Agama Teroris

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuPengakuan Mantan Ekstremis dan Agama Teroris
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul: Apa Agama Teroris?, Penulis: Anwar Kurniawan, Penerbit: IRCiSoD, Cetakan: I, Agustus 2022, Tebal: 178 Halaman, ISBN: 978-623-5348-09-4, Peresensi: Fathorrozi, M.Pd.

Harakatuna.com – Penjara dipercaya dapat mencapai tujuan pemidanaan, salah satunya adalah penjeraan atau detterence. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 2. Bahwa tujuan pemasyarakatan ialah dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindakan pidana sehingga dapat kembali diterima di masyarakat.

Namun, tujuan tersebut tak ubahnya angin lalu bagi anggota kelompok ekstrem di dalam penjara. Sama sekali tidak digubris. Abu Hafsoh, seorang mantan anggota kelompok ekstrem mengaku bahwa penjara bukanlah sebenar-benarnya pemberi efek jera. Ia menyebut, justru di dalam penjara doktrin dan ideologi ekstrem semakin tumbuh subur hingga menjadikan para anggota kelompok tersebut semakin terpancang kukuh dengan paham dan jalan yang mereka tempuh.

Dalam buku Apa Agama Teroris? ini, Anwar Kurniawan begitu gamblang mengungkap pengakuan Abu Hafsoh selama berada dalam tahanan. Abu Hafsoh mengaku ada beberapa doktrin krusial yang membiak di dalam sel ketika dirinya tinggal di penjara bersama Aman Abdurrahman yang merupakan salah satu dedengkot ISIS lokal.

Setidaknya ada lima doktrin yang disebutkan di dalam buku ini berdasarkan pengakuan mantan anggota kelompok yang beraliansi di atas gagasan pemurnian Islam tersebut. Pertama, paham takfiri. Dengan bekal mengkafirkan orang lain, mereka mengantongi alasan untuk menumpahkan darah, menembak polisi, melancarkan serangan bom, atau menarget umat non-Muslim (hlm. 16).

Paham takfiri ini juga memungkinkan aksi pencurian (biasanya dilakukan seorang akhwat) yang menganggap tindakannya merupakan perjuangan. Ini berkaitan dengan doktrin bahwa harta setiap musuh mereka menjadi halal dan layak untuk dijarah. Sungguh naif dan kejam sekali.

Kedua, doktrin yang juga menggurita di balik sel tahanan adalah ajakan untuk tidak mau menjawab salam. Maka, jika ada orang yang menyampaikan salam, mereka langsung curiga, jangan-jangan akidahnya melenceng, atau lain sebagainya.

Ketiga, Abu Hafsoh mengungkap bahwa para anggota kelompoknya diharamkan menunaikan salat di masjid penjara. Bahkan, bagi mereka, masjid penjara harus dibumihanguskan, sebab di masjid tersebut Pancasila diajarkan. Sementara dalam benak mereka, Pancasila menjadi pemecah belah umat.

Keempat, mereka sangat tertutup. Semua aktivitas yang berkenaan dengan penjejalan doktrin, mereka lakukan dengan menggelar pengajian secara tertutup dan eksklusif. Dari pengajian demi pengajian yang tertutup itu, lalu terhunjam kesadaran bahwa mereka satu-satunya kelompok yang paling benar. Sedangkan orang-orang di luar mereka adalah salah. Karena salah, berarti halal darahnya untuk ditumpahkan.

BACA JUGA  Penanganan Terorisme di Indonesia: Perspektif Kebijakan Hukum Pidana dan Non-Pidana

Kelima, narasi yang berkembang di antara mereka adalah kezaliman non Muslim. Seringkali mereka gembar-gemborkan bahwa kini umat Islam sedang tertindas di negeri sendiri yang mayoritas Islam. Pada saat yang sama, kesolidan mereka terbangun di atas misi “menegakkan Islam yang murni”. Itulah kenapa di saat melakukan aksi yang mereka sebut sebagai jihad, mereka tidak perlu lagi berpikir dua kali, meski demi misi meledakkan diri (hlm. 17).

Lewat narasi umat Islam terzalimi atau umat Islam mengalami penindasan inilah, kemarahan mereka kian meletup-letup. Maka, mereka sebenarnya berbuat onar bukan untuk jihad suci, namun sekadar menyalurkan nafsu amarah, dendam kesumat, jengkel, geram, sakit hati, atau luka yang menganga, lantaran merasa umat Islam telah dianiaya dan ditindas.

Anwar Kurniawan pun di bagian akhir bahasan pengakuan mantan ekstremis ini mengutip petuah Cersei Lannister dalam serial Game of Throne ketika melakukan tindakan tajam-terukur kepada salah satu anggota the faith militant yang berlagak membela agama: “Apa yang mereka anggap sebagai upaya membela Tuhan dengan merampok, mempermalukan orang lain, dan menghukum secara sepihak orang-orang yang mereka sangka sebagai pendosa, semuanya bukanlah wujud pengabdian kepada Tuhan. Sebaliknya, itu semua dilakukan di atas kesenangan mereka.” (hlm. 18).

Selain hal tersebut, buku dengan tebal 178 halaman ini juga mengupas soal agama teroris, yang kemudian oleh penulis dinobatkan sebagai judul buku. Berangkat dari sebuah kebingungan, penulis bertanya, teroris itu punya agama atau tidak?

Jika dijawab punya, berarti kita tengah mengafirmasi agama tertentu telah mengajarkan aksi-aksi tidak berkemanusiaan. Tetapi, jika dijawab tidak punya, nyatanya mereka mengklaim dirinya sedang melakukan misi keagamaan. Dari sinilah, Anwar Kurniawan merasa penting untuk lebih dulu mengurai definisi agama.

Lalu, ia mengutip ungkapan Edward Burnett Tylor dalam Theories of Religion dan perkataan James George Frazer dalam The Golden Bough, serta menyitir pengertian ad-din dan millah di dalam al-Qur’an, berikut penafsiran dari Imam Ja’far at-Thabari dalam Jami’ al-Bayan an Ta’wil ay al-Qur’an.

Yang kemudian melahirkan sebuah kesimpulan bahwa agama adalah ketaatan yang dibangun secara totalitas, bukan dalam pengertian yang politis. Dan bahwa sesungguhnya ketaatan yang diterima di sisi Allah adalah ketaatan yang totalitas dipersembahkan untuk-Nya saja (hlm. 20).

Sementara Islam yang asal katanya adalah aslama mempunyai makna: masuk dalam kepasrahan dan ketundukan yang total. Maka, berarti tidak logis jika pelaku teror mengklaim aksinya sebagai ejawantah dari ajaran Islam. Akhirnya, semoga Allah terus melindungi Ibu Pertiwi ini dari rongrongan ekstremis dan ancaman teroris.

Fathorrozi, M.Pd
Fathorrozi, M.Pd
Pegiat literasi dan pengasuh Qarnul Islam Ledokombo Jember

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru