29 C
Jakarta

Perempuan, Benteng Keluarga dari Propaganda Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahPerempuanPerempuan, Benteng Keluarga dari Propaganda Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Radikalisme itu serupa kanker. Keberadaannya acapkali tidak terdeteksi oleh mata telanjang. Namun, dampaknya begitu nyata. Kanker menggerogoti sel-sel tubuh inangnya lalu membunuhnya secara perlahan. Demikian pula radikalisme, ia melemahkan nalar dan nurani, melumpuhkan komitmen kebangsaan, lantas menebar virus provokasi dan perpecahan. Puncaknya, bangsa dan negara akan rusak dari dalam.

Sebagai akar dari ekstremisme kekerasan, radikalisme bisa mewujud ke dalam beragam bentuk. Mulai dari sikap anti-terhadap kelompok lain, alergi pada kebudayaan lokal, sikap merasa diri paling benar, hingga kecenderungan anti-pemerintahan yang sah. Sebagai sebuah gerakan pemikiran, radikalisme disebarluaskan melalui beragam cara. Salah satunya ialah melalui ceramah keagamaan.

Fenomena ceramah keagamaan radikal inilah yang belakangan dikeluhkan oleh Presiden Joko Widodo. Dalam Rapim TNI-Polri beberapa hari lalu, Presiden Jokowi menghimbau agar para istri TNI dan Polri tidak mengundang penceramah radikal. Himbauan Presiden ini kiranya merupakan seruan untuk seluruh masyarakat, bukan hanya di lingkup keluarga TNI dan Polri saja.

Keluarga Sebagai Pintu Masuk Propaganda Radikalisme

Seperti kita tahu, peta penyebaran paham radikal dalam beberapa tahun belakangan ini mengalami semacam perubahan pola. Di masa lalu, penyebaran radikalisme umumnya menyasar secara individu alias per-seorangan. Dalam beberapa tahun, pola penyebaran radikalisme cenderung mengarah pada kelompok, lembaga atau institusi, tidak terkecuali keluarga. Secara lebih spesifik lagi, keluarga telah menjadi semacam pintu masuk paham radikalisme ke dalam konteks masyarakat yang lebih luas.

Gejala radikalisasi di lingkungan keluarga ini juga divalidasi oleh sejumlah kasus terorisme berbasis keluarga (family terrorism). Seperti aksi bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar yang dilakukan sepasang suami-istri, dan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya yang dilakukan oleh lima orang terdiri atas bapak, ibu dan tiga orang anak.

Dalam tinjauan sosiologi, keluarga merupakan inti dari masyarakat. Baik-buruknya masyarakat ditentukan oleh kualitas keluarga. Maka, tidak mengherankan jika kaum radikal menyasar keluarga sebagai obyek propagandanya. Dengan menguasai keluarga, kaum radikal bisa leluasa menancapkan dominasinya di tengah masyarakat. Jika keluarga sudah berhasil diinfiltrasi, maka menguasai masyarakat hanyalah soal waktu dan momentum saja.

Dalam konteks inilah, pesan presiden agar istri TNI dan Polri tidak sembarangan mengundang penceramah agama itu menemukan relevansinya. Tidak hanya di lingkup keluarga Polri atau TNI, namun keluarga masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Harus diakui bahwa perempuan (istri/ibu) memiliki tingkat kerentanan tinggi untuk terpapar paham radikal dan menularkannya ke seluruh anggota keluarganya. Di sisi lain, perempuan (istri/ibu) sebenarnya juga bisa berperan aktif dalam melindungi keluarganya dari paham radikal.

BACA JUGA  Dualisme Nilai Frasa “Perempuan Bisa Melakukan Segalanya”

Membentengi Keluarga

Membentengi keluarga dari radikalisme idealnya dilakukan dengan memastikan tidak ada satu pun anggota keluarga yang terpapar ideologi menyesatkan tersebut. Caranya ialah masing-masing anggota keluarga, tidak terkecuali perempuan (istri/ibu), harus saling menjaga diri dari infiltrasi ceramah radikal yang bisa datang dari segala arah.

Di dunia nyata, anggota keluarga wajib selektif dalam memilah dan memilih komunitas atau jamaah keagamaan yang diikutinya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak keluarga di Indonesia yang terpapar paham radikalisme bahkan ekstremisme karena salah memilih pengajian dan salah memilih. Maka, pilihlah komunitas pengajian dan ustad yang berpandangan inklusif, toleran, moderat, dan nasionalis. Dengan begitu, keluarga akan terhindar dari infiltrasi propaganda radikalisme yang kerap menyusup melalui kelompok-kelompok pengajian.

Sedangkan di dunia maya, anggota keluarga wajib selektif dalam menikmati kajian keagamaan digital yang hari ini tersaji di kanal-kanal media sosial. Perkembangan teknologi digital hari ini harus diakui kian menyuburkan fenomena ceramah keagamaan radikal. Kini, hampir semua penceramah agama berkarakter radikal memiliki akun media sosialnya masing-masing. Distribusi ujaran kebencian dan provokasi berbalut isu agama pun kini dengan mudah ditransmisikan melalui jejaring dunia maya.

Dua hal mutlak yang harus ada di setiap keluarga agar tidak terpapar radikalisme ialah literasi keagamaan dan literasi digital. Literasi keagamaan berhubungan dengan kemampuan individu atau kelompok dalam memahami dan memaknai ajaran agamanya secara rasional dan kontekstual. Umat beragama yang literasi keagamaannya kuat akan memahami agama sebagai sumber ajaran moral dan etika, bukan sebagai alat untuk menjustifikasi kekerasan dan kebencian. Literasi keagamaan yang kuat dengan demikian ialah modal membangun kehidupan beragama yang inklusif, toleran, dan nasionalis.

Sedangkan literasi digital berhubungan dengan kemampuan individu atau kelompok dalam mencari informasi dan pengetahuan di dunia maya (internet). Dalam konteks keagamaan, literasi digital diperlukan untuk memfilter konten-konten keagamaan digital yang bernuansa kebencian dan kekerasan. Umat beragama dengan literasi digital yang mumpuni niscaya hanya akan menikmati konten keagamaan yang disampaikan oleh ustad, kiai, atau ulama yang kredibel, santun, dan menyejukkan.

Desi Ratriyanti
Desi Ratriyanti
Lulusan FISIP Universitas Diponegoro, bergiat di Indonesia Muslim Youth Forum.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru