29.5 C
Jakarta

Moral Keibuan, Modal Perempuan Bangun Generasi Anti-Ekstremisme

Artikel Trending

KhazanahPerempuanMoral Keibuan, Modal Perempuan Bangun Generasi Anti-Ekstremisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ekstremisme dan terorisme seolah telah menjadi problem klasik yang selalu menghantui perjalanan manusia dari masa ke masa. Di era klasik, kekerasan lebih diltari oleh faktor perebutan akses pada sumber kehidupan seperti air, makanan, dan sebagainya.

Di abad pertengahan, kekerasan dan teror lebih banyak dilatari oleh faktor politis dan kewilayahan. Sedangkan di era modern ini, faktor kekerasan dan teror terfragmentasi ke dalam multidimensi yang kompleks dan rumit. 

Faktor ekonomi, politik, ideologis, bahkan teologi menjadi pemicu di balik aksi maraknya kekerasan dan teror di abad ini. Ironisnya, di era modern ini fenomena kultur kekerasan tidak hanya tersegmentasi ke dalam satu kelompok saja, namun merambah ke semua kalangan. Termasuk anak-anak dan remaja. Kekerasan di level anak dan remaja umumnya dilatari oleh sindrom pencarian eksistensi dan jatidiri. 

Kekerasan dianggap sebagai jalan pintas untuk mendapatkan afirmasi dan validasi dari orang lain. Melakukan tindak kekerasan lantas menjadi semacam tren untuk memuaskan hasrat egoisme dan narsisme.

Kultur kekerasan yang dilatari sikap ego dan narsis ini tampak misalnya pada fenomena kekerasan jalan seperi klithih di Yogyakarta, geng motor di banyak kota besar, dan sejenisnya.

Kekerasan Anak dan (Gagalnya) Pengasuhan 

Membincangkan kekerasan di lingkup anak dan remaja tentu tidak bisa lepas dari persoalan kepengasuhan dalam keluarga. Anak-anak yang agresif dan destruktif merupakan cerminan dari buruknya kualitas kepengasuhan orang tua di lingkup keluarga. Rapuhnya institusi keluarga telah menyumbang andil besar pada fenomena kekerasan di kalangan anak dan remaja. 

Tanpa bermaksud mendomestikasi perempuan, namun harus diakui bahwa sosok ibu memiliki peran vital dalam kepengasuhan. Perempuan ialah kunci melahirkan generasi yang berkarakter kuat, berakhlakul karimah, dan anti-kekerasan. Mengutip pendapat Mark Tessler, Jodi Nachtwey, dan Audra Grand, perempuan memiliki modal penting untuk membangun generasi anti-kekerasan, yakni “moral keibuan”. 

Moral keibuan ialah sebuah sikap atau cara pandang tentang kehidupan yang mementingkan kondisi aman dan damai. Moral keibuan ini didapatkan dari pengalaman seorang perempuan ketika mengandung, melahirkan, dan mengasuh anak. Dari proses itulah perempuan akan memahami begitu pentingnya menjaga kehidupan.

Perempuan telah merasakan bagaimana susahnya mengandung, sakitnya melahirkan sampai bertaruh nyawa, dan sulitnya membesarkan anak. Pengalaman ini akan melahirkan kesadaran betapa satu nyawa manusia sangat berharga untuk terbuang sia-sia. Apalagi menjadi korban perilaku kekerasan dan teror. Maka, menjadi seorang ibu ialah menjadi penjaga kehidupan. 

BACA JUGA  Mindset Misogini, Dalang di Balik Terorisme Global

Moral keibuan ini mustahil dimiliki laki-laki karena secara biologis mereka tidak dapat menggantikan peran-peran perempuan dalam proses kehamilan, melahirkan, dan menyusui.

Maka dari itu, moral keibuan ini kiranya bisa menjadi salah satu modal penting melahirkan generasi anti-kekerasan. Ini bukan berarti bahwa laki-laki tidak harus dilibatkan dalam kepengasuhan anak. Kepengasuhan anak adalah kerja kolektif kedua orang tua. 

Pengasuhan Berbasis Simpati-Empati 

Di dalam tradisi Arab ada pepatah yang mengatakan “Ibu adalah sekolah bagi anak-anaknya, sedangkan ayah adalah kepala sekolahnya”. Penggambaran ibu sebagai sekolah dan ayah sebagai kepala sekolah menyiratkan pesan bahwa ibu dan ayah memiliki peranan yang berbeda dalam kepengasuhan anak.

Layaknya kepala sekolah, tugas seorang ayah lebih kepada hal-hal subtansial dan esensial yang menyangkut keberlangsungan aktivitas kepengasuhan itu sendiri. 

Misalnya memastikan kondisi finansial rumah tangga tetap aman. Dan memastikan seluruh kebutuhan dasara nggota keluarga terpenuhi.

Sedangkan tugas seorang ibu sebagai sekolah lebih pada hal-hal teknis yang berhubungan langsung dengan penanaman akhlak, moral, dan etika. Perempuan menjadi ujung tombak aktivitas pengasuhan. Tugasnya ialah mentransfer nilai dan prinsip dasar moral dan etika yang berlaku universal. 

Seperti mengajarkan anak bertingkah sopan, menghargai orang lain, berperilaku jujur dan hal-hal dasar yang berlaku di semua kelompok masyarakat lintas agama, suku, ras, etnis, dan sebagainya.

Etika dan moral universal itu penting ditanamkan kepada anak-anak sejak dini sebelum mereka mengenal dunia yang lebih luas. Etika dan moral universal adalah fondasi karakter dan kepribadian anak. Jika fondasi itu kuat, mereka akan menjadi individu yang bertanggung jawab terhadap dirinya dan masyarakatnya. 

Moral keibuan juga akan melahirkan corak pengasuhan berbasis simpati dan empati. Di mana ibu selalu berusaha mengerti dan memahami apa yang dirasakan oleh anak-anaknya.

Pengasuhan yang baik ialah yang berbasis pada kesukarelaan bukan pemaksaan. Artinya, anak-anak menginternalisasi karakter baik (akhlaqul karimah) karena kesadaran bukan paksaan. 

Generasi yang dibesarkan oleh ibu yang mengasuh dengan simpati dan empati dipastikan akan memiliki komitmen pada prinsip kemanusiaan. Bukan generasi yang gemar memakai cara kekerasan untuk menyelesaikan persoalan apalagi sekedar mencari pengakuan. 

Sivana Khamdi Syukria
Sivana Khamdi Syukria
Pemerhati isu sosial dan keagamaan, alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru