30.2 C
Jakarta

Menggugat Kesalehan Radikal Ekstremis!

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMenggugat Kesalehan Radikal Ekstremis!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Agama, seperti yang kita pahami bersama adalah sebuah keyakinan yang mengedepankan kedamaian dan kebaikan. Selama masih menjadi sebuah agama, bisa dipastikan tidak ada satu pun agama yang tidak demikian. Bahkan yang termasuk paling sederhana semacam animisme, juga menuntun terhadap kebaikan dan kedamaian. Sehingga atas dasar inilah, segala bentuk atau praktik keburukan (kekerasan) adalah musuh semua agama di dunia.

Melalui definisi inilah, pada hakikatnya agama yang satu dengan lainnya mempunyai relasi dan visi yang akan selalu bergandeng tangan dalam usaha mewujudkan titik fokus dan tujuan yang sama berupa kebaikan dan kedamaian. Dalam konteks keindonesiaan, titik fokus dan visi ini dikenal sebagai Bhinneka Tunggal Ika.

Relasi agama yang satu dengan lainnya dalam menemukan kebaikan dan kedamaian setidaknya bisa dilihat dari tuntunan orientasi kebaikan dari masing-masing agama. Misalnya dalam ajaran agama Buddha yang mengajarkan semacam “meditasi kesunyian laut di dalam batin” sebagai jalan untuk menuju “Puncak Pencerahan”. Kemudian dalam ajaran agama Kristen yang terkenal mengenalkan pangkat “Santo” untuk menunjuk sosok yang suci.

Begitu pun dalam Islam itu sendiri, tuntunan dari orientasi pada kebaikan setidaknya terekam jelas dalam salah satu hadis Nabi Muhammad yang populer “Khoirun an-Naas Anfa’uhum Linnas” (Sebaik-baik manusia adalah orang yang bisa memberi manfaat bagi orang lain). Sehingga dari ajaran-ajaran inilah, sangat jelas bahwa Islam tak terkecuali agama lain juga, selalu dan selamanya akan menuntun pada hal kebaikan.

Ironi Keberislaman Sekarang

Tentu akan menjadi ironi bersama ketika melihat konteks keberislaman sekarang, dalih atas nama agama seringkali dijadikan senjata utama untuk memenuhi kepentingan demi kepentingan. Mulai kepentingan politik yang mengarah kepada keegoisan untuk membentuk negara khilafah, hingga kepentingan-kepentingan yang sejenis dengannya. Seakan-akan, negara khilafah menjadi satu-satunya sistem yang efektif mewujudkan negara yang berkemajuan dan berperadaban.

Berbicaralah tentang khilafah yang sudah tidak relevan dan hanya relevan di masanya, ini berkaitan dengan masa imperium Islam. Masa ini ditandai dengan masa Nabi Muhammad hingga runtuhnya Turki Usmani. Dikatakan relevan waktu itu sebab, pertama, kala itu iman dan kufur menjadi identitas politik. Sehingga dari identitas inilah lahir sebuah dikotomi antara dar al-Islam dan dar al-Harb.

Kedua, kekuasaan yang bersifat futuh. Artinya, antar penduduk wilayah kala itu bebas untuk berekspansi ke wilayah mana saja untuk kemudian menguasai wilayah tersebut. Sementara dalam konteks sekarang, ekspansi ini tidak berlaku meskipun dengan alasan mempertahankan syariat. Sebab, teritorial suatu negara telah diatur oleh PBB. Dua alasan ini jika tetap dipaksakan akan berimplikasi pada tatanan negara itu sendiri. Negara yang akan kesulitan dan kalang kabut untuk beradaptasi dengan zaman.

Termasuk juga ironi keberislaman sekarang, bisa dilihat dari berbagai bentuk praktik kekerasan kerap terjadi dewasa ini. Kekerasan-kekerasan berbentuk wacana maupun fisik yang tidak lain  dilatarbelakangi distorsi tafsir tekstual liberal terhadap Al-Qur’an dan Hadis memang sering terjadi belakangan ini.

Artinya, sekarang ini Islam sedang diuji oleh beragam paham menyimpang yang berkelindan, baik dalam ranah teologis, maupun sosiologis keberagamaan. Kekerasan wacana yang meliputi ujaran kebencian, hingga induk kekerasan seperti bom bunuh diri yang dijadikan sebagai justifikasi klaim kebenaran (truth claim) dengan disponsori klaim keselamatan (salvation claim), menjadi dua hal yang harus diwaspadai dewasa ini.

Sejauh kita bisa menerima kenyataan, aksi bom di Bali pada tahun 2002 silam turut menjadi satu-satunya catatan sejarah terorisme terbesar yang pernah terjadi di bangsa ini. Peristiwa itu telah menelan korban setidaknya 202 jiwa melayang, dan faktanya, lima tahun belakangan ini bangsa ini tetap dirundung permasalahan yang sama. Terbaru terjadi di depan kantor Polsek Astanaanyar, Kota Bandung, Jawa Barat pada Rabu 7 Desember 2022 (Kompas.com)

BACA JUGA  Darurat Solidaritas: Lawan Polarisasi Politik dan Perpecahan Bangsa!

Dalam hal ini, tentu akan menjadi sangat problematis dan destruktif ketika pembenaran tunggal yang dimiliki Tuhan Dzat Yang Maha Semau Gue (istilah Gus Mus)__ dirampas manusia meskipun dengan pekik atau caption membela Tuhan.

Berawal dari semua itu, Edi AH Iyubenu melalui bukunya Islam yang Menyenangkan, Etika Kemanusiaan Sebagai Puncak Keimanan dan Keislaman berusaha menghidupkan kembali nalar kritis intelektual bahwa membela Tuhan tidaklah sama dengan memaksa orang lain sepaham dengan pandangan dan keyakinan kita. Apa yang diyakini sebagai ‘jalan kebenaran Tuhan’ semestinya selalu kita tempatkan hanya sebagai satu jalan di antara ribuan jalan lainnya. Sehingga kekerasan yang bisa merugikan orang lain seperti bom bunuh diri bisa segera teratasi.

Islam Agama yang Ramah

Termasuk juga yang menjadi ironi keberislaman sekarang adalah kepongahan. Kepongahan yang dimaksud adalah bentuk keangkuhan untuk tetap membela apa yang diyakini. Hingga tak jarang, dari kepongahan ini justru menjadi akar permasalan-permasalahan setelahnya. Kepongahan Fir’aun yang mengaku Tuhan, bukanlah menjadi akhir dari kepongahan manusia yang sebenarnya. Hingga dewasa ini, ternyata masih banyak kepongahan-kepongahan manusia modern.

Kepongahan ini bisa dilihat misalnya dari permasalahan seputar tahlilan yang masih kerap menyeruak tak terbendung perbedaannya. Ada yang menyebutnya sebagai sunnah, hingga ada pula menyebutnya haram atas dasar bid’ah. Keduanya mempunyai landasan dan argumen yang berdiri di atas kaki penafsiran berbeda. Sehingga pada akhirnya tidak ditemukan titik temu antara keduanya.

Seketika akan menjadi miris juga, ketika dari ikhtilaf ini justru menampilkan wajah yang sangat problematis dan destruktif. Bahkan tidak jarang menyeret umat Islam pada pertikaian sosial yang berkepanjangan. Itulah kenyataannya, Islam kembali terlukai disebabkan ekspresi ikhtilaf setamsil. Hingga akhirnya, prinsip Islam yang jelas-jelas mengedepankan ukhuwah islamiyah menjadi terbebani.

Menjalin ukhuwah Islamiyah bukankah memang anjuran Al-Qur’an? Allah SWT dalam surah Al-Hujurat ayat 10 berfirman:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati.” (QS. Al-Hujurat: 10)

Terkait ukhuwah Islamiyah ini pula Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda bahwa perbedaan di kalangan umatnya dikatakan sebagai Rahmat.

عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه  وسلم: المسلم أخو المسلم, لا يخونه ولا يكذبه ولا يخذله (سنن الترمذي)

Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: seorang muslim adalah saudara muslim lainnya. Tidak boleh mengkhianati, mendustai, dan merendahkannya.” (HR. Tirmidzi: 1927/3/389).

Berangkat dari problem ikhtilaf ini, butuh upaya serius untuk kembali menelaah keberagaman dalam konteks sejarah Islam dahulu kala. Bahwa hikayat perbedaan pendapat di antara umat Islam sebenarnya bukanlah hal kekinian. Pasca sepeninggal Rasulullah, para sahabat di Madinah juga berbeda pendapat tentang siapa yang pantas menjadi penerus pemimpin umat Islam.

Pada akhirnya, melalui pembentukan Ahlul Halli wal Aqdi, masalah itu dapat diselesaikan dengan terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Terpilihnya Abu Bakar meski tak memuaskan semua pihak, tetap berhasil diselesaikan dengan baik berkat kuatnya sikap tawadhu’ di kalangan para sahabat.

Sebagai kesimpulan dari persoalan-persoalan di atas, sebenarnya apa yang sejatinya sedang diperjuangkan? Jawabannya tidak ada. Karena pada hakikatnya, Islam yang rahmatan lil ‘alamin selamanya akan bermuara pada puncak cinta bernama akhlak karimah seperti yang pernah disampaikan Nabi Muhammad_Innama Bu’itstu Liutammima Makarimal Akhlaq.

Walhasil, dengan ini Islam menempatkan ihwal kemanusiaan sebagai jalan ketakwaan kepada Tuhan. Beragama Islam berarti menumbuhkan dan mengedepankan spirit kemanusiaan, bukan malah melakukan kekerasan kepada sesama meskipun dengan pekik membela agama dan Tuhan. Wallahu A’lam.

M. Faidh Fasyani
M. Faidh Fasyani
Santri PP Al-Anwar Sarang Rembang/Mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir STAI Al-Anwar Sarang Rembang. Beberapa tulisannya telah termuat di beberapa media cetak dan online.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru