Harakatuna.com. Jakarta – Pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo telah memilih ‘Nusantara’ sebagai nama Ibu Kota Negara (IKN) baru. Pemilihan nama ‘Nusantara’ ini sebagai gambaran bangsa ini yang disatukan oleh semangat persatuan sebagai benteng kokoh dari keragaman budaya, suku, etnis, bahasa dan agama. ‘Nusantara’ juga menyiratkan makna cita-cita untuk mengembalikan spirit kejayaan Nusantara dan mentalitas bangsa sebagai bangsa yang unggul dan berjaya seperti dahulu kala.
“Mentalitas itu yang harus terus kita bangun, karena tantangan bangsa kedepan akan lebih bervariatif dan kompleks,” ujar Dosen Pasca Sarjana bidang Ilmu Politik dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Dr. Wachid Ridwan, S.Pd, M.Si, sebagaimana rilis yang diterima redaksi di Jakarta, Jumat (28/1/2022).
Ia mengatakan mentalitas yang perlu kembali dibangun ialah mentalitas bangsa yang sama seperti pada saat para founding fathers bangsa ini memperjuangkan hingga memproklamirkan kemerdekaan. Menurutnya semangat yang tercermin pada saat itulah yang perlu menjadi pijakan untuk mengembalikan mentalitas bangsa.
“Pijakan utama itu menurut saya ya semangat kejiwaan, semangat kebersamaan, semangat keberagamaan dan semua yang terjadi selama proses bagaimana founding fathers kita itu yang memproklamasikan kemerdekaan. Nah spirit itulah yang perlu kita bangun lagi,” katanya.
Terkait pro dan kontra Undang-Undang (UU) IKN, Sekretaris Badan Pencegahan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI) ini menilai sebagai sebuah hal yang wajar dalam dunia demokrasi.
“Saya kira dalam dunia demokrasi seperti ini, polemik-polemik yang semacam itu adalah sesuatu yang biasa, tetapi jangan sampai ada kekerasan,” ujarnya.
Menurutnya, rencana pemindahan ibu kota negara bukanlah hal yang mudah. Namun bagaimana pun UU IKN telah disahkan menjadi sebuah konsensus oleh pemerintah. Ia menilai, masyarakat perlu mendukung dan berpartisipasi terkait kebijakan tersebut.
“Kita semua perlu mendukung, perlu ikut serta berpartisipasi. Yang saya maksudkan ini adalah adanya pengawasan. Jadi tetap harus ada pengawasan dan harus ada kritik yang membangun,” ungkap Wachid.
Ia menambahkan, dukungan berupa pengawasan yang baik dari masyarakat dapat menjadi pemicu keberhasilan yang mana akan menjadi goresan sejarah bangsa yang sangat baik.
“Insya Allah kalau kita semua dan semua elemen bangsa ikut bertanggung jawab atas keberhasilan nanti, maka Insyaallah akan jadi goresan sejarah yang betul-betul ingin Indonesia ini baru dan kita berkomitmen untuk mewujudkan,” jelasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, untuk kembali membangun mentalitas bangsa, maka semua lapisan masyarakat memiliki peran masing-masing sesuai dengan bidang dan keahliannya yang bertujuan memperkuat semangat persatuan sebagai pijakan dasar bangsa.
Ketika peran tanggung jawab sebagai warga negara dijalankan dengan baik, menurutnya tidak mustahil mentalitas bangsa yang sarat akan semangat persatuan ini akan makin terbangun.
“Misalnya kami di gugus tugas nasional revolusi mental, kami berusaha menggugah mentalitas tersebut dengan program penguatan dan pemberdayaan tiga (3) nilai yaitu integritas, etos kerja dan gotong royong,” tutur Wachid yang juga menjadi tim ahli Satgas Nasional Revolusi Mental di Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK).
Penanaman tiga nilai kepada masyarakat tersebut, kata Wachid, sebagai bagian dari aktualisasi dalam rangka mendorong masyarakat untuk menjalankan peran dan fungsi masing-masing sebagai warga negara.
“Kalau dalam bahasa agamanya itu istiqomah di dalam karakter diri kita masing-masing, menjalankan peran sesuai dengan karakternya dan fungsi kita masing-masing. Insya Allah sekali lagi akan tercipta sebuah persatuan dan kesatuan yang lebih solid,” jelasnya.
Untuk itu, ia berpesan terutama kepada generasi muda, agar tetap menghargai sejarah bangsa yang luar biasa di masa lalu. Namun tidak boleh terlena atau bahkan berkhayal mengembalikan sesuatu atau keadaan seperti pada masa lampau.
Misalnya seperti Sumpah Amukti Palapa yang dicetuskan Mahapatih Gajah Mada dalam upaya ingin mempersatukan seluruh Nusantara dalam konteks perluasan kewilayahan di jaman itu.
“Sejarah yang luar biasa di masa lampau tidak akan berarti kalau kita tidak memberikan aksi dari apa yang pernah tertoreh sebagai sejarah yang luar biasa hebat pada Nusantara ini. Tentu kenangan itu perlu kita jadikan sebagai semangat. Tetapi tidak perlu untuk berkhayal, mengembalikan sesuatu (atau keadaan) yang sama dengan pada saat itu,” tandas Wachid.