31.6 C
Jakarta
spot_img

Nubuat Rasulullah tentang Wahabi: Dua Tanduk Setan dan Sumber Fitnah Islam

Artikel Trending

Milenial IslamNubuat Rasulullah tentang Wahabi: Dua Tanduk Setan dan Sumber Fitnah Islam
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kata ‘Salafi’ dan ‘Wahabi’ trending di X. Semula saya tidak mau lagi melanjutkan sesi pembahasan tentang Wahabi, sebagaimana disinggung dalam tulisan sebelumnya. Namun kegaduhan tentang hukum musik berlanjut. Wahabi melabeli ‘kafir’ semua kelompok Islam yang memubahkan musik. Setelah Adi Hidayat dicecar habis-habisan, Wahabi berlanjut mencaci-maki Muhammadiyah—juga NU sebagai musuh bebuyutannya.

Bermula dari cuitan Prof. Abd Mu’ti, Sekretaris PP Muhammaiyah di X yang mengimbau warga Muhammadiyah untuk menjaga masjid dari infiltrasi Wahabi. Imbauan Mu’ti menegaskan bahwa di tubuh Muhammadiyah ada penyusup, yakni ideologi Wahabi yang berusaha merusak Muhammadiyah dari dalam. X pun ramai cuitan tentang Wahabi, yang salah satunya menyinggung hal-ihwal nubuat Rasulullah.

Jadi, empat belas abad silam, menurut riwayat Bukhari, Nabi Saw. memohon kepada Allah untuk memberkati daerah asy-Syam (Suriah) dan Yaman. Ketika para sahabat memohon agar memberkati Najd juga, Nabi pun menjawab bahwa dari Najd akan muncul fitnah dan dari sana akan terbit dua tanduk setan. Artinya, alih-alih mendoakan keberkatan, Rasulullah malah menubuatkan bahwa Najd akan menjadi sumber petaka bagi Islam.

Nabi Saw. bersabda, “Ya Allah! Berkahilah Syam kami. Ya Allah! Berkahilah Yaman kami.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, dan Najd kami?” Aku pikir untuk ketiga kalinya Nabi Saw. berkata, “Di sana (di Najd) akan terjadi keguncangan dan fitnah, dan dari sana akan muncul dua tanduk setan.”

Lalu, di manakah Najd itu? Mengapa Rasulullah menyebutkan sebagai sumber fitnah dan tempat munculnya dua tanduk setan? Dua pertanyaan ini telah menjadi fokus kajian para intelektual Muslim. Meskipun secara harfiah Najd berarti ‘dataran tinggi’, mayoritas ulama Ahlussunnah meyakini bahwa Najd adalah sebuah daerah di Arab Saudi, yang menjadi basis kemunculan Kerajaan Ibnu Saud sekaligus Wahabi.

Wahabi dan Kebenaran Nubuat

Untuk diketahui, Najd adalah sebuah wilayah di pusat Arab Saudi dan bagian tengah dari Semenanjung Arab. Najd adalah sebuah daerah dataran tinggi, dengan ketinggian 762 hingga 1.525 MDPL. Bagian timur wilayah tersebut ditandai dengan perkampungan-perkampungan oasis, sedang di daerah Najd lainnya didiami oleh suku nomaden Badui—yang diistilahkan Al-Qur’an sebagai A’rabiy.

Selama tahun 632-633 M, Najd terlibat dalam Perang Riddah (Hurūb al-Riddah). Khalifah Abu Bakar mengirimkan Khalid bin Walid menuju Najd dengan kekuatan 4.000 orang untuk memerangi para Muslim badui yang enggan menunaikan zakat. Pertempuran tersebut juga dikenal dengan Perang Yamamah, karena pasukan Abu Bakar juga memerangi Musailamah al-Kadzdzab, sang nabi palsu yang merusak Islam dari dalam.

Pada abad XIII-XX, Najd merupakan daerah di luar pemerintahan Kesultanan Utsmaniyah (1299–1923 M). Waktu itu Najd di bawah kekuasaan Dinasti Saud yang bernama Kesultanan Najd. Pada tahun 1926, Kesultanan Najd di bawah pemerintahan Abdul Aziz bin Saud mengekspansi Kerajaan Hijaz milik Dinasti Hasyimiyah yang pada waktu itu memegang dua Tanah Suci, yakni Makkah dan Madinah.

Setelah Kerajaan Najd dan Hijaz disatukan, Abdul Aziz bin Saud menjadi rajanya. Pada 23 September 1932, wilayah utama kekuasaan Dinasti Saud yakni Al-Hasa, ‘Asir, Qatif, Najd, dan Hijaz disatukan menjadi Kerajaan Arab Saudi. Akhirnya, Najd menjadi salah satu provinsi dari Arab Saudi, yang melahirkan banyak tokoh menyimpang berpengaruh: Ibnu Baz, Muhammad al-Utsaimin, dan Muhammad bin Abdul Wahhab—para dedengkot Wahabi.

BACA JUGA  Khatib dan Khotbah Semi-Radikal; Bagaimana Kita Memahaminya?

Sejarah pun terulang dan nubuat Rasulullah pun menemukan kebenarannya. Jika dahulu wilayah Najd melahirkan nabi palsu Musailamah, sejak abad XX hingga sekarang Najd melahirkan ajaran menyimpang berkedok pemurnian Islam. Berkongsi dengan rezim Ibnu Saud, Wahabi meratakan Arab Saudi dari Ahlussunah Waljamaah. Tauhid, fikih, dan akhlak dirusak semuanya dan digantikan sesuai doktrin Wahabi itu sendiri.

Itulah yang Nabi Saw. nubuatkan sebagai peristiwa yang mengguncang umat Islam sebagai fitnah atau cobaan. Najd juga telah diidentifikasi sebagai daerah dajal akan muncul—menurut Imam Nawawi. Dari Najd-lah, dan atas sokongan rezim Ibnu Saud, Wahabi menyebarkan fitnahnya ke seluruh penjuru termasuk Indonesia. Mereka mengakfirkan sesama Muslim, dan memilih berteman dengan zionis dan musuh-musuh Islam.

Adapun nubuat Wahabi sebagai “tanduk setan”, sebenarnya itu sarkasme tingkat tinggi berkaitan dengan budaya berpakaian Arab Saudi dan Wahabi yang ironis: secara fisik islami namun hakikat ajarannya sesat. Perhatikan saja penampilan Wahabi dan bandingkan dengan ucapannya: sangat kontras. Selain itu, igal kepala mereka dulunya mirip tanduk, kendati sekarang bertransformasi menjadi melingkar. Perhatikan gambar berikut:

“Dua tanduk setan” juga dapat dipahami secara kontekstual dengan mengacu pada politik Arab Saudi. Seharusnya, sebagai pemegang dua kota kuci Islam, Arab Saudi adalah negara paling konsekuen terhadap Islam dan negara-negara Muslim lainnya. Namun, alih-alih berkoalisi, Arab Saudi justru menjadi negara paling memusuhi Islam dan negara-negara Muslim, serta lebih memilih jadi kacung Barat dan rekan zionis—alias jadi tanduk setan.

Maka, benarlah apa yang Nabi Saw. nubuatkan. Islam akan dikacaukan oleh sang sumber fitnah dari Najd, yakni Wahabi, yang dengan dukungan dana tak terbatas dari rezim Ibnu Saud telah menebarkan paham sesat ke seluruh dunia: berkedok pemurnian Islam dengan mengkafirkan semua yang berbeda. Karena itu, tidak ada cara melawan mereka kecuali satu: mengusir ustaz-ustaz Wahabi dan melarang wahabisme di seantero NKRI.

Larang Wahabisme!

Tidak ada yang bisa negara lakukan untuk menghentikan wahabisme selain menjadikannya ideologi terlarang. Sudah saatnya para stakeholder kontra-terorisme merumuskan regulasi lanjutan dari program deteksi dini mereka: Wahabi adalah pangkal terorisme yang mesti dihentikan. Jika tidak, persatuan dan kesatuan akan menjadi kenangan belaka, karena negara ini akan terpecah-belah bahkan hancur tidak tersisa.

Indonesia telah berhasil membekukan beberapa organisasi dengan melarang eksistensi mereka. Misalnya, Darul Islam Indonesia/Negara Islam Indonesia (DII/NII), Partai Komunis Indonesia (PKI), Jama’ah Islamiyah (JI), Jama’ah Ansharud Daulah (JAD), Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM), Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Front Pembela Islam (FPI).

Jika diurut secara ideologi, pelarangan organisasi-organisasi tersebut adalah bentuk pelarangan terhadap radikalisme-terorisme, komunisme, separatisme, transnasionalisme, dan populisme. Dengan demikian, sekalipun Wahabi hanyalah manhaj dan tidak punya organisasi—bahkan orang Wahabi tidak mau dipanggil Wahabi—pemerintah tetap bisa menindaknya dengan melarang ideologi dari Wahabi itu sendiri.

Lantas bagaimana cara melarang wahabisme? Tidak sulit. Rumuskan saja UU, sebagaimana UU yang melarang komunisme dan sekularisme. Larang semua ajaran yang mengarah kepada wahabisme, berupa kebencian sesama, perpecahan umat, labelisasi sesat-kafir kepada orang lain, dan lainnya. Negara ini harus disterilisasi dari sumber fitnah yang telah Nabi Saw. nubuatkan, dan melarang wahabisme adalah cara satu-satunya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru