30.8 C
Jakarta

Mereka yang Melakukan Kekerasan (Agama) Terhadap Perempuan

Artikel Trending

Milenial IslamMereka yang Melakukan Kekerasan (Agama) Terhadap Perempuan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ketika muncul kabar seorang bocah berusia 14 tahun, Aliasa Hariyani alias Lia masih berstatus siswi salah satu Madrasah Tsanawiyah di Jawa Timur, dibacok sebab kecemburuan sosial, dan beberapa pegiat moderasi-demokrasi-Gusdurian seperti Alisa Wahid dan Susi Pudjiastuti, diserang di media sosial, lantaran mengkritik sikap rasis Permadi Arya. Mungkin kita segera menyadari kekerasan telah menjadi bagian integral dunia kita.

Gaya hidup yang tak sewajarnya berlebihan menjadi ancaman serius. Bukan hanya sebagai undangan romantika pada kekerasan yang berisiko pada keselamatan nyawa, juga persoalan sosial dan merusak kebudayaan yang jauh kian lebih mendalam.

Kita-kita mutakhir, kini mulai sejak usia cukup dini bukan lagi jadi korban gaya hidup orang dewasa yang diberi contoh bahkan difasilitasi orangnya sendiri. Kita menjadi target utama dari sikap ekspresi hidup, cara sosialisasi, cara mencari kebahagian, dan bereksistensi yang ditawarkan oleh adab global. Dan yang menjadi krusial hari ini, yaitu cara beragama.

Itulah adab yang membuat orang zaman sekarang menjadi galau, minder, atau rendah diri ketika menemukan dirinya begitu paria saat bergaul dengan kawan-kawannya yang begitu intim dengan arus utama kebudayaan mutakhir. “Kita itu berasa tak berkehidupan” ketika tak memiliki seorang teman hati, teman piknik, teman belajar, teman nongkrong, teman ke majelis taklim, teman beragama, dan lain-lain. Atau menjadi primitif ketika tak menegenal dunia asmara dan cinta.

Sebagai contoh yang kita lihat tiap hari, pendidikan yang mengerantina boca-bocah 6-7 jam perhari dan rumah 3-4 jam sehari (dengan perjumlahan lebih sedikit dengan orangtua) tak mampu menjadi penyeimbang dari pengaruh eksternal. Dari 5-7 jam waktu itu eksternal di luar waktu tidur/istirahat, seorang bocah menggapai dan menginternalisasi nilai dan norma hidup dari pelbagai sumber televisi, internet, radio, koran, majalah atau pergaulan. Itulah sebab yang bila kita cermati menjadi romatika pengimformasian bahkan mengajarkan ke dalam pikiran dan batin bocah.

Perkelahian fisik yang brutal, darah memuncah, peperangan, senjata tajam dan api, pesawat membawa misil, busana yang tertutup berlebihan, sehingga petualangan yang sadis adalah simbol budaya baru yang sangat mereka-kita akrabi. Sedikit tidak mengejutkan ketika suatu malam seorang bocah mengomentari kerumunan sebuah pasar malam, “Asyik ya, kalau kita punya pisau panjang atau pistol kita arahkan ke tengah-tengah mereka.”

Peran globalisasi dan modernitas tampaknya menjadi salah satu sumber karena telah membuat gamang banyak orang. Tanpa ampun terjadi pembenturan frontal antara ranah jiwa manusia di sebagian masyarakat kita.

Pendidikan Budaya dan Agama

Masih mugkinkah kekerasan (verbal/fisik) yang berlatar perempuan dalih agama bisa diredupkan? Masih mungkinkah care for humanity keindonesiaan dipertahankan? Ya. Dengan cara apa? Pertama, dengan memulihkan akal sehat dan hati nurani pada kematangan warga: penghasil sistem nilai untuk memaknai keluruhan budaya-agama dan bangsa yang kini hilang arah. Pada titik inilah perlu pengembalian pendidikan agama moderat sebagai dari kebudayaan yang lebih mengembankan sistem nilai pembangunan akhlak (karakter).

Sistem nilai yang terpenting sudah diarifkan dalam Pancasila, termasuk hak dan kewajiban setiap warga. Inilah yang setiap saat perlu diinternalisasikan. Namun karena pengembangan sistem nilai terkait dengan pola pikir terbentuk dari empat unsur fakta empiris, mitologi, dan relegius, ide politik dan etis, serta generalisasi ilmiah, maka pembenahan harus dimulai hari dari sini.

BACA JUGA  Politik Dinasti dan Politik Identitas, Bahaya Mana?

Karena unsur-unsur di atas hanya generalisasi ilmiah yang bersifat konvergen (menyatukan), sementara lainnya divergen (memisahkan), generalisasi ilmiahlah yang perlu ditekankan. Data empiris membuktikan bahwa masyarakat yang sintas adalah masyarakat yang unsur tersebut terus diasah sehingga makin tebal dan bisa diejawentahkan di masyarakat.

Caranya adalah dengan merangsang otak dengan pelbagai kerja intelektual, seperti membaca, memikirkan, merenungkan, arif, sopan, agar ia mampu mengolah pengatahuan dan agama. Pengatahuan yang didapat kemudian dilengkapi dengan harmonisasi baru, suatu nilai kemanusian yang sudah diperkaya kerana kita menghadapi tantangan baru yang lebih kompleks.

Pikiran yang terbuka akan mempermudah internalisasi sistem nilai. Bentuknya bisa berupa membiasakan bocah sedini mungkin mengenal, dan menguasasi nilai-nilai luhur yang telah disepakati bersama. Dengan itu bangsa Indonesia kembali bernalar sekaligus mengusai ilmu dan kearifan.

Yang kedua, “menghadirkan tuhan.” Kecintaan seseorang terhadap  dirinya sediri, sering kali membuat bahaya tidak adil terhadap orang lain. Karena itu perlu ada dasar yang lebih kuat selain menjaga maruah, fakta kebaikan yang dilihat. Dalam ajaran Islam kebaikan yang hakiki adalah kebaikan yang didasarkan pada Tuhan (Allah) secara total. Tidak disebut sesuatu sebagai kebaikan keburukan, walaupun tampaknya terlihat baik.

Karena itu, persaudaran dalam Islam memberikan syarat agar Tuhan menjadi dasar persudaraannya. Misalkan dalam sebuah riwayat, janganlah kamu saling membenci, janganlah saling iri hati, dan janganlah kamu saling mendengki. Jadilah hamba-hamba yang bersaudara, karena tidak baik mendiamkan saudaranya melebihi dari tiga hari.

Ada tiga poin di atas, jika dikembangkan lebih luas, terdapat sebuah pernyataan bahwa mungkin saja seseorang dapat hidup tanpa saudara, tetapi sangat mustahil seseorang dapat hidup tanpa rasa persaudaraan.

Percobaan modern yang berkembang saat ini telah sangat tegas dan jelas, bahwa persaudaraan yang dibangun atas kepentingan duniawi akan sangat fatal dalam kepentingan yang lain. Kenyataan ini akan semakin problematik jika tidak segera diatasi dengan baik, terutama jika terus-menerus perdamaian dijaga dengan ancaman, persaudaraan dijaga dengan kepentingan, dan kepentingan diukur atas kebutuhan. Ini kita bisa lihat dikancah politisi.

Yang ketiga, kita harus memperbaharui tekad untuk bersama mau menjadi bangsa yang beradap, tekad untuk dalam situasi apa pun membawa diri secara beradap. Dan, itu berati kita menolak secara prinsip segala bentuk kekerasan.

Sebagai orang yang beradap bahwa kita berada di tangan Tuhan, kita menyelesaikan masalah tidak dengan cara paksaan dan kekerasan. Kekerasan, kalau perlu, adalah wewenang negara dalam rangka jalur hukum yang adil. Penolakan kekerasan juga berarti bahwa kita membarui tekad care humanity dan Pancasila, yaitu tekad untuk saling menerima, menjaga dalam kesalahan dan perbedaan, bersedia membangun nilai maruah bangsa dan negara kita dengan cara yang dapat didukung oleh segenap kompenen bangsa di jalur nilai-nilai kesopanan. Bukan perduitan.

Ingatan salam keluhuran diri dan keluharan nilai Pancasila dan agama bukan sebuah ritus yang sewaktu-waktu dibaharui, melainkan peringatan keras tetapi gembira bahwa kita mau menjadi umat-bangsa yang beradap dan bersaudara.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru