29.2 C
Jakarta

Menguatkan Kembali Relasi Islam dan Kristen di Indonesia

Artikel Trending

KhazanahOpiniMenguatkan Kembali Relasi Islam dan Kristen di Indonesia
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kasus intoleransi beragama masih terus terjadi hingga saat ini. Meskipun sudah banyak tokoh yang menyerukan untuk melakukan toleransi antarumat beragama, namun upaya tersebut belum cukup berhasil. Buktinya masih ada saja masyarakat yang menganggap bahwa agama mayoritas merupakan agama yang eksklusif—paling benar.

Menjelang peringatan Kenaikan Yesus Kristus pada tanggal 9 Mei 2024, terjadi pengeroyokan mahasiswa Katolik yang sedang beribadah di Tangerang Selatan. Diduga RT setempat mengusir mahasiswa tersebut ketika melakukan Doa Rosario pada Minggu, (5/5) lalu. Berhubung tak kunjung bubar, RT memanggil para warga untuk melakukan pengeroyokan dan penganiayaan.

Tindakan tersebut didasari ketidaksukaan dengan agama selain Islam yang ada di wilayah tersebut. Selain itu, adanya perbedaan asal daerah yang membuat warga tidak nyaman dengan keberadaan mahasiswa dari Universitas Pamulang. Pada intinya sikap toleransi terhadap orang yang berbeda agama dan berbeda daerah masih rendah di wilayah RT 007/RW 002, Kampung Poncol, Kelurahan Babakan, Setu, Kota Tangerang Selatan.

Hal tersebut menjadi PR besar bagi masyarakat untuk menguatkan kembali relasi Islam dan Kristen yang ada di Indonesia agar tercipta kerukunan dan kenyamanan dalam bermasyarakat.

Melalui kebijakan tanggal 9 dan 10 Mei sebagai hari libur nasional merupakan salah satu bentuk pemerintah menghargai keberadaan agama Kristen dan Katolik di Indonesia, sehingga bisa dijadikan pedoman bahwa negara ini begitu menghargai agama minoritas.

Penguatan Relasi Antarumat

Berbicara mengenai agama memang cukup sensitif di negeri yang plural ini. Setiap penganut kepercayaan selalu meyakini bahwa kepercayaan dirinyalah yang paling benar. Padahal, Indonesia merupakan negara Pancasila yang sangat menghormati keberadaan setiap agama yang ada di negeri ini.

Di Indonesia sendiri terdapat enam agama yang diakui oleh negara yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Semua agama tersebut diharapkan mampu berdampingan dan hidup rukun di tengah segala perbedaan yang ada. Meskipun cukup susah, namun pemerintah sudah melakukan segala upaya agar setiap pemeluk agama merasa dihargai keberadaannya di Indonesia.

Bukti nyatanya adalah pemerintah menjadikan hari besar dari setiap agama sebagai hari libur nasional. Contohnya Hari Raya Idulfitri dan Iduladha bagi umat Islam, Hari Raya Waisak bagi umat Buddha, Hari Raya Nyepi bagi umat Hindu, Tahun Baru Imlek untuk kaum Konghucu, dan Natal serta Kenaikan Yesus Kristus untuk umat Kristen.

BACA JUGA  Mengaktualisasi Idulfitri dalam Konteks Persatuan dan Kesatuan

Bahkan, demi menghormati keberadaan umat Kristen di Indonesia, pemerintah pun mengabulkan pergantian nama dari perayaan Kenaikan Isa Al-Masih menjadi Kenaikan Yesus Kristus. Permintaan tersebut berasal dari umat Kristen dan Katolik sehingga dikabulkan oleh pemerintah.

Sudah sepatutnya upaya pemerintah dalam menghargai setiap agama di Indonesia menjadi momentum untuk saling menguatkan relasi antarumat beragama. Sebab ketika perayaan hari besar tersebut, semua umat bisa merasakan hari libur nasional.

Bahkan, banyak orang dari lintas agama yang mendapatkan manfaatnya. Misalnya, ketika Idulfitri, toko roti milik pedagang Khonghucu ramai diserbu pembeli.

Memerangi Eksklusivisme

Paham eksklusivisme dalam beragama masih cukup kental di masyarakat. Dimana, seseorang terlalu fanatik dengan agamanya sendiri sehingga menganggap agama sendiri paling benar serta merendahkan agama orang lain. Paham ini tentu tidak sejalan dengan UUD 1945 dan Pancasila sebagai ideologi negara.

Adanya pandangan eksklusivisme cukup membahayakan bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya, paham tersebut mampu membuat masyarakat menjadi intoleran terhadap agama lain, terlebih bagi agama yang minoritas. Padahal, setiap agama mengajarkan kebaikan dan toleransi kepada sesama manusia. Oleh sebab itu, paham eksklusivisme harus diperangi.

Paham eksklusivisme bisa diperangi apabila setiap agama mampu memahami ajarannya dengan benar. Bagi umat Islam, ajaran untuk toleransi beragama terkandung di dalam banyak surat, salah satunya ada pada surah Al-An’am ayat 108. Inti dari surat tersebut adalah dilarang memaki atau mencaci apa yang agama lain (non-Islam) sembah karena cacian tidak akan mendapatkan kemaslahatan.

Bagi umat Kristen, sikap toleransi juga terdapat di dalam Alkitab, salah satunya yaitu Matius 5: 44 yang isinya “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”. Kalimat tersebut memiliki makna yang sangat toleran yaitu harus selalu berbuat baik kepada manusia meski sudah menganiaya sekalipun.

Dari ayat yang ada dalam Al-Qur’an dan Alkitab tersebut diharapkan bisa menjadi pedoman bagi umat Islam dan Kristen untuk senantiasa menurunkan egonya dalam bermasyarakat. Jelas dikatakan bahwa agama tidak membenarkan adanya paham eksklusivisme, yang ada adalah saling toleransi dan tidak merendahkan agama orang lain.

Anni Saun Nafingah
Anni Saun Nafingah
Alumni Pendidikan Administrasi Perkantoran Universitas Negeri Semarang

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru