Harakatuna.com. Jakarta – Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengkritik klarifikasi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI Komjen Pol Rycko Amelza Dahniel terkait mekanisme kontrol rumah ibadah yang melibatkan masyarakat demi mencegah radikalisasi.
“Pengawasan oleh masyarakat itu justru ketika di-endorse oleh negara, akan menjadi masalah baru. Nanti akan membuka potensi konflik antargolongan, antarmasyarakat,” kata Haedar di UII, Sleman, DIY, Kamis (8/9).
Guru besar sosiologi itu berpendapat bahwa masyarakat sejatinya telah mempunyai mekanisme diri berupa kontrol satu sama lain. Bagi Haedar, itu adalah sebuah mekanisme sosial yang alami dan lumrah.
“Tapi ketika itu di-endorse oleh negara supaya mengawasi masjid, mengawasi gereja, dan seterusnya itu malah berpotensi menciptakan konflik horizontal,” tegasnya.
Oleh karenanya, Haedar menekankan pentingnya kearifan, kecerdasan, dan tanggung jawab yang lebih luas baik dari BNPT maupun instansi-instansi pemerintah lainnya. Situasi kondusif diperlukan terlebih jelang Pemilu 2024.
Upaya kontrol terhadap tempat-tempat ibadah, di mata Haedar cuma akan membuat nuansa kebangsaan kian terkesan dramatis dengan alarm yang sewaktu-waktu bisa berbunyi. Ia tentu melihat kondisi ini tidak proporsional.
“Karena masjid dan tempat-tempat ibadah lain itu menjadi sumber api nilai berbangsa, bahkan menjadi sumber nilai etika masyarakat. Bahwa agama umat beragama di Indonesia itu punya sejarah panjang melekat dengan denyut nadi kehidupan bangsa, ikut memperjuangkan kemerdekaan dengan darah dan meletakkan pondasi keindonesiaan bersama seluruh komponen bangsa,” paparnya.
Ia melanjutkan, bilamana muncul suatu kasus yang dikaitkan dengan agama atau umat beragama tertentu seharusnya diambil tindakan-tindakan yang sejalan dengan hukum. Bukan malah membuat kebijakan yang sifatnya menggeneralisasi.
“Nanti dampak luasnya apa, bahwa sosial order, ketertiban sosial itu kehilangan daya kulturalnya. Di mana satu kekuatan kultural bangsa kita itu kan umat beragama, jadi kami percaya kepala BNPT dan jajaran BNPT untuk meninjau kembali dan tidak melanjutkan langkah untuk mengawasi tempat ibadah,” tutupnya.
Sebelumnya Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI Komjen Pol Rycko Amelza Dahniel sempat mengusulkan pemerintah mengontrol rumah ibadah saat menanggapi pernyataan anggota Komisi III DPR RI Safaruddin yang menyinggung adanya karyawan PT KAI yang terpapar paham radikalisme beberapa waktu lalu.
Rycko menilai usulan itu meniru aturan yang telah berlaku di Malaysia, Singapura, beberapa negara di Timur Tengah, hingga Afrika. Menurutnya, masjid atau tempat ibadah sepenuhnya di bawah kontrol pemerintah.
Jenderal bintang tiga Polri itu menjelaskan pemerintah dapat mengawasi setiap agenda ibadah yang digelar suatu tempat ibadah. Selain itu, juga mengawasi tokoh agama yang menyampaikan dakwah atau khotbah.
Baginya, hal ini demi menghindari hadirnya narasi kekerasan di tempat ibadah. Usulan Rycko itu lantas ditolak oleh banyak organisasi keagamaan.
Belakangan, Rycko mengklarifikasi pernyataannya itu dengan menyebut mekanisme kontrol di tempat ibadah diusulkan dengan menekankan pelibatan masyarakat setempat dalam pengawasan, bukan pemerintah melakukan kontrol penuh secara sepihak.
“Terhadap penggunaan tempat-tempat ibadah untuk menyebarkan rasa kebencian, kekerasan, mekanisme kontrol itu artinya bukan pemerintah yang mengontrol. Mekanisme kontrol itu bisa tumbuh dari pemerintah beserta masyarakat,” kata Rycko dalam keterangannya, Rabu (6/9).
Rycko berkata mekanisme kontrol ini tidak mengharuskan pemerintah mengambil kendali langsung tempat ibadah. Namun, ia mengatakan mekanisme ini dapat tumbuh dari pemerintah dan masyarakat.
Ia menjelaskan bahwa pengurus masjid dan tokoh agama setempat bisa berperan dengan melaporkan aktivitas atau ajaran yang berpotensi radikal.
“Pemerintah sendiri tidak akan sanggup mengontrol semua tempat ibadah,” kata Rycko.
Rycko menjelaskan pendekatan yang diusulkan adalah melibatkan tokoh agama dan masyarakat setempat untuk memantau dan memberikan peringatan kepada individu yang terlibat dalam penyebaran pesan kebencian dan kekerasan.
Selanjutnya, Rycko mengatakan mereka yang terindikasi menebar gagasan kekerasan dan antimoderasi beragama bisa dipanggil, diberikan edukasi, diberikan pemahaman, ditegur serta diperingatkan oleh aparat setempat.