32.7 C
Jakarta
Array

Mahfud MD dan Makna Islam Garis Keras

Artikel Trending

Mahfud MD dan Makna Islam Garis Keras
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Belum lama ini, jagad sosial masyarakat Indonesia diramaikan oleh polemik tentang pernyataan mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, yaitu tentang“Islam Garis Keras”. Sebabnya sederhana, Mahfud MD hanya menyatakan bahwa kubu 02 menang di daerah provinsi yang berlatar belakang agama Islam garis keras, bukan radikal. Sontak pernyataan tersebut membuat publik riuh dipenuhi dengan ujaran-ujaran dan perdebatan yang panas dan berbuntut panjang hingga saat ini.

Sekilas pernyataan itu biasa-biasa saja, namun karena bersentuhan langsung dengan media sosial dan dapat diakses oleh banyak orang, hal itu mengundang banyak kontroversi dari berbagai kalangan, termasuk tokoh-tokoh politik. Mereka mempertanyakan maksud dari Islam garis keras tersebut. Sehingga suasana panas pasca Pilpres menjadi semakin tinggi dan masyarakat menjadi terpolarisasi serta terkesan ada semacam pemberian label kepada beberapa daerah yang mempunyai latar belakang sejarah Islam garis keras. Pelabelan itu sangat jelas dikatakan oleh Mahfud MD terhadap beberapa provinsi, seperti Jawa Barat, Sumatera Barat, Aceh, dan Sumatera Selatan.

Masalahnya, tidak semua orang sependapat dan satu pandangan mengenai Islam garis keras, karena istilah tersebut sejatinya memang kontroversi dan debatable (mengandung perdebatan). Hal itu salah satunya dikarenakan pengalaman bangsa ini dalam beberapa tahun silam bahkan hingga saat ini masih mengalami trauma dengan tindakan kaum radikal yang menyerang umat agama lain, bahkan seagama yang berbeda paham bisa saling menghujat dan mengkafirkan satu sama lain. Sehingga istilah garis keras menjadi ahistoris (putus dari sejarah) dan campur-aduk dengan radikalisme.

Sebenarnya pernyataan Mahfud MD tersebut bila dilihat secara historis dari timbulnya penyematan Islam garis keras terhadap suatu golongan agama Islam di Indonesia, memang benar adanya. Menurut Clifford Geertz (2013), Islam garis keras mencul saat Belanda kembali dengan sekutunya ke tanah air Indonesia. Kala itu, meletus sebuah resolusi yang sangat populer di dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, yaitu Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 yang diprakarsai oleh KH. Hasyim Asy’ari. Resolusi tersebut muncul untuk menolak kompromi dengan penjajah. Maka para kiai dan santri-santri yangtergabung dalam kelompok resolusi tersebut dilabeli dengan Islam garis keras dikarenakan tidak mau kompromi dengan sekutu Belanda, saat itu hanya ada dua pilihan, merdeka atau mati.

Apabila melihat pendangan Geertz di atas, sebenarnya senada dengan apa yang dikatakan oleh Mahfud MD ketika melakukan klarifikasi di salah satu media televisi beberapa hari lalu. Bahwa apa yang dipahaminya tentang Islam garis keras menurutnya adalah cara berislam yang fanatik dan berprinsip, sehingga penganutnya tidak mau didikte dan dipengaruhi oleh siapapun dalam memilih presiden, dan juga tidak ada kompromi dengan pengaruh politik atau sejenisnya. Hal itu sama seperti karakter orang Madura yang tidak mau kompromi dalam berkampanye untuk memilih 02. Oleh karena itu sah-sah saja apa yang dikatakan mantan ketua MK tersebut.

Namun perlu diingat, secara konseptual dan historis memang bisa dibenarkan statemen tersebut, akan tetapi secara kontekstual dan waktu, tidaklah tepat mengatakan Islam garis keras di khalayak umum pada saat ini, lebi-lebih kondisi saat ini masih keruh dan panas akibat Pemilu (pemilihan umum) yang dilaksanakan 17 April 2019 kemarin, terutama tingkat sensitifitas masing-masing kubu masih tinggi. Sehingga apapun yang dilontarkan ke muka umum, meski dengan niat baik, bisa saja dipelintir dan dipahami secara terbalik searah dengan radikalisme oleh oknum yang bersangkutan.

Alasan lain, bangsa ini baru saja ramai dan gaduh oleh isu khilafah sekaligus pembubaran ormas (organisasi kemasyarakatan) yang terindikasi mengusung sistem khilafah Maka sangat masuk akal bila frasa “Islam Garis Keras”di atas akan menyentuh dasar diri para kader ormas tersebut dengan anggapan ber-sinonim dengan radikalisme, atau membuat orang-orang yang sama sekali tidak terkait dengan Ormas tersebut takut disamakan secara ideologi.

Akan tetapi bagaimanapun yang dilakukan oleh Mahfud MD atas pernyataannya tersebut adalah niat baik yang sengaja dialamatkan kepada kedua kubu untuk melakukan rekonsiliasi politik.Sebab menurutnya, secara sebaran pemilih masing-masing kubu adalah berat sebelah dengan perolehan suara masing-masing calon, maka akan sangat merugikan daerah yang kontra terhadap presiden terpilih nantinya.

Oleh Salim, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Islam HMI Fakultas Syariah dan Hukum.

 

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru