28.2 C
Jakarta

Menelisik Hasil Laporan Keterlibatan Perempuan dalam Ekstremisme di ASEAN

Artikel Trending

KhazanahTelaahMenelisik Hasil Laporan Keterlibatan Perempuan dalam Ekstremisme di ASEAN
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hatakatuna.com- Laporan tentang analisis gender tentang ekstremisne kekerasan dan dampak Covid-19 terhadap perdamaian dan keamanan di ASEAN sudah di-launching. Laporan tersebut merupakan hasil kerjasama dan kemitraan antara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Indonesia, dan Badan PBB untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (UN Women).

Berdasarkan laporan ini, kita dapat mengetahui tentang keterlibatan perempuan dalam ranah ekstremisme. Setidaknya ada beberapa hal dalam laporan itu, diantaranya:

Pertama, kondisi pandemi dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok ekstremis dalam menyebarkan konten, bahkan merekrut orang-orang baru melalui forum penguatan organisasi yang berhasil diselenggarakan melalui media sosial. Hal yang paling bisa dilakukan menurut laporan tersebut adalah mengirim pesan melalui online adalah wujud aksi yang nyata.

Kedua, konten media sosial kebanyakan merekrut perempuan dan anak perempuan untuk ikut terlibat dalam kelompok ekstremisme.

Ketiga, daya Tarik maskulinitas digunakan untuk merekrut kader dan melegitimasi kekerasan. Hal ini bisa dilihat melalui media online yang, selama pandemi semakin banyak berkeliaran situs media online yang menyajikan narasi bertentangan dengan nasionalisme, anti pemerintah dengan segala narasi jenis Islam kaffah yang mengiringi.

Daya Tarik maskulinitas tersebut tidak hanya berhenti pada pemahaman itu, sebab seiring berjalannya waktu, kehadiran perempuan dalam meretas seuperioritas maskulinitas tersebut semakin meningkat dengan banyaknya kajian-kajian yang dilakukan oleh para perempuan ekstremis. Kelompok perempuan ini melakukan diskursus yang menentang terhadap moderasi beragama, hingga penentangan pemerintah yang dianggap tidak sejalan dengan ajaran Islam.

Keempat, perancangan dan implementasi kebijakan P/CVE harus menggunakan perspektif interseksionalitas. Artinya, untuk mendukung kinerja-kinerja konkret, semua pihak harus terlibat untuk melawan kekerasan perempuan dalam pusaran ekstremisme.

Berdasarkan laporan di atas, setidaknya kita bisa memahami bahwa, disatu sisi, perempuan menjadi hadiah besar bagi kelompok ekstremisme. Hal ini karena, para aktor perempuan memiliki loyalitas tinggi untuk merekrut dan memperbanyak kader perempuan lainnya untuk ikut terlibat dalam gerakan yang dilakukan. Ditambah lagi dengan kehadiran media sosial yang tercipta sebagai ruang bebas. Setiap penggunanya memiliki kebebasan akses yang tiada batas. Sehingga potensi semakin menyebarnya paham tersebut adalah kenyataan yang tidak bisa digugat.

BACA JUGA  Mengapa Perempuan Terlibat dalam Kelompok Teroris? Pahami Faktor Penyebab Berikut Ini!

Di sisi lain, perempuan sendiri justru tidak sadar bahwa posisinya sedang pada berada pusaran kesesatan yang nyata. Hal ini karena, ideologi tersebut sudah tertanam akan pemahaman bahwa, dengan begitu, dirinya dan kaumnya akan terselamatkan oleh kelompok kapitalis, utamanya pemerintah yang tidak adil kepada perempuan.

Tuduhan atas ketidakbenaran laporan tersebut

Menariknya, sekelompok orang justru menolak laporan ini atas tuduhan tidak besar. Narasi yang digaungkan justru karena, kekerasan yang dialami oleh perempuan tidak hanya terjadi selama pandemi. Jauh sebelum itu, kekerasan terhadap perempuan sudah berlangsung bertahun-tahun silam.

Narasi tersebut dikuatkan dengan narasi bahwa, BNPT dan UN Women memiliki pandangan misoginis tentang peran perempuan. Kalau kita telaah lebih jauh, pandangan itu justru sangat tidak masuk akal. Jika melihat laporan BNPT dan UN Women di atas, kalimat yang sangat jelas disematkan adalah, “Tidak ada kelompok esktremis yang mendukung ideologi kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.”

Sehingga menjadi wajar, apabila ada penolakan dan tuduhan terus disematkan tentang penelitian tersebut. Tidak hanya itu, orang-orang yang menolaknya bisa dipastikan adalah golongan dari kelompok ekstremisme itu sendiri. Tentu, narasi yang digoreng adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang disematkan pada pelbagai hal.

Upaya preventif yang bisa dilakukan oleh perempuan adalah, memahami gerakan ekstremis yang semakin tidak terbendung di media sosial. Peningkatan pemahaman tersebut secara tidak langsung menguatkan benteng diri, agar tidak terpengaruh terhadap gerakan-gerakan atas nama Islam yang semakin tinggi.

Kesiapan kita sebagai perempuan juga harus terus diasah dalam rangka, melihat sejauh mana gerakan yang sudah kita lakukan untuk melawan narasi ekstremisme. Hal itu bisa dilihat dari komitmen postingan di media sosial, hingga produksi konten yang harus tersebar di pelbagai platform. Tentu, menyisakan PR yang sangat besar jika melihat pergerakan yang dilakukan oleh perempuan ekstremis. Tidak hany ITU, Membentengi diri sendiri dengan pengetahuan, literasi digital, literasi agama juga menjadi bagian dari kesiapan itu sendiri. Wallahu a’lam

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru