31.8 C
Jakarta

Mencegah Pembusukan Agama Melalui Dialog Antaragama

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMencegah Pembusukan Agama Melalui Dialog Antaragama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Umat pemeluk agama apa pun berhak melaksanakan ibadah keagamaan dengan sakral, nyaman, dan aman. Tidak dipenuhi rasa takut akan teror. Hanya saja, seringkali umat beragama di Indonesia merasa alpa dari perasaan aman untuk menjalankan ibadah. Dialog antaragama masih jauh dari kata memuaskan.

Ditambah lagi, narasi-narasi intoleransi yang dibangun oleh tokoh terkemuka, pengguna media sosial, dan penceramah mimbar-mimbar keagamaan semakin menyudutkan pemeluk agama dan keyakinan. Hingga tak heran kalau kita mudah menemukan fenomena pelabelan ‘kafir’ kepada pemeluk agama lain, penganiayaan, susahnya perizinan mendirikan bangunan keagamaan, atau perusakan tempat ibadah oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab.

Teror dan aksi intoleransi tersebut menunjukkan betapa busuknya perilaku umat agama yang melegalkan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan. Menurut Kimball, pangkal kebusukan dan kerusakan agama itu ada lima. Pertama, kala pemeluk agama mengklaim kebenaran (truth claim) agamanya sebagai satu-satunya dan yang mutlak.

Yang lain dinilai salah kaprah dan karenanya patut dienyahkan dari muka bumi. Memang benar, penganut agama sudah semestinya meyakini kebenaran agama atau keyakinannya sendiri. Namun demikian, menegasikan keberadaan kepercayaan lain ialah bentuk ketidakpercayaan diri terhadap agama yang dipeluk.

Kedua, munculnya fanatisme buta para pemeluk agama, pada pemimpin keagamaan mereka. Karl Marx pernah mengatakan, agama adalah candu. Siapa menggenggam agama, dia akan menjelma menjadi pribadi yang dapat melakukan apa saja atas nama agama. Fanatisme ini akan menghadirkan sikap merasa benar sendiri dengan potensi menyalahkan pihak lain yang berbeda.

Fanatisme juga akan melahirkan gaya keberagamaan bak kaca mata kuda. Hitam putih dan tegak lurus. Ujungnya, persekusi atau kekerasan pada pihak lain akan dilakukan untuk memenangkan fanatismenya.

Ketiga, pemeluk agama mulai gandrung merindukan zaman ideal atau the golden age. Tak cukup hanya merindukan, mereka pun bertekad mengusung zaman itu ke masa kini, termasuk dengan segala cara. Padahal diketahui, setiap zaman senantiasa ada konteks dan sejarahnya sendiri-sendiri.

Tidak semestinya sejarah masa lalu yang berbeda ruang lingkupnya, dipaksaterapkan untuk konteks hari ini yang sudah demikian berbeda dalam segala sisinya. Ini juga berpotensi melabrak tatanan modern hanya karena untuk memenangkan imajinasi masa lampaunya.

Keempat, kala pemeluk agama menyetujui konsepsi salah kaprah: “tujuan membenarkan segala cara.” Benar bahwa mencapai tujuan mulia itu sudah seharusnya dilakukan sekuat tenaga. Namun demikian, upaya memperoleh tujuan impian tidak boleh membuat alpa norma-norma kemanusiaan universal.

Tujuan yang baik jika dilakukan dengan cara yang buruk maka akan menjadi buruk. Amar ma’ruf yang dilakukan dengan kemungkaran, otomatis justru menjadi kemungkaran itu sendiri. Karena itu, tegakkanlah nilai-nilai agama dengan keluhuran dan kemuliaan, bukan dengan membenarkan segala cara seperti teror.

BACA JUGA  Darurat Solidaritas: Lawan Polarisasi Politik dan Perpecahan Bangsa!

Dan kelima, bila crusade (perang suci) dipekikkan. Sejatinya tidak ada perang yang suci. Perang selalu kotor dan penuh intrik, dendam, kebencian dan amarah. Perang suci hanyalah bungkus yang digunakan untuk menyamarkan kekotoran itu. Dan, klaim perang suci itu faktanya hanya menyebabkan ribuan bahkan jutaan nyawa meregang.

Darah bertumpahan di mana-mana. Tak jarang mereka yang tak berdosa turut menjadi korban. Perang Salib menjadi salah satu contoh terbaiknya. Dalam konteks modern, teriakan atau pekikan perang suci semestinya dihindari, guna mewujudkan fitrah damai agama.

Dialog Antaragama

Dalam rangka menghindarkan umat manusia dari pembusukan perilaku umat beragama tersebut, kita perlu mendialogkan keberagamaan untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dan damai. Dialog antaragama ini perlu dilakukan sebagai langkah konstruktif dalam mengatasi munculnya klaim kebenaran (truth claim), di mana setiap pemeluk agama menganggap bahwa ajaran dan keyakinannya yang paling benar dan kepercayaan agama lainnya salah.

Ini penting dilakukan karena pemahaman yang sangat ekstrem itulah yang turut menyebabkan munculnya konflik sosial-keagamaan terhadap kaum minoritas yang semestinya dihindari, karena Pancasila mengajarkan untuk sikap saling menghargai di antara perbedaan keyakinan dari mulai agama Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu. Sehingga, benturan klaim kebenaran perlu direduksi dan didialogkan untuk meminimalisasi terjadinya aksi kekerasan atas nama agama hingga politik.

Hans Georg Gadamer, dalam karyanya “Wahrheit und Methode” (1960), menempatkan dialog pada posisi yang penting sebagai suatu esensi pemahaman umat beragama dan tindakan perbaikan diri. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa sikap berdialog mengajak kepada orang untuk memiliki kemampuan dalam memahami sesuatu, termasuk terhadap pikiran orang lain.

Dalam konteks beragama, dialog agama ini fokus untuk memunculkan mutual understanding (pemahaman bersama) bahwa kebenaran universal agama adalah perihal tauhid, kemanusiaan, dan perintah melaksanakan kebaikan dan menjauhi kejahatan.

Kemampuan memahami satu sama lain inilah, yang pada taraf selanjutnya akan memunculkan konsepsi saling menghormati dan melindungi hak-hak sesama termasuk hak beragama. Konsepsi inilah yang selanjutnya menjadi kunci penting mengikis konflik yang muncul dari perbedaan. Ini juga akan mencegah manusia dari menggoreskan noktah hitam kekerasan beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menciptakan etika sosial yang profan untuk memunculkan harmoni di tengah perbedaan.

Hingga akhirnya, ketika landasan dialog antaragama telah mengakar kuat, kita bisa saling sepaham untuk menjadikan NKRI sebagai tempat yang aman untuk pemeluk agama apapun. Siapapun yang sedang melaksanakan upara keagamaan tidak akan diganggu. Semua sadar untuk saling melindungi sesama dari hal-hal yang dapat mengancam ketentraman, kenyamanan, dan keamanan hidup. Wallahu a’lam.

Mohammad Sholihul Wafi, S.Pd.
Mohammad Sholihul Wafi, S.Pd.
Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tim penulis buku “Revolusi Pemikiran Kaum Muda”. Saat ini mengajar di Pondok Pesantren Shiratul Fuqaha’, Kudus.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru