31.2 C
Jakarta
Array

Lagi-Lagi Piagam Jakarta

Artikel Trending

Lagi-Lagi Piagam Jakarta
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Lagi-Lagi Piagam Jakarta

Oleh; Abdi Kurnia Djohan*

Piagam Jakarta kembali ramai dibicarakan setelah selama beberapa puluh tahun sepi dari perhatian pemerhati studi ketatanegaraan. Sosok Habib Rizieq lah yang kembali mengangkat isu Piagam Jakarta di dalam ceramahnya di Bandung beberapa waktu lalu. Di dalam pidato itu, beliau menegaskan bahwa Pancasila yang terdapat di dalam Piagam Jakarta adalah Pancasila yang resmi, sambil membandingkannya dengan konsep Pancasila versi Soekarno. https://m.youtube.com/watch?v=VuJcLvQwt9Q. Agaknya dengan mengangkat kembali isu Piagam Jakarta, Habib Rizieq ingin menegaskan bahwa penegakan syariat Islam sebenarnya sejalan dengan Pancasila.

Yang menjadi pertanyaan terhadap pidato beliau itu apakah dengan penegasannya itu, Habib ingin mengatakan bahwa Pancasila yang saat ini diberlakukan sebagai ideologi Negara itu tidak resmi? Mungkin hanya yang bersangkutan, yang memahami. Namun, dari pernyataan beliau tentang Pancasila versi Piagam Jakarta itu sebagai Pancasila yang resmi, sepertinya ada yang perlu diklarifikasi. Pertama, bahwa perumusan konsep tentang dasar Negara diinisiasi oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan (Dukuritu Zyunbi Tyoosakai) sebagai lembaga yang dibentuk Pemerintah Bala Tentara Jepang, untuk mempersiapkan transisi kekuasaan dari Jepang kepada rakyat Indonesia.

Untuk merumuskan konsep dasar Negara itu, BPUPK membentuk panitia kecil yang bertugas mengumpulkan usulan dari anggota-anggota (Iin) panitia kecil tentang konsep dasar Negara. Dari beberapa usulan yang disampaikan, usulan Ir. Soekarno, dan Mr. Moh. Yamin, adalah di antara yang dikenal. Rumusan Pancasila versi Mr. Moh. Yamin adalah sebagai berikut: 1. Peri Kebangsaan 2. Peri Kemanusiaan 3. Peri Ketuhanan 4. Peri Kerakyatan 5. Kesejahteraan Rakyat Adapun rumusan Pancasila versi Ir Soekarno adalah sebagai berikut’ 1. Kebangsaan Indonesia 2. Internasiolisme atau peri kemanusiaan 3. Mufakat atau demokrasi 4. Kesejahteraan Sosial 5. Ketuhanan. (sumber: Setneg RI, 1992).

Merupakan sebuah kekeliruan jika dikatakan bahwa penyampaian usulan Dasar Negara dianggap tidak mempunyai keterkaitan dengan BPUPK. Setidaknya itu bisa disimpulkan dari pernyataan Habib Rizieq bahwa Ir. Soekarno seperti sengaja menempatkan sila Ketuhanan di urutan terakhir, atau dalam bahasa beliau di bagian buntut. Jika dilihat dari rangkaian penjelasan beliau tentang Pancasila versi Piagam Jakarta dan Pancasila versi Ir. Soekarno agaknya Habib ingin menegaskan bahwa rumusan Pancasila versi Soekarno tidak mengakomodasi penerapan ajaran agama, termasuk di dalamnya penerapan syariat Islam.

Kesimpulan seperti itu tampaknya terlalu terburu-buru. Jika dibaca secara cermat, bagaimana uraian Soekarno mengenai konsep dasar negara yang diusulkannya pada sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945, akan dapat dibaca secara jelas bagaimana harapan Soekarno terhadap kehidupan beragama di Indonesia nanti: “Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip: 1. Kebangsaan 2. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan 3. Mufakat atau demokrasi 4. Kesejahteraan Sosial Prinsip Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang belum ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi, marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan yakni dengan tiada egoisme-agama. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan.” (setneg, 1992: 69).

Jika dibaca secara hati-hati uraian Soekarno di atas, akan dapat dipahami bahwa Soekarno adalah pribadi yang matang pemahaman keislamannya. Itu bisa dibaca dari bagaimana beliau membuat perbandingan antara Islam dan Kristen (!). Soekarno juga seperti memahami bahwa Islam adalah agama yang memberi kebebasan kepada manusia untuk memilih keyakinannya. Tapi, di sisi lain, Soekarno juga sadar bahwa setelah seseorang memilih Islam sebagai agamanya, ia akan terikat dengan aturan Islam. Setidaknya kalimat, “Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa”, ini menjadi petunjuk kepahaman beliau terhadap konsekuensi yang ditanggung oleh seorang muslim dengan memilih Islam.

Kedua, penyebutan bahwa Pancasila versi Piagam Jakarta merupakan Pancasila yang resmi tidaklah tepat. Dikatakan demikian karena lahirnya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 berada di luar Sidang BPUPK, yaitu pada masa reses. Hasan Zaini menjelaskan bahwa sidang BPUPK dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 dan pada tanggal 10 Juli-17 Juli 1945. (Hasan Zaini, 1985:6) A.B. Kusuma di dalam “Lahirnya UUD 1945” menulis bahwa rentang waktu antara 2 Juni-16 Juli 1945 adalah masa reses sidang BPUPK. Pada masa reses itu, ditandatangani Piagam Jakarta oleh 9 tokoh, sebagai bentuk kesepahaman para tokoh yang mewakili kelompok-kelompok masyarakat terhadap dasar Negara. Kesepahaman ini di dalam konteks hukum tidak bersifat mengikat sebagai undang-undang bagi para penanda tangannya.

Di dalam praktek, sebuah dokumen dikatakan resmi, jika dikeluarkan oleh sebuah lembaga yang kredibel atau subjek hukum yang secara absah menurut hukum melakukan tindakan hukum. Dalam kaitannya dengan Pancasila versi Piagam Jakarta, apakah bisa dikatakan itu yang resmi? Sebagai dasar negara, Piagam Jakarta belum bisa dikatakan resmi sebelum ditetapkan di dalam Sidang PPK tanggal 18 Agustus 1945. Piagam Jakarta baru berada pada tahap diterima sebagai draft final rumusan Dasar Negara pada tanggal 16 Juli 1945. (Hasan Zaini, 1985:7). Pada sidang PPK tanggal 18 Agustus 1945, draft final Dasar Negara yang berisi Piagam Jakarta itu diubah, dengan menghapus 7 kata dari Sila pertama. Dengan begitu, agak sulit untuk dikatakan bahwa Pancasila versi Piagam Jakarta itu adalah yang resmi.

Ketiga, sesuatu yang dilupakan Habib Rizieq dari pidatonya tentang relasi antara Pancasila dengan syariat Islam adalah dilupakannya pesan dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tidak diketahui apakah beliau tidak cermat di dalam membaca sejarah konstitusi atau memang sengaja membuang rangkaian sejarah, sehingga pembahasan tentang Pancasila yang beliau bawakan terkesan ingin membenturkan Piagam Jakarta dengan Rumusan Ir Soekarno. Hanya beliau yang tahu Padahal, jika kita baca kembali pesan yang disampaikan Soekarno pada saat mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran Dewan Konstituante, kembali kepada UUD 1945, tidak berlakunya UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS, Presiden Soekarno menyatakan bahwa Piagam Jakarta, Proklamasi, dan UUD 1945 adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Sekiranya pesan ini dipahami oleh Habib Rizieq, tentu beliau tidak membenturkan Piagam Jakarta dengan Pancasila yang berlaku saat ini. Semestinya yang beliau lakukan adalah menguatkan pemahaman tentang relasi tiga variabel yang disebutkan Presiden Soekarno tersebut. Justru yang harus dilakukan adalah kritik terhadap hasil amandemen UUD 1945 yang menghilangkan suasana kebatinan sebagaimana yang telah dikatakan oleh Presiden Soekarno tersebut.

Dari beberapa klarifikasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa mengangkat kembali isu pemberlakuan Piagam Jakarta sesungguhnya tidak lagi relevan dengan situasi yang berkembang saat ini. Memperbincangkan kembali Piagam Jakarta sama artinya mengajak bangsa ini untuk mundur sebanyak 71 tahun. Justru yang semestinya dilakukan adalah mengumpulkan kepingan-kepingan nilai keislaman dan kebangsaan yang belum diwujudkan di dalam konstitusi dan penyelenggaraan negara saat ini. Usaha itu harus dilakukan, karena di balik kepingan-kepingan itu terkandung spirit yang dapat menghidupkan gerak dinamis Negara dan bangsa ke arah yang dicita-citakan. Wallohul Muwaffiq []

*Penulis adalah pengajar MKU Agama di Universitas Indonesia

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru