27.3 C
Jakarta

Kontra-Propaganda: Mewaspadai Ancaman Chaos di Tengah Gejolak Politik Nasional

Artikel Trending

Milenial IslamKontra-Propaganda: Mewaspadai Ancaman Chaos di Tengah Gejolak Politik Nasional
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pernyataan eks-Kepala BIN, A.M. Hendropriyono di podcast Rhenald Kasali dengan judul “Hendropriyono: Bocoran Intelijen, Siapa Pemenang 2024?” beberapa hari lalu menarik untuk dikaji. Pasalnya, ada pernyataan menarik yang Hendropriyono sampaikan tentang ancaman yang mengintai negara ini. Ia mengatakan, “Siapa pun presiden yang menang tahun 2024, yang perlu diwaspadai adalah chaos.”

Mengapa statement tersebut menarik ditelaah? Alasan paling logis adalah karena tidak akan seorang Hendropriyono menyampaikan demikian kecuali memang ancaman tersebut benar-benar ada. Di sisi lain, iklim politik nasional tengah berada dalam gejolak yang mengkhawatirkan. Sebagian pengamat juga mengatakan bahwa tahun depan adalah saat-saat yang menakutkan karena rawannya kekacauan.

Di tengah gejolak politik seperti sekarang, penting bagi kita—sebagai warga negara—untuk memahami dan mewaspadai ancaman chaos tersebut. Bersamaan dengan situasi politik yang sulit, apa pun bisa terjadi. Apalagi tahun 2024 juga diyakini bertepatan dengan momentum satu abad runtuhnya khilafah Utsmani, menurut kalangan HTI, yang akan jadi tahun pembaruan (tajdīd). Ini semakin menambah kekhawatiran.

Penting dicatat bahwa ancaman chaos dapat datang dari pihak manapun, baik itu segelintir Muslim dengan pemikiran radikal-ekstrem, provokator politik, atau bahkan dari masyarakat umum yang terprovokasi ketegangan politik. Gejolak politik dapat menciptakan celah yang memantik kekacauan, konflik, dan kerusuhan sosial. Umat Islam, umat Kristen, umat Hindhu-Buddha, semuanya memiliki potensi untuk chaos.

Karena itu, upaya untuk melawan propaganda politik yang mengarahkn masyarakat ke dalam chaos itu mesti dilakukan seluruh elemen masyarakat. Terutama bagi mereka yang ego primordialismenya tinggi, itu bisa menjadi ceruk kekacauan. Media yang provokatif juga tidak ada bedanya, karena polarisasi berasal dari ketikan-ketikan redakturnya. Lalu, bagaimana cara mewaspadai ancaman chaos di tengah gejolak politik nasional?

Pentingnya Mawas Diri

Mawas diri dan tidak apatis dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi ke depan, seiring gejolak politik yang tak bisa ditebak, adalah keniscayaan. Ancaman chaos itu nyata, terutama ketika salah satu pihak merasa tercurangi. Anarkisme boleh jadi akan semarak dan sejarah pemberontakan akan terulang. Namun, mawas diri akan mencegah kemungkinan tersebut atau paling tidak meminimalisirnya.

Kewaspadaan kita, warga negara, sangat krusial dalam menghadapi ancaman chaos. Dengan demikian, kita mesti mengikuti perkembangan politik dengan bijak, memahami fakta dari hoaks atau sejenisnya, dan tidak termakan propaganda-propaganda yang bertujuan menciptakan ketegangan dan konflik. Apalagi hari ini tengah marak soal isu politik identitas, yang mudaratnya untuk persatuan sangat besar.

Bukannya mawas diri itu tugas para stakeholders, seperti aparat? Betul. Tidak hanya aparat, pemimpin politik juga memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga stabilitas nasional. Mereka harus bersikap bijaksana dalam menyampaikan pesan kepada publik, mengutamakan dialog, dan mencari solusi damai untuk menyelesaikan konflik politik. Termasuk di sini adalah para buzzers yang kerap merecoki masyarakat.

BACA JUGA  Propaganda Jihad sebagai Jalan Manipulasi Umat Islam

Selain itu, media massa memiliki peran sentral dalam membentuk opini publik. Karenanya, mereka wajib bertanggung jawab dalam menyajikan berita untuk menghindari hoaks. Opini publik tentang kecurangan, sebagai contoh, akan memengaruhi psikologi masyarakat dan mendorong mereka untuk terlibat anarkisme suatu waktu. Sama buruknya dengan opini publik ihwal keganasan umat Muslim yang disebabkan islamofobia.

Singkatnya, partisipasi aktif masyarakat dalam proses politik dapat menciptakan suasana kondusif, sekaligus konter terhadap potensi chaos tersebut. Masyarakat perlu berpartisipasi dalam kegiatan politik konstruktif, namun bukan politik praktis dengan kepentingan pragmatis. Salah satu caranya ialah membangun media yang orientasinya ialah melakukan kontra-propaganda secara sehat dengan prinsip-prinsip etis jurnalisme.

Membangun Media Sehat

Mewaspadai ancaman chaos di tengah gejolak politik adalah tanggung jawab bersama. Prinsip ini perlu disadari setiap orang. Memahami situasi politik dengan bijak dan berpartisipasi secara positif akan melahirkan stabilitas masyarakat. Dalam situasi sulit ini, kedewasaan dan kepemimpinan yang bertanggung jawab—bukan kepentingan pragmatis belaka—diperlukan untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara

Itu yang utama. Selanjutnya, di era digital yang sarat informasi dan disinformasi, media memegang peran kunci dalam membentuk opini publik. Dalam menghadapi gejolak politik dan ancaman chaos, media yang sehat punya peran krusial. Ini selaras dengan yang disampaikan Hendropriyono di podcast Rhenald Kasali kemarin, bahwa “kekuasaan ada pada siapa yang memegang media”.

Sebagai contoh, memerangi hoaks dan simulakra. Hoaks adalah sesuatu yang kejadiannya ada namun disebarkan dalam konteks yang berbeda, sehingga melahirkan kesalahan pemahaman. Sementara simulakra adalah penciptaan kebenaran berdasarkan kepentingan pihak tertentu. Dua hal ini bisa membuat masyarakat nekat bertindak apa pun, maka memeranginya adalah keputusan yang tak bisa ditawar.

Simulakra dalam konteks actual ialah ‘kecurangan Pemilu’. Sejatinya ia tidak pernah ada, tidak juga terjadi pada Pemilu 2019 silam. Namun terus disuarakan untuk memengaruhi emosi khalayak pada rival politiknya, rezim dalam hal ini, yang ketika merasa kalah maka pelampiasannya adalah chaos bahkan konflik sipil. Yang seperti jelas perlu diantisipasi bersama sebagai wujud kontra-propaganda.

Karena itu, media yang sehat memegang peran signifikasn untuk apa pun yang akan terjadi ke depan. Langkahnya dengan memverifikasi fakta, akurasi dan validitas sumber-sumbernya. Langkah lainnya ialah mendorong kritisisme dan literasi media yang mengedukasi publik dan memberdayakan pembaca. Bagaimana dengan membangun etika jurnalistik yang kuat? Ini bekal wajib. Netralitas dan integritas harus menjadi pegangan bersama.

Lalu siapa yang mesti ambil peran di sini? Membangun media yang sehat tidak hanya tanggung jawab para jurnalis, tetapi masyarakat umum. Dalam menghadapi gejolak politik dan ancaman chaos, media otoritatif adalah salah satu pilar terpenting. Stabilitas sosial-politik dan kritisisme hanya terjadi jika media mengedepankan kebenaran dan keadilan. Jika media malah tendensius dan pragmatis, terjadinya chaos hanya tinggal menunggu waktu.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru