27.3 C
Jakarta

Melawan Propaganda HTI: Makna Jihad Bukan Perang Fisik!

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMelawan Propaganda HTI: Makna Jihad Bukan Perang Fisik!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Jumat (31/3) lalu, saya mendapat kertas Buletin Dakwah Kaffah yang berjudul ‘Ramadhan Bulan Jihad dan Perjuangan’ yang isinya bulan Ramadan berisi jihad seperti Perang Badar dan perang lainnya. Permasalahannya bukan mengenai uraian sejarah peperangan pada bulan Ramadan, tapi pemaknaan jihad yang dipakai benar-benar dibatasi dan disempitkan secara mutlak. Dikatakan,

“Jihad, dalam makna syariah, adalah qitaal (perang). Tidak ada makna selain itu, Ibnu Rajab al-Hanbali menjelaskan bahwa jihad adalah mengerahkan usaha dalam memerangi kaum kafir”.

Semestinya, makna jihad jangan disempitkan pada perang fisik, melainkan harus diperluas demi memberikan pemahaman yang utuh dan mencerahkan bagi masyarakat muslim. Tulisan singkat ini berupaya memberi insight kepada pembaca pada umumnya mengenai makna jihad dalam konteks sekarang.

Perang Kepada Siapa?

Fazlur Rahman, cendekiawan muslim asal Pakistan, mempunyai metode tafsir yang disebut Double Movement (Gerakan Ganda). Maksudnya, ada gerakan kembali pada konteks ayat tersebut diturunkan, kemudian gerakan merujuk konteks sekarang, artinya suatu ayat ditafsirkan dengan melihat ayat tersebut diturunkan barulah dikontektualisasikan pada masa sekarang.

“Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, tetapi jangan melewati batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S Al-Baqarah: 190).

“Apabila kalian bertemu dengan orang-orang yang kafir (di medan perang), maka pukullah batang leher mereka. Selanjutnya apabila kalian telah mengalahkan mereka, tawanlah mereka. Setelah itu kalian boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang selesai. Demikianlah, dan sekiranya Allah menghendaki niscaya Dia membinasakan mereka, tetapi Dia hendak menguji sebagian kalian satu sama lain. Orang-orang yang gugur di jalan Allah, Dia tidak menyia-nyiakan amal mereka.” (Q.S: Muhammad: 4).

“Oleh sebab itu barang siapa menyerang kalian, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kalian. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Q.S Al-Baqarah: 194).

Ayat-ayat di atas menceritakan tentang perang yakni memerangi orang kafir, tapi perang yang dimaksud memiliki ketentuan, seperti terjadi di medan perang, umat muslim diperangi dahulu, etika perang tetap mengandung unsur rahmat dan kasih sayang, perang dilakukan untuk melindungi agama dan kemanusiaan, perang sebagai bentuk pertahanan dari serangan musuh.

Jika ditarik pada konteks sekarang, khususnya di Indonesia, apakah kaum muslim Indonesia saat ini tengah diperangi?, jika iya, oleh siapa? Perang fisik terhadap umat muslim di Indonesia tidak ada, lantas mengapa mesti melakukan perang?. Dalam sejarah Islam, peperangan yang dilakukan pada masa Nabi tidak seenaknya langsung berperang kepada kaum pembangkang, Nabi berdakwah dahulu dengan kasih sayang.

Jika tetap membangkang dengan mencederai kaum muslim, Nabi pun memberi peringatan terlebih dahulu. Jika peringatan tersebut diabaikan, barulah terjadi perang. Itu berarti, perang merupakan alternatif terakhir ketika umat muslim diserang secara kemanusiaan. Dalam peperangan pun ada unsur kasih sayang, misalnya tidak boleh dicampuri oleh nafsu, jangan membunuh anak-anak, perempuan, lansia, tokoh agama lain, dan orang sakit.

Islam Agama Cinta: Melarang Pembunuhan

Haidar Bagir menjelaskan yang dimaksud Islam agama cinta ialah agama yang Tuhannya Maha Cinta dan Rasulnya selalu menebar kasih sayang di muka bumi sehingga ajarannya mengutamakan nasihat, hikmah dan kata-kata yang baik.

Memang tidak bisa menafikan adanya peperangan, tapi baik kekerasan dan peperangan hanyalah upaya terakhir sebagai alat pertahanan diri (Bagir, 2022: 10). Islam sendiri sebenarnya tidak menginginkan adanya peperangan, saling bunuh dan terjadinya pertumpahan darah. Misalnya, ayat-ayat di bawah ini.

BACA JUGA  Metamorfoshow: Titik Tolak Kontra-Propaganda Khilafah

“Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” [QS al-Maidah: 32]

Menurut ayat tersebut, membunuh satu jiwa sama dengan membunuh semua jiwa, pun sebaliknya menyelamatkan jiwa seseorang sama dengan menyelamatkan semua jiwa orang lain. (Umar, 2018: 206).

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” [QS al-Isra’: 33]

Membunuh dilarang dalam Islam, bahkan mencegah kelahiran hanya karena takut tidak bisa memberi makan pun dilarang.

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” [QS al-Isra’: 31]

Jihad Bukan Perang

Banyaknya definisi mengenai jihad yang selalu identik dengan perang fisik, namun ada pandangan lain yang menyebut jihad tidak selamanya identik dengan perang fisik. Abou el-Fadl menyebut bahwa kata jihad dalam Al-Qur’an tidak ditunjukkan untuk perang. Al-Qur’an menggunakan katab qital untuk menunjuk perang.

Jadi ada perbedaan mendasar antara jihad dengan qital. Sementara Buletin Kaffah yang sudah disinggung diawal, menyamakan pengertian jihad itu sendiri dengan qital sehingga makna jihad sama dengan qital yaitu perang fisik melawan kaum kafir. Sebagaimana pada gambar di bawah ini.

Menurut Haidar Bagir, jihad itu dasarnya baik, sementara qital tidak demikian. Jihad memiliki arti yang luhur yaitu bersungguh-sungguh baik dengan fisik (jihadun), nalar (ijtihadun) maupun dengan kekuatan ruhani (mujahadah) (Umar, 2018: 196). Sementara qital diartikan berperang. Jihad berarti kesungguhan yang tidak terlepas dari fisik, nalar maupun ruhani. Ketiganya mendatangkan manfaat dan kemuliaan, bukan malah mendatangkan kehancuran dan pertumpahan darah.

Nabi mengatakan “Goresan tinta pena ulama lebih mulia daripada percikan darah para syuhada”. Perkataan tersebut memberi pesan kepada kita bahwa tulisan yang mengandung hikmah lebih agung karena tidak sedikit pun menyebabkan hilangnya kemanusiaan seperti peperangan antar manusia.

Di ambang modernitas, segala informasi dari mana saja ada baik informasi yang mengandung kebencian, kebohongan, kearifan, dan lain sebagainya. Jika kita tidak ingin informasi tersebut dipenuhi oleh unsur kebencian dan kebohongan, maka perlu kita galakkan informasi arif dan mencerahkan. Itu merupakan contoh sederhana dari jihad yang tujuannya untuk kemuliaan.

Jihad dengan mengerahkan nalar demi menyelesaikan permasalahan yang terjadi saat ini, seperti masalah krisis lingkungan, menipisnya keruhanian pada manusia modern, ditinggalkannya agama, kekerasan pada perempuan, dan lain sebagainya. Sementara jihad dengan kekuatan ruhani berarti melakukan olah batin agar bisa mengendalikan nafsu buruk dalam diri.

Senada apa yang disampaikan oleh Nabi setelah Perang Badar, bahwa ada jihad yang lebih besar daripada perang fisik, yaitu melawan hawa nafsu. Pengendalian diri merupakan awal untuk membentuk peradaban yang manusiawi, yang tidak ada kebencian, peperangan dan pembunuhan.

Akhmad Fawzi
Akhmad Fawzi
Mahasiswa Akidah dan Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru