30.8 C
Jakarta

Lawan Total Politisasi Agama dengan Semangat Moderasi

Artikel Trending

KhazanahPerspektifLawan Total Politisasi Agama dengan Semangat Moderasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Moderasi beragama dapat diartikan sebagai langkah untuk mengembalikan Islam ke ajaran aslinya. Mengukuhkan ruh dari suatu ajaran yang telah lama berkembang, sehingga apabila terjadi perbedaan, sikap moderasi tetap dijunjung tinggi. Prinsip moderasi beragama sudah sejak lama dijadikan sebagai agenda risalah Nabi, yang pada intinya menekankan prinsip tawassuth untuk menghindari sifat ghuluw yang nantinya berujung pada perbuatan ekstrem mengatasnamakan agama.

Sikap moderasi beragama harus sepenuhnya ditekankan, terutama dalam menyikapi perbedaan hukum. Dimana yang sering terjadi, perbedaan hukum antar umat mengakibatkan pertikaian dan diakhiri dengan pelabelan. Adanya label kafir dan muslim, bid’ah dan tidak bid’ah, dan berbagai pelabelan lain yang memecah umat menjadi kelompok-kelompok kecil.

Di sinilah fungsi narasi-narasi Islam yang beraliran persatuan berperan penting dalam menghadapi perbedaan. Moderasi beragama memegang peran dalam menumbuhkan sikap toleransi, saling menghargai, dan tidak terganggu pada perbedaan yang ada. Salah satu Imam besar Fikih Imam Syafi’i pernah berkata:

“Pendapat yang ada pada mazhab kami benar tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sementara pendapat yang ada pada mereka salah, akan tetapi memiliki kemungkinan benar”

Alunan pemikiran seperti inilah yang cukup menggambarkan Islam dalam keluasan berpikir. Bahwa Islam adalah agama yang membuka semua pemikiran untuk diserap nilai kebajikannya. Bahkan jika kita menarik akar historis dari penyebaran Islam di Nusantara, kita akan menemukan bahwa prinsip moderasi benar-benar ditekankan dalam setiap program dakwah yang dilakukan.

Akulturasi budaya menjadi salah satu bukti bagaimana agama benar-benar bisa hidup dalam tatanan budaya yang sudah terlanjur berkembang di masyarakat. Bahkan dalam budaya yang buruk sekalipun, dapat diganti dan tetap menggunakan konsep yang sama. Ambil contoh saja kebudayaan berkumpul masyarakat pada saat memperingati kematian, yang di zaman itu diperingati dengan bermain judi dan minum-minuman keras.

Oleh Walisongo, kebudayaan tersebut digiring sedikit demi sedikit ke arah yang lebih Islami. Pertama, mengganti kebudayaan judi dengan membacakan do’a bagi si mayit. Kedua, mengganti kebudayaan minum-minuman keras dengan menyediakan makanan yang halal, sehingga nantinya menjadi shadaqah yang dapat menambah pahala bagi si mayit.

BACA JUGA  Bulan Ramadan Jadi Sarana Penyebaran Paham Radikal, Waspada!

Lawan Pejuang Politisasi

Jika melihat tatanan moderasi tersebut, proses perjalanan agama Islam menjadi lebih lentur dan terstruktur. Tidak terlalu kaku dan mengajak seseorang ke arah yang lebih baik secara perlahan. Sehingga seseorang yang dahulu sangat kental akan budaya-budaya yang tidak baik, perlahan dapat menerima masukan-masukan budaya baik apabila karena proses memasukkannya yang begitu terstruktur.

Beda dengan pejuang politisasi, agama bagi mereka harus dijalankan searah dan tidak boleh bertentangan dengan konsensus yang sudah mereka tentukan. Bagi mereka, pemahamannya terhadap agama menjadi lebih penting daripada nilai-nilai sosial yang sebenarnya menjadi muatan pokok dalam beragama. Maka tidak jarang, orang yang melakukan politisasi agama bertindak kian agresif dan radikal dalam menyebarkan dakwah.

Parahnya mereka tidak sadar dengan apa yang telah mereka perbuat. Tindakan kekerasan, tindakan tidak berperikemanusiaan, atau pun tindakan represif yang beruntun pada mereka yang berbeda keyakinan dianggap sebagai suatu kebenaran dan patut diperjuangkan. Maka akan sangat sulit untuk menyadarkan orang seperti ini, karena belum menyadari sepenuhnya akan kesalahan yang dilakukan.

Tidak salah apabila penyadaran pelaku politisasi ini menjadi salah satu agenda yang penting. Selain karena efek sosialnya yang berbahaya, para pelaku politisasi ini juga bisa memengaruhi semua orang untuk bertindak hal yang sama. Semakin banyak pengikut, berarti semakin meluas agenda politisasi yang terjadi. Juga diartikan semakin tidak aman lingkungan dakwah yang dibangun.

Lawan dengan Moderasi

Melawan agenda politisasi tidak harus dilakukan secara frontal. Dapat juga dilakukan dengan metode-metode dialog antar pendakwah, yang nantinya akan mengerucut pada konsep menyebarkan Islam yang lebih baik. Penyadaran hanya bisa diraih apabila dicapai keikhlasan melepaskan keyakinan yang diperoleh, dan hal itu hanya bisa dicapai dengan cara kelembutan.

Semangat moderasi yang mempunyai sifat luwes dan menyisipkan nilai kebajikan secara perlahan, dirasa cocok untuk menyadarkan para pelaku politisasi yang selama ini memprakarsai agama dengan semangat yang kaku dan cenderung memaksa. Kekerasan tidak bisa disadarkan dengan kekerasan, justru sebaliknya kekerasan hanya bisa luluh dengan kelembutan dan cinta kasih. Dan di sinilah konsep moderasi menjadi penting dan efektif diterapkan.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru