30.8 C
Jakarta

NU dan Muhammadiyah Fokus Cegah Politik Identitas di 2024

Artikel Trending

AkhbarDaerahNU dan Muhammadiyah Fokus Cegah Politik Identitas di 2024
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Rembang – Ketua Umum PB NU Yahya Cholil Staquf mengakui bahwa politik identitas masih menjadi persoalan, bahkan di organisasi yang dipimpinnya. Karena itulah, dia meyakini, peran paling relevan untuk organisasi seperti NU terkait pemilu adalah dengan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.

“Kita semua menyadari, dan kita sudah memiliki pengalaman-pengalaman yang cukup berat selama ini, bahwa politik identitas, politik SARA ini terus menerus membayangi dinamika politik di berbagai tingkatan,” kata Yahya, Rabu (25/1), dalam diskusi daring yang diselenggarakan Kementerian Dalam Negeri.

“Karena itu, menuju Pemilu tahun 2024 nanti, NU sendiri menempatkan konsen tentang politik identitas ini sebagai perhatian utama,” tambahnya.

Menurut Yahya, politik idenitas bukan sesuatu yang mudah diatasi. Tradisi politik masyarakat Indonesia awalnya dibangun di atas fondasi politik identitas. Karena itu pula lah, praktik dan model dinamika politik identitas telah berlangsung cukup lama.

“Kita tahu, sebagaimana diungkap sejumlah peneliti bahwa peta politik Indonesia ini pada umumnya didasarkan pada politik aliran. Ini menjadi semacam warisan, sulit untuk dihapus begitu saja,” tegasnya.

Pemerintahan Orde Baru, kata Yahya, mencoba menekan praktik politik identitas dengan cara yang represif. Sebagai dampaknya, ketika kekuasaan Orde Baru tumbang, masyarakat seolah lepas dari belenggu, termasuk dalam praktik politik identitas ini. Kecenderungan politik identitas dan politik aliran, kata Yahya, meruyak kembali.

BACA JUGA  Cegah Paham IRET, Ini Perintah Wali Kota Jakpus Kepada Kepala Sekolah dan Guru Agama

Kondisi ini menjadi tantangan bagi seluruh pihak, termasuk bagi NU. “Saya kira semua orang mengetahui, dan kami sendiri dalam kepemimpinan NU menyadari bahwa di dalam lingkungan NU sendiri, kecenderungan politik identitas itu masih cukup kuat. Terutama karena semangat, atau dalam istilah yang lebih peyoratif, dikatakan syahwat politik di lingkungan NU yang sangat besar,” urainya.

Hindari Polarisasi, Pilpres 2024 Tak Boleh Hanya Usung Dua Calon

Dalam Pemilu 2019, menurut Yahya, bahkan terjadi mobiliisasi dukungan dengan menjadikan identitas NU sebagai senjata. Fenomena ini tentu tidak menggembirakan. Politik identitas adalah motivasi politik yang tidak rasional, sehingga, kata Yahya, konsolidasi berdasarkan identitas mengarah pada konsolidasi bersifat tribal atau kesuku-sukuan.

“Yang kemudian menjadikan para partisipan politik ini, tidak lagi berpikir tentang pertimbangan-pertimbangan rasional, tetapi lebih berpikir tentang sentimen-sentimen identitas yang irasional,” tambahnya.

Pertarungan ide yang tidak rasional, akan melahirkan dialog yang tidak rasional pula dan menghambat upaya damai dalam politik. Setiap mereka yang secara identitas berbeda, didudukkan sebagai musuh yang absolut. Negosiasi dan pertukaran pemikiran, yang selayaknya ada dalam proses politik, tidak dikedepankan.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru