30.2 C
Jakarta

Melacak Akar Islamofobia dan Peneguhan Multikulturalisme

Artikel Trending

KhazanahOpiniMelacak Akar Islamofobia dan Peneguhan Multikulturalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Islamofobia berakar dari konflik antar agama. Masih sangat terkenang peristiwa WTC (World Trade Center) tahun 2001. Kelompok Usamah mengatakan bahwasanya kemunculan fenomena tersebut sebagai bentuk reaksi terhadap Islam yang menyatakan Islam itu sadis, bahaya, keras, ancaman, dan lain sebagainya. Sejatinya fenomena yang mengatasnamakan agama tersebut tidak terjadi sejak WTC saja.

Konflik semacam itu telah terjadi sebelum fenomena WTC, misalnya konflik antara Islam dan Hindu di India sejak abad ke-8 hingga sekarang yang masih berkelanjutan. Partai BJP yang dikenal sebagai partai nasionalis di India memiliki afiliasi dengan sebuah organisasi Hindu bernama Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS). RSS sendiri memiliki cita-cita yang jelas, yakni menjadikan India sebagai negara agama Hindu.

Selanjutnya terdapat peristiwa Salman Rusdhie yang mengarang novel The Satanic Verses (ayat-ayat setan). Alhasil, novel tersebut memicu kemarahan umat muslim di sejumlah negara. Gelombang demonstrasi terjadi hingga keluar fatwa dari pemimpin Iran Ayatollah Khomeini pada tanggal 14 Februari 1989.

Secara terbuka, Ayatollah mengutuk novel tersebut dan menghalalkan pembunuhan terhadap Rushdie. Ayatollah memberi hukuman mati untuk Rusdhie, tidak hanya diumumkan ia bahkan sampai membuat sayembara siapa saja yang bisa membunuh Salman Rusdhie akan diberi hadiah.

Kemudian di Selandia Baru terdapat tragedy penembakan di Masjid Christchurch memakai live streaming. Jadi ketika ada orang yang lewat di sekitar masjid langsung dibunuh. Selanjutnya terdapat konflik antara Armenia dan Azerbaijan yang menewaskan ribuan orang. Dua negara itu pernah terlibat perang berdarah pada akhir dekade 1980-an dan awal 1990-an.

Perang itu hingga saat ini masih terus memicu konflik bersenjata yang berkelanjutan. Armenia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Sementara itu, agama terbesar di Azerbaijan adalah Islam.

Konflik lainnya yang masih berkelanjutan yaitu antara Israel dan Palestina sejak 1948. Pembantaian Israel terhadap kaum Muslim di Palestina kerap menjadi sorotan umat Islam di seluruh dunia. Kekerasan legal Israel yang melanggar HAM terhadap Palestina tidak hanya melukai warga Palestina, namun juga melukai hati umat Islam seluruh dunia.

Tragedi lainnya yang memprihatinkan yaitu  pembantaian terhadap umat Islam di Spanyol. Seluruh Muslim Spanyol di pelabuhan habis terbunuh. Darah menggenang di mana-mana. Laut yang biru telah berubah menjadi merah kehitam-hitaman. Tragedi ini bertepatan dengan tanggal 1 April. Inilah yang kemudian diperingati oleh dunia Kristen setiap tanggal 1 April sebagai April Mop (The April Fool’s Day).

Bagi umat Islam, April Mop tentu merupakan tragedi yang sangat menyedihkan. Hari di mana ribuan saudara-saudara seimannya “disembelih” dan dibantai oleh tentara Salib di Granada, Spanyol.

Lalu sebenarnya apakah yang terjadi? Yang terjadi yaitu kekerasan atas nama agama, saling dendam dan merasa dizalimi oleh agama lain, baik Islam, Buddha, Kristen dan lain sebagainya. Setiap agama ada kekerasan, seolah-olah harus membunuh atas nama agama karena dendam dan itulah yang memunculkan islamofobia.

Islamofobia dimaknai sebagai ketakutan ekstrem berlebih pada apa-apa yang berbau Islam karena dipicu oleh fenomena yang ada. Fenomena ini muncul pertama kali dari tragedi WTC. Walau sebenarnya perang antar agama tidak hanya terjadi pada Islam, namun sejak fenomena WTC Amerika mendekte islamofobia. Selain itu didukung anggapan bahwa teror Islam bersifat internasional global.

BACA JUGA  Memaknai Toleransi Beragama dan Menyudahi Radikalisme

Islamofobia pernah ada di negara-negara Eropa. Islamofoia yang  masuk ke Amerika diperketat. Hal-hal yang berbau Islam seperti jenggot, kerudung dan lainnya ditakuti dan dikhawatirkan di Amerika serta negara lainnya. Namun, tidak semua warga Amerika seperti itu. Terdapat orang Amerika yang mengkaji Al-Qur’an sehingga menyikapi fenomena yang ada bukan sebagai islamofobia.

Di layar kaca terdapat film tentang Arabfobia. Menarik dari film tersebut bahwasanya terorisme yang mengancam tersebut dididik oleh intelijen Amerika Serikat. Pada tahun 1998, tiga tahun sebelum tragedi WTC sesuatu yang berwajah Arab di Amerika dicurigai. Presiden Amerika yang keras terhadap islamofobia adalah Donal Trump.

Donal Trump melarang keras sesuatu yang berbau Arab seperti hijab masuk ke Amerika. Selanjutnya masyarakat Amerika protes akan kebijakan tersebut dengan membuat kalikatur patung Liberty yang mengenakan hijab.

Di Perancis tahun 2015 menjadi tahun islamofobia. Dua peristiwa berdarah telah mengguncang ibukota Paris pada bulan November dan Januari yang mana menjadi penyebab meningkatnya serangan terhadap umat Muslim. Sedangkan pasca-serangan berdarah Paris Attack pada 13 November, umat Islam di Perancis menerima perlakuan rasis sebanyak 222 kali.

Penyerangan fisik, penarikan jilbab, caci maki, teror rumah warga Muslim, perusakan dan pembakaran rumah ibadah adalah bentuk tindakan rasis yang diterima umat Islam di Perancis sepanjang tahun 2015.

Kemudian terdapat fenomena kontra-islamofobia di Inggris ketika Walikota London beragama Islam. Pengungsi atau imigran yang berbau Arab yang ditolak di Jerman, Swedia, Denmark dan negara lainnya ditampung oleh Inggris. Ternyata, ketakutan akan hal-hal yang berbau Islam tidak dibuktikan dengan sikap saja tetapi di negara-negara Eropa telah menulis buku-buku yang diajarkan di sekolah Barat yang menggambarkan Islam itu keras.

Secara umum islamofobia tidak ada urusannya dengan agama. Sebagaian orang berpendapat bahwa islamofobia adalah urusan politik. Artinya setelah Amerika kehilangan musuh yaitu Uni Soviet maka ia butuh musuh baru. Musuh baru itu akhirnya Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia setelah Kristen. Hal tersebut dilakukan Amerika untuk mempersolid ideologi mereka yaitu demokrasi. Puncaknya pada tragedi WTC didektelah oleh mereka sebagai momentum di mana islamofobia ditonjolkan.

Selanjutnya terkait islamofobia di Indonesia terbilang aman. Hal tersebut dikarenakan Indonesia adalah negara multikulturalisme yang bersemboyankan Bhinneka Tunggal Ika. Multikulturalisme dianggap sebagai paham yang menyatakan semua agama itu sama. Tidak ada bedanya antara Islam, Kristen, Budha dan agama lainnya.

Paham ini harus terus dipegang  agar di Indonesia tidak terjadi disentegrasi. Faktanya Indonesia sukses menyatukan ras dan lain-lain. Sejak digaungkan sumpah pemuda, segitu banyaknya orang Indonesia bisa bahasa ibu (local) dan bahasa Indonesia. Dalam hal agama Indonesia relative aman.

Meskipun beberapa kali terjadi kekerasan itu hanya berkisar sekitar 10% misalnya pada kasus Bom Bali. Bhineka Tunggal Ika harus dikemas kembali dan dikembangkan lagi sebab sebagai manusia ada ancaman disintergrasi. Multikulturalisme dinaikkan, sehingga orang-orang tidak menyalahkan Indonesia jika terjadi kasus negatif.

Uta Panandang
Uta Panandang
Mahasiswa ilmu al-Qur`an dan Tafsir STAI Al-Anwar Sarang Rembang, Santri PP Al-Anwar 3 Sarang Rembang serta pengkaji Islam dan Keagamaan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru