28.4 C
Jakarta

Pelajaran Berharga dari Konflik Yaman-Houthi

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahPelajaran Berharga dari Konflik Yaman-Houthi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tahun 2004 merupakan awal yang pahit bagi Yaman. Houthi yang beraliran Syi’ah Zaidi mulai melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Meski hanya terbatas di daerah miskin saja, tepatnya di bagian utara negara tersebut konflik Yaman ini membuat masyarakat menderita.

Hussein al Houthi mendirikan kelompok ini dengan visi kritis terhadap pemerintah yang kala itu sangat dekat dengan Barat.

Jika awalnya seluruh warga dunia masih meraba, kini masing-masing pihak –Yaman dan Houthi- membukanya secara blak-blakan. Tidak malu lagi bagi mereka memamerkan siapa saja yang ada di balik kedunya. Sebut saja Arab Saudi, UEA dan 7 negara Arab lainnya yang notabene pengikutnya ajaran Sunni menjadi pembela sejati Yaman.

Konflik Yaman dan Kegagalan Transisi Politik

Tidak dengan Iran, karena basis perlawanan Houthi adalah muslim Syi’ah, maka Iran menjadi negara setia yang membantu pergerakan milisi Houthi hingga hari ini. Perlu disampaikan, dalam satu dekade terakhir, konflik ini tidak lagi disebabkan karena kedekatan pemerintah dengan Barat melainkan bergeser pada faktor lain, yaitu kegagalan transisi politik dari Presiden Ali ke Presiden Hadi.

Kegagalan transisi ini nampaknya berdampak fatal dan mempengaruhi kebanyakan masyarakat. Penduduk Yaman yang basisnya Sunni dan mendukung pemerintah, berbelok mendukung Houthi dan menguasai wilayah vital di negara ini tepat pada bulan September 2014 dengan tuntutan turunnya harga bahan pokok dan pemerintahan baru.

Tujuh belas tahun sudah terlewati, namun konflik ini masih terus berlangsung bahkan hingga hari ini. Jika mulanya pemberontakan hanya terpusat di Saada dan wilayah utara lainnya, kini milisi Houthi memperluas cakupannya hingga Sanaa, Istana Presiden bahkan seluruh kota di Yaman. Hal inilah yang kemudian memaksa Presiden Mansour Hadi untuk kabur meninggalkan Yaman pada tahun 2015.

Karena konflik ini, Yaman sempat didapuk sebagai negara termiskin di Semenanjung Arab pada tahun 2014. Mirisnya, jika konflik ini berlanjut hingga tahun 2022, United Nations Development Programme (UNDP) memprediksi Yaman menjadi negara termiskin di dunia.

Pelajaran Penting dari Konflik Yaman-Houthi

Setidaknya terdapat beberapa hal yang bisa digarisbawahi dari kisruh Yaman-Houthi ini. Pertama, perihal ideologi keagamaan. Kedua, kegagalan transisi politik. Ketiga, persoalan harga bahan pokok. Keempat, tuntutan pembentukan pemerintahan baru. Kelima, campur tangan pihak asing. Keenam, budaya hobi berperang. Ketujuh, haus akan kekuasaan.

Dengan diiringi hati yang suci, mari kita jabarkan satu persatu. Persoalan ideologi bukan perkara baru dalam Islam. Setidaknya sejak abad 11 H, alasan klasik ini kerap menjadi penyebab huru-hara dalam internal agama Islam. Impementasinya berbeda-beda, dari yang membolehkan berlaku diskriminatif hingga menghalalkan darah antara satu dengan lainnya. Sudahlah, ini tidak dewasa.

Transisi politik yang lancar dan mulus sangat perlu andil seluruh pihak untuk mewujudkannya. Keinginan pemerintah, eks pemerintah dan rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan dan perdamaian harus benar-benar diimpelementasikan pada fase ini. Saya taksir, penduduk Yaman bukan tidak menginginkan perdamaian, tetapi saying, sebagian elit menginginkan hal lain.

Perihal harga bahan pokok, ini tidak bisa disepelekan. Benar, hal ini tidak ada kaitannya dengan agama, tetapi jika sejumlah rakyat dalam suatu negara tumpah memprotes harga bahan pokok yang relatif naik, tentu hal ini mesti menjadi prioritas. Namun, protes yang baik adalah protes yang bijak. Protes yang benar-benar islamis dan pancasilais yang dilindungi Undang-undang.

Ketidak Puasan terhadap Pemerintah

Menginginkan pemerintahan baru sejatinya merupakan hal wajar dalam sebuah negara. Adanya ketidakpuasan terhadap pemerintah yang tengah berkuasa menjadi salah satu penyebab hasrat ini muncul secara spontan. Akan tetapi tentu tidak bijak jika hal tersebut mereka lakukan dengan inkonstitusional. Menunggunya hingga pemilu tiba adalah cara terbaik dengan mengikuti rangkaian prosesnya.

Setiap negara sejatinya tidak terlepas dari masalah. Namun setiap negara juga mengetahui bagaimana cara ia mengatasi masalah tersebut. Saya pikir, campur tangan negara lain dalam persoalan internal suatu negara bukan merupakan hal yang patut mendapat apresiasi. Alih-alih mendamaikannya, justru malah memperparahnya.

Membudayakan penyelesaian masalah dengan diplomasi dan negosiasi merupakan sesuatu yang biasa. Sehingga dunia ini cerah tanpa asap ledakan bom dan rudal yang berhamburan. Demikian pula syahwat untuk berkuasa. Terlihat seperti bukan apa-apa, tetapi sejatinya inilah yang menjadi biang kehancuran suatu negara.

Azis Arifin, M.A
Azis Arifin, M.A
Alumni SPs UIN Jakarta. Alumni Ponpes Asy-Syafe'iyah Purwakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru