26.1 C
Jakarta
Array

Masuk Neraka Karena Rajin Ibadah

Artikel Trending

Masuk Neraka Karena Rajin Ibadah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pada suatu masa di akhirat, Tuhan memeriksa amal manusia. Di antara orang-orang yang diperiksa itu ada Haji Saleh. Ia selalu tersenyum karena merasa yakin akan masuk surga. Hingga tiba gilirannya. Inilah dialog Tuhan dan Haji Saleh yang sangat karikatural.

Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.

“Engkau?”

“Aku Saleh. Tapi, karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.”

“Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.”

“Ya, Tuhanku.”

“Apa kerjamu di dunia?”

“Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.”

“Lain?”

“Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.”

“Lain.”

“Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.”

“Lain?”

Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia sadar, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya walau menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi, setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.

“Lain lagi?” tanya Tuhan.

“Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.” Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.

Tapi Tuhan bertanya lagi: “Tak ada lagi?”

“O, o, ooo, anu, Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.”

“Lain?”

“Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.”

“Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?”

“Ya, itulah semuanya, Tuhanku.”

“Masuk kamu.”

Haji Saleh pun dimasukkan ke dalam neraka. Di neraka ia ternyata banyak bertemu dengan sejawatnya, yang menurutnya juga sama tak kurang ibadatnya. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Haji Saleh dan kawan-kawannya tidak mengerti mengapa mereka dimasukkan ke neraka. Karena itu, mereka mencoba mempertanyakan keputusan itu alias memprotes Tuhan. Haji Saleh langsung memimpin demonstrasi tersebut.

Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: “O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran- Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.”

“Kalian di dunia tinggal di mana?” tanya Tuhan.

“Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.”

“O, di negeri yang tanahnya subur itu?”

“Ya, benarlah itu, Tuhanku.”

“Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?”

“Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.” Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.

“Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?”

“Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.”

“Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?”

“Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.”

“Negeri yang lama diperbudak negeri lain?”

“Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.”

“Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?”

“Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.”

“Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?”

“Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.”

“Engkau rela tetap melarat, bukan?”

“Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.”

“Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?”

“Sungguh pun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.”

“Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?”

“Ada, Tuhanku.”

“Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas.”

“Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!”

***

Tulisan di atas adalah sepenggal kisah yang ada pada Kumpulan Cerpen  sosio-religi berjudul, Robohnya Surau Kami karya A.A Navis (1924-2003). Cerpen ini pertamakali terbit pada 1956.

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru