33.5 C
Jakarta

Moderatisme Versus Ekstremisme dalam Iklim Keberagamaan Indonesia

Artikel Trending

KhazanahPerspektifModeratisme Versus Ekstremisme dalam Iklim Keberagamaan Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Moderasi dapat diartikan sebagai; pengurangan kekerasan dan penghindaran ekstremisme. Dapat pula dimaknai sebagai sikap menghindari perilaku dan perbuatan yang ekstrem dan berkecenderungan selalu menuju ke arah jalan tengah. Oleh karenanya seorang penengah kerap kali disebut sebagai moderator atau wasit (wasath).

Sedangkan arti wasathiyyah adalah “sesuatu yang adil” karena umat Islam berarti umat yang adil, tidak cenderung berada di ekstrem kiri dan tidak pula berada di ekstrem kanan maka ia dinamai pertengahan. Allah SWT dalam Alqur’an mengatakan umat Islam sebagai ummatan washatan.

Menurut para muffasir Allah SWT menyifati umat Islam sebagai ummatan washatan karena mereka tidak melampaui batas dalam beribadah dan dalam keyakinan mereka terhadap Nabi Isa as seperti kaum Nasrani. Umat Islam juga tidak mengubah kitab suci, membunuh nabi-nabi bahkan berbohong atas nama Tuhan dan mengkufuri-Nya seperti kaum Yahudi. Posisi umat Islam terletak di tengah-tengah antara keduanya maka ia dijuluki dengan sifat tersebut.

Salah satu ciri paham Islam wasathiyyah adalah tidak melakukan paksaan dan berlebihan dalam melaksanakan perintah agama. Islam wasathiyyah cenderung bersifat toleran, berpikiran terbuka, adil dan tidak berlebihan dalam tindakan, perbuatan maupun beribadah. Cara beragama dan beribadah semacam ini dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Nabi tidak pernah bersikap ekstrim dalam beribadah, beliau selalu memerhatikan sisi kemanusiaan umatnya.

Sebagai contoh, sikap Nabi Muhammad SAW semacam ini tercermin dari salah satu hadits beliau tatkala ada tiga orang yang datang ke rumah istri Rasulullah SAW dan mereka bertanya tentang bagaimana ibadahnya Rasulullah SAW. Setelah mereka diberitahu perihal ibadah Rasulullah SAW tersebut mereka langsung beranggapan bahwa ternyata ibadah Rasulullah SAW sedikit.

Kemudian salah seorang di antara mereka berkata, saya akan shalat sepanjang malam, yang lain lagi berkata saya selamanya puasa sepanjang tahun dan tidak pernah berbuka dan yang lain lagi berkata saya menjauhkan diri dari perempuan dan tidak akan kawin selamanya.

Kemudian Rasulullah SAW datang dan berkata; Demi Allah, sesungguhnya saya adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah SWT di antara kalian, tetapi saya berpuasa dan saya juga berbuka, saya shalat malam tetapi juga tidur malam dan saya juga tetap menikah dan berkumpul dengan para istri. Barang siapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku (Muttafaq ‘alaih).

Sikap tersebut merupakan gambaran dari Islam washatityyah, Rasulullah SAW memberikan kemudahan beragama sesuai dengan kemampuan umatnya dan juga selalu mengajarkan untuk menyeimbangkan kehidupan duniawi dan ukhrawi.

Namun, dalam konteks ini bukan berarti Rasulullah SAW memberikan penggampangan/penyepelean dalam beribadah. Penggampangan adalah mengabaikan/mengurangi apa yang mesti dilakukan, sedang kemudahan adalah melakukan apa yang mudah dan diizinkan agama serta tidak berlebihan dalam pelaksanaannya.

Lawan daripada moderasi (wasathiyyah) adalah ekstremisme (ghuluw). Ekstremisme dapat diterjemahkan sebagai paham atau keyakinan yang sangat kuat terhadap sesuatu sampai melebihi batas kewajaran dan melanggar norma-norma masyarakat pada umumnya. Kelompok ini cenderung berpikiran tertutup, tidak toleran dan kerap kali dalam ideologi politik menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan mereka.

BACA JUGA  Lawan Propaganda Radikalisme di Media Sosial, Ini Strateginya

Paham semacam ini dapat lahir dari mereka yang sejatinya sangat tekun dan memiliki semangat keagamaan yang tinggi namun sayangnya semangat keagaamaan itu tidak diiringi dengan semangat keilmuan yang dalam sehingga menyebabkan kesalahpahaman dalam menjalankan tuntunan agama, kesalahpahaman yang tidak mereka sadari itulah yang kerap kali memotivasi mereka melakukan perbuatan yang melampaui batas.

Salah satu penyebab dan pendorong mereka melakukan perbuatan ekstrem adalah, mereka sering kali memahami teks Al-Qur’an dan hadis secara tekstual tanpa memperhatikan konteksnya bahkan boleh jadi sudah keluar dari konteksnya.

Mereka juga dalam mencari solusi dewasa ini bersikeras hanya ingin memakai pemahaman ulama terdahulu dan mengabaikan kenyataan bahwa tantangan dan permasalahan yang dihadapi agama di era ini lebih kompleks dan tidak lagi sama dengan yang dihadapi oleh para ulama terdahulu.

Ekstremisme juga dapat lahir karena tidak cermat dalam membaca problem yang disertai fanatisme buta terhadap kelompok yang mereka bela. Di zaman sosial media saat ini ekstremisme dapat mudah sekali menyebar jika kita tidak berhati-hati dan pandai memahami masalah keagamaan dan mengabaikan prinsip-prinsip wasathiyyah.

Mereka yang ekstrem biasanya menganggap semua permasalahan sudah selesai atau jika belum mereka hanya mau merujuk kepada ulama-ulama terdahulu dalam menyelesaikan setiap permasalahannya tanpa mempertimbangkan perubahan zaman dan situasi kini.

Adapun penganut paham wasathiyyah beranggapan banyak permasalahan yang masih harus dicari penyelesaiannya dengan tetap merujuk kepada Alqur’an dan Hadits dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi saat ini serta menggunakan metode yang disepakati oleh para ulama. Paham ini juga masih memakai metode ulama terdahulu dengan syarat metode tersebut masih relevan jika diterapkan saat ini.

Mereka yang ekstrem menolak seseorang atau kelompok orang yang berbeda dengan mereka. Penolakan tersebut sering kali terkesan kasar, dengan mudahnya mereka menghakimi orang dan kelompok orang yang berbeda pemahaman dengan mereka.

Walaupun permasalahan tersebut hanya  permasalahan pada cabang-cabang dalam agama (furu’iyah) bukan permasalahan yang mendasar (ushuliyah) bahkan permasalahan tersebut tidak mencederai akidah. Kerap kali juga keluar dari lisan mereka kata-kata yang tidak seharusnnya diucapkan terhadap sesama seperti kata-kata bid’ah, sesat, dan kafir.

Pemahaman tersebut sangat bertolak belakang dengan penganut paham wasathiyyah. Penganut paham wasathiyyah tidak mengkafirkan yang pernah mengucapkan dua kalimat syahadat walaupun bergelimang dosa besar. Penganut Islam wasathiyyah juga tidak mengkafirkan seseorang selagi ia masih salat menghadap kiblat.

Penganut paham ini menghormati pluralisme dalam umat beragama serta menghormati pendapat yang berbeda dengan pendapat mereka dan siap hidup berdampingan dengan pihak, kelompok manapun dan agama apapun.

Alhasil, wasathiyyah dapat disebut sebagai suatu sistem yang memperhatikan keseimbangan tetapi juga  berkomitmen untuk berpegang teguh pada Al-Qur’an dan hadis. Penganut paham wasathiyyah bukanlah sifat yang tidak jelas dan terombang-ambing dalam menetapkan sesuatu tetapi suatu sistem dan paham yang mengedepankan lahirnya sikap arif dan bijaksana sebagai upaya dari mewujudkan Islam rahmatan lil’alamiin. Wallahu ‘alam

Ibnul Jauzi Abdul Ceasar
Ibnul Jauzi Abdul Ceasar
Mahasiswa Aktif S3 Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru