28.2 C
Jakarta

Menjadi Haji Humanis

Artikel Trending

KhazanahOpiniMenjadi Haji Humanis
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ibadah haji bukan hanya sekedar perjalanan rekreasi, bukan untuk ajang pencarian eksistensi, dan bukan pula sebagai prestise menyandang gelar haji. Berhaji pada dasarnya memenuhi panggilan Tuhan sebagaimana Allah memaggil hamba-Nya melewati lisan Nabi Ibrahim as: “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya meraka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh” (QS. Al-Hajj: 27).

Seorang hamba yang mampu melaksanakan ibadah haji pasti merasakan kebahagiaan yang hakiki, karena berhaji merupakan panggilan Tuhan secara langsung pada hambanya. Tidak semua umat muslim di dunia bisa melaksanakan ibadah haji. Begitu juga bagi umat Islam yang berada di Arab Saudi sekalipun, tidak semuanya bisa melaksanakan ibadah haji.

Ibadah haji bukan hanya sebatas kewajiban rukun Islam, lebih dari itu, haji mempunyai makna yang universal. Islam memandang haji sebagai salah satu ibadah yang melintasi dimensi-dimensi realitas. Artinya, haji merupakan jenis ubudiyah yang multi dimensi.  Dipenuhi oleh berbagai macam simbol yang dapat ditafsirkan melalui pendekatan syariah, tarekat, dan hakikat. Namun yang paling penting dari simbol haji yaitu kemanusiaan.

Sebagaimana kita ketahui bahwa haji bukan hanya ibadah yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya (hablum minallah), melainkan juga, secara jelas, terdapat hubungan manusia dengan sesama (hablum minannas). Kedua dimensi tersebut tidak akan terlepas dalam ibadah haji setiap tahunnya. Ibadah haji merupakan simbol bersama untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan di antara beragamnya perbedaaan.

Ibadah haji yang penuh dengan simbol universal kemanusiaan dapat meluruskan fasisme yang pernah menjalar di era kekaisaran Romawi yang dibangkitkan kembali oleh Nazi. Fasisme sebenarnya bukan menempatkan manusia pada landasan kemanusiaan, melainkan untuk menempatkan manusia pada ketuhanan.

Akhirnya, manusia yang lemah dengan ras dan suku yang berbeda dipaksa oleh fasisme. Hal inilah yang membuat kekalahan Jerman pada perang dunia II lantaran ideologi Nazi yang kaku dan rasial. Pandangan demikian tentu tidak sejalan dengan kenyataan hidup yang majemuk, multi etnis, dan heterogen.

Di tengah kemelut problematika kemanusiaan, seperti perang antara Rusia dan Ukraina saat ini yang semakin meradang, menyebabkan hilangnya rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial sehingga berhasil membuat semua orang gelagapan dan menyadari bahwa humanisme adalah di atas segala-galanya.

Dalam konteks ini, haji sebagai salah satu ibadah keagamaan yang mampu merefleksikan dan mengaplikasikan bagaimana seharusnya kemanusiaan diterapkan dalam kehidupan berbangsa maupun bernegara.

BACA JUGA  Harmoni Ramadhan: Antara Saleh Ritual dan Saleh Sosial

Ibadah haji mengajarkan pada kita semua bahwa fasisme merupakan pandangan yang keliru dalam beragama maupun berbangsa. Mengunggulkan sebuah etnis, suku, dan antargolongan merupakan pandangan destruktif yang meruncing terhadap disintegrasi bangsa. Sedangkan menghormati perbedaan dan memanusiakan manusia merupakan sikap untuk mewujudkan bangsa yang berdaulat dan bermartabat.

Sementara jika merunut kepada Maklumat Nabi Muhammad saw yang disampaikan pada haji Akbar (Haji Perpisahan), isinya antara lain ialah: 1) Persatuan dan Kesatuan umat manusia harus dipelihara, tiada perbedaan antara seseorang dengan lainnya kecuali atas dasar pengabdian; 2) Jiwa, darah, kehormatan, harta benda, harus dijunjung tinggi; 3) Orang-orang lemah, sepeda wanita harus dibela; dan 4) Penindasan dalam bidang ekonomi harus dihapuskan.

Keempat poin di atas merupakan esensi dari sebuah humanisme. Humanisme merupakan sikap hidup yang berpusat pada nilai-nilai kemanusiaan, terutama yang menegaskan martabat dan harkat manusia serta kemampuannya mencapai perwujudan dirinya lewat nalar yang berkembang (Sujiman, 1990).

Maka demikian, terlaksananya ibadah haji bagi seseorang tidak serta merta mengharap haji mabrur; mengantarkan seseorang menjadi hamba yang semakin jujur dan taat kepada Allah Swt. Lebih dari itu, ibadah haji diharapkan mampu mencetak insan humanis yang menjunjung tinggi dan memperjuangakan kehidupan masyarakat yang mengedepankan asas perikemanusiaan dan mementingkan kepentingan umat manusia.

Dalam analisis antropologis Victor Tumer (1991), haji merupakan sebuah contoh yang sempurna dalam praktek egalitarianisme, pembebasan dari struktur keduniaan, dan homogenisasi status sosial serta kesederhanaan dalam berpakaian dan tingkah laku. Maka demikian, esensi dari haji ialah perjalanan kembali kepada Tuhan dengan penuh keikhlasan sekaligus sebagai upaya pembebasan manusia dari segala status sosial yang melekat pada dirinya.

Secara hakikat, umat Islam yang belum dapat menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah bisa mentakwilkan simbol haji dengan menghilangkan kesukuan, ras, dan antargolongan serta tidak merasa paling unggul tentang identitas etnis masing-masing. Dalam konsep kemanusian tidak lagi mengenal istilah aku dan dia, atau kita. Ia telah menyatu dan melebur menjadi kami sebagai manusia.

Ibadah haji mempunyai implikasi yang begitu kuat terhadap seseorang. Selain untuk menunaikan kewajiban, haji sejatinya berorientasi pada perubahan yang lebih baik. Perubahan dalam hal ini ialah cara pandang dalam menyikapi ragam perbedaan. Suatu perbedaan akan tetap kokoh jika dibarengi dengan saling mengormati, simpati, dan tolong menolong antarsesama.

Taufiqullah Hasbul
Taufiqullah Hasbul
Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Peneliti di Akademi Hukum Politik (AHP). Pegiat isu perdamaian dunia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru