27.6 C
Jakarta
Array

Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama (Bagian 3)

Artikel Trending

Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama (Bagian 3)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tahun-tahun 1930-an Pak Natsir, Agus Salim, Tan Malaka, Bung Karno, Hatta, Syahrir, semuanya terlibat dalam perdebatan sengit tentang bentuk negara atau dasar negara Indonesia jika merdeka nanti. Sampai dua belas tahunan perdebatan antara ideologi sekuler dan teokratis ini. Keduanya sama-sama ideologi dunia yang hendak diterapkan di Indonesia, jadi sama-sama impor.

Ketika ada kabar bahwa Jepang kalah dengan tentara Sekutu, maka saat itu perdebatan sampai pada puncaknya. Mau negara apa, yang agama atau negara sekuler? Geger-geger toh salah satunya tak akan mungkin ada yang menang. Yang sekuler tidak bisa memaksakan sekulerisme mereka, karena kenyataanya Bangsa Indonesia ini Bangsa Religius, yang yakin akan keimanan agama dan yakin bahwa agama berperan dalam kehidupan negara, dan dengan sendirinya negara juga berperan dalam kehidupan agama.

Di pihak lain, para penganut ideologi universal yang teokratis (Islam) juga menyadari bahwa negara teokratik pada zaman Rasulullah di Madinah sudah tidak mungkin diterapkan di Indonesia, artinya seorang Presiden (Kepala Negara) sekaligus ulama, yang penentu segalanya, tidak akan mungkin. Sebab masyarakat kita sudah terlanjur dibentuk dalam suatu model yang terkotak-kotak. Akibat penjajahan, separuh dari masyarakat kita tidak tahu tulisan pegon, dan yang separuh lagi tidak mengerti tulisan latin. Jadi soal bacaan saja, negara ini tersobek menjadi dua. Sub tulisan Jawa, sub tulisan Toraja dan lain-lain.

Menuju Ideologi Nasional

Ini semua menunjukkan sudah terjadi proses kesamaan titik pandangan, bahwa dua macam ideologi ini tidak mungkin dilaksanakan di Indonesia, karena itu harus dicari satu titik temu; namanya “Republik Indonesia”. Ideologinya apa? Ideologinya Pancasila, Pancasila ideologi apa? Ideologi yang khusus diciptakan untuk bangsa Indonesia, oleh bangsa Indonesia sendiri, guna mempertautkan unsur-unsur ideologi yang beroperasi di Indonesia. Dengan kata lain, Pancasila adalah ideologi Nasional yang dimaksudkan untuk menyimpulkan semua ideologi besar dunia dalam pelaksanaannya di Indonesia.

Kalau kita sudah mengerti ini, sebenarnya sudah tidak ada masalah antara Islam dan Pancasila, karena Pancasila juga bersumber dari Islam, dari Nasionalisme, dari Komunisme dalam Pancasila itu. Memang PKI nya dilarang, faham Marxisme dilarang, tapi semangat egalitarian (persamaan) nya ada dalam Pancasila. Semangat keadilan sosial itu miliknya komunis (Marxisme). Sebab tidak ada istilah “Keadilan Sosial” sebelum lahirnya faham komunis. Istilah “Sosial Justic” tidak ada sebelum itu. Jadi Pancasila itu hasil rangkuman dari macam-macam ideologi dunia.

Dari ideologi yang teokratik (Islam) diambil sila yang pertama, ini sudah merupakan kearifan dari Bapak-bapak kita, kearifan beliaulah yang akhirnya dapat membentuk nation yang merdeka, dan bebas dari komunalisme (pertentangan kelompok yang berlebihan) seperti di India.

Tetapi ketika kita merdeka, masalah ini juga belum selesai, karena para pengikut ideologi dunia itu, tetap saja pada kerangka acuannya semula. Di dalam dialog yang terus menerus itu ada perbenturan tak habis-habisnya. Ujungnya dalam konstituante macet total, dan yang terjadi adalah bahwa negara ini harus kembali pada UUD 1945 dan Pancasila melalui pemaksaan (Dekrit 5 Juli 1959). Dekrit itu adalah pemaksaan agar Pancasila dijadikan pola kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi bisa dikatakan bangsa kita ketika itu, masih terkotak-kotak dalam pemahaman ideologinya masing-masing, sedang Pancasila hanya dijadikan sampiran belaka.

Hal itu berarti mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal bangsa kita menghadapi tantangan besar. Heterogenitas sangat tinggi dalam banyak hal di satu pihak, sedang di pihak lain kita harus membangun satu nation. Karena itu pimpinan bangsa kita (bukan hanya pemerintah) memandang perlu adanya pemantapan ideologi Pancasila memalui P4.

Walaupun Pancasila dimantapkan melalui P4, ternyata belum mantap juga, karena partai-partai politik, organisasi sosial keagamaan ternyata masih tetap bersandar pada ideologinya masing-masing. Karena itu dicoba diadakan pertimbangan dengan pemantapan Pancasila sebagai satu-satunya Azas (satu ideologi Nasional). Bagi NU ini jelas. Sebab 4 (empat) bulan sebelum Munas di Situbondo (Desember 1983) kami sudah mengadakan tukar-pikiran dengan para konseptor Pancasila sebagai Asas Tunggal. Jadi tidak ada maksud untuk membuang agama.

Memang, kalau agama dipahami secara ideologis (seperti pemahaman model Al-Afghani, red.) itu yang tidak boleh.

Artinya pada kehidupan kenegaraan kita masih ada satu masalah besar yang belum dipecahkan yaitu: masalah ideologi Nasional yang masih belum mantap karena ideologi-ideologi dunia masih tetap beroperasi di Indonesia. Oleh karena itu, wajar jika Presiden Soeharto bilang bilang hatinya lega (blong), ketika kita NU menerima Asas Pancasila.

Jadi pasalnya, Pancasila sebagai ideologi nasional dan wawasan kebangsaan itu harus kita pegang teguh. Sebab bagi kita (umat Islam) yang penting adalah pengaturannya (al-Hukmu). Sebab konsep dasar Islam tentang masyarkat adalah al-Hukmu (pengaturan) bukan al-Daulatu (negara). Di dalam Al-Quran, kata-kata al-Daulatu (edaran, siklus, kekuasaan, ed.) itu tidak ada. Jadi istilah dalam kenegaraan dalam Al-Quran tidak memakai al-daulatu. Pengertian kenegaraan dalam arti istilah geografi(s) menggunakan istilah “Baldah” (Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur).

Jadi Islam tidak mengenal konsep pemerintahan yang definitif. Buktinya, dalam satu sistem pemerintahan yang paling pokok itu adalah persoalan “suksesi kekuasaan” (penggantian). Ternyata Islam di dalam persoalan suksesi kekuasaan ini tidak tetap. Kadang-kadang memakai konsep “Istikhlaf” (kasus Abu Bakar ra. ke Umar ra.), kadang-kadang juga juga memakai sistem “Bai’at” (umat membai’at Abu Bakar ra.), kadang memakai sistem “Ahlul Halli wal ‘Aqdi” (sistem formatur). Padahal perihal suksesi adalah soal yang cukup urgen dalam masalah kenegaraan.

*KH. Abdurrahman Wahid, Mantan Ketua Umum PBNU

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru