26.6 C
Jakarta
Array

Khilafah vs Khalifah

Artikel Trending

Khilafah vs Khalifah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Khilafah vs Khalifah

Nahdlatul Ulama (NU) menyaksikan lautan darah anak bangsa sejak zaman penjajahan Belanda, kekejaman tentara Jepang, perang kemerdekaan, hingga pemberontakan PKI. Oleh karenanya, NU mengerti benar harga dan nilai dari NKRI. Bahkan sebagai ahli waris dakwah Walisongo, NU memiliki pengalaman batin panjang tentang perjuangan ulama Nusantara dalam membangun sebuah bangsa. Warga NU memiliki pengalaman batin di seluruh periode perjuangan bangsa, termasuk menjadi bagian dari lautan darah yang tertumpah di bumi Indonesia dalam mempertahankan kecintaan terhadap tanah kelahirannya.

Hal ini dapat ditelusuri dari catatan sejarah bahwa sebelum mendorong gurunya (Hadratus Syekh K.H.Hasyim Asy’ari) untuk mendirikan organisasi bagi para ulama, K.H.A. Wahab Hasbullah sebelumnya telah menjadi inisiator berdirinya beberapa organisasi antara lain Nahdlatul Wathon (Kebangkitan Tanah Air) dan Subbanul Wathon (Pemuda Tanah Air). Mbah Wahab benar-benar memahami fungsi kekhalifahan ulama dengan menggelorakan kecintaan umat kepada tanah airnya, bagaimana pun kondisinya. Semangat cinta tanah air mengalir di dalam tubuh NU menjadi ruh perjuangan seluruh ulama di dalamnya.

Hadratus Syekh K.H.Hasyim Asy’ari dengan tegas menyatakan bahwa “agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan.” Nasionalisme adalah rumah yang paling kokoh untuk menjaga dan mengabadikan semangat cinta tanah air. Bagaimana seorang muslim mengaku memiliki semangat cinta tanah air jika dirinya tidak memiliki nasionalisme? Cinta tanah air akan melahirkan nasionalisme, dan nasionalisme tidak akan terwujud tanpa cinta tanah air.

Puncak perjuangan ulama akhirnya terwujud dalam Proklamasi Kemerdekaan RI, yaitu perjanjian agung para ulama dengan seluruh elemen bangsa untuk mewujudkan fungsi kekhalifahan yang diembannya. Para ulama NU kemudian menyatakan bahwa NKRI adalah bentuk final perjuangan umat Islam Indonesia, yang harus dirawat bukan dirusak, termasuk dasar konstitusi yang menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila dan UUD 1945. Keduanya adalah tali yang merekatkan NKRI sebagai bagian dari perjanjian agung tersebut.

Upaya-upaya untuk mengganti Pancasila dengan selainnya berarti usaha untuk membubarkan perjanjian agung itu dengan perjanjian baru. Jika perjanjian baru yang ditawarkan itu ditolak oleh elemen-elemen bangsa ini, sehingga tidak menghasilkan apa pun, maka yang terjadi adalah bencana yang melanda Timur Tengah atau lebih buruk lagi. Kita akan kehilangan NKRI, kehilangan seluruh keamanan dan kedamaian yang telah diwujudkan ulama.

K.H. Fuad Affandi, pengasuh PP Al-Ittifaq Cidewei, Bandung, meriwayatkan bahwa Mbah Ma’shum Lasem mengatakan, “Pada lambang NU itu terdapat tali yang tersimpul. Itulah tali pengikat Indonesia. Kalau tali itu lepas, Indonesia akan meleleh bagaikan gulali.”

Pada dasawarsa 1980-an para ulama NU digoyang dan didorong-dorong untuk menolak Pancasila sebagai asas tunggal organisasi kemasyarakatan. K.H. As’ad Syamsul Arifin, Sukorejo, Asembagus, Situbondo dengan tegas menyatakan,

“Seandainya Pancasila dirusak, NU harus bertanggung jawab! Umat Islam wajib membela Pancasila! Ini sudah mujma’alaih (konsensus ulama)!” Beliau juga menyatakan, “Islam wajib menerima Pancasila dan haram hukumnya menolak. Sila pertama itu selaras dengan doktrin tauhid dan Qul huwallahu Ahad.”

Di pesantren beliau dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama, Desember 1983 para ulama NU mempertegas kembali dukungan finalnya terhadap Pancasila. Hari-hari ini untuk membendung gelombang fitnah (=ujian/bencana) yang masuk ke Indonesia dalam upaya memperlemah kesaktian Pancasila, para ulama NU menyatakan NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 adalah harga mati. Upaya ulama NU mewujudkan kekhalifahannya agar tetap dapat menggelar syiar agama dengan damai.

Para ulama NU tidak mengingkari berbagai bentuk ijtihad yang berbeda dari ulama-ulama di belahan bumi Islam lainnya, terkait bentuk-bentuk perjanjian sebuah bangsa dalam mewujudkan sebuah negara, termasuk negara-negara Islam yang berdiri di Timur Tengah dan Afrika. Hal itu mengingat sejarah panjang para ulama di masing-masing negeri Islam dalam mewujudkan fungsi-fungsi kekhalifahannya. Para ulama NU juga tidak mengingkari sejarah panjang kekhilafahan Islam di masa lalu sebagai ijtihad bersama para ulama dalam rangka menjalankan otoritas kekhalifahannya yang berbentuk kerajaan.

Ijtihad-ijtihad itu dapat berbeda di setiap negeri sesuai kemaslahatan terwujudnya fungsi-fungsi khalifah dengan baik. Sebagian gerakan (seperti Hizbut Tahrir/HTI), menyamakan khalifah dengan khilafah, artinya untuk mewujudkan fungsi khalifah harus dengan membentuk sebuah negara khilafah. Padahal khalifah dan khilafah adalah dua hal yang berbeda. Jika khalifah (dalam Al-Qur’an disebut “khalifah fil ardh”) adalah kewajiban yang melekat di dalam diri seorang ulama dan disyariatkan langsung oleh Allah, sedangkan khilafah adalah perkara ijtihadiyah terkait bentuk negara. Fungsi khalifah harus diwujudkan oleh seorang ulama, tetapi khilafah adalah pilihan.

Inilah yang harus dipahami, yaitu khalifah harus didahulukan daripada khilafah. Sebab sebagai pilihan, khilafah tidak menjamin fungsi-fungsi khalifah terwujud. Sebagai pilihan, dibutuhkan dasar pemahaman yang benar dan mendalam tentang visi dan misi ulama sebagai khalifah. Ulama yang tidak memahami pentingnya jaminan terwujudnya fungsi-fungsi khalifah dan menjadikan pilihan khilafah sebagai pilihan final, akan membahayakan bagi pelaksanaan fungsi-fungsi khalifah.

Di sinilah kesalahpahaman itu terjadi, yaitu mendahulukan khilafah daripada khalifah. Asumsi yang diyakini berbagai gerakan ini pun terbalik, bahwa satu-satunya jalan untuk mewujudkan khalifah adalah dengan menegakkan negara khilafah. Padahal tersedia banyak pilihan untuk menjamin terwujudnya fungsi-fungsi khalifah.

Apabila pemahaman yang salah ini kemudian menjadi ideologi, saat-saat fungsi-fungsi khalifah berhenti akibat dari fitnah gerakan-gerakan khilafah, mereka tetap tidak mampu melihat kesalahan ini. Hal ini disebabkan keterbalikan manhaj di atas, yakni khilafah menjadi tujuan bukan pilihan cara sehingga fungsi-fungsi khalifah yang seharusnya selalu dijaga menjadi terlupakan.

Andaikata seluruh ulama, seluruh gerakan Islam berpegang kepada sebuah prinsip bahwa fungsi-fungsi khalifah tidak boleh berhenti dan menjadikannya asas atas seluruh gerakan dakwah, maka dunia Islam di mana pun akan diliputi perdamaian dan persaudaraan. Di sinilah tampak kecerdasan ulama-ulama Nusantara yang dengan tepat memahami fungsi mereka sebagai khalifah Allah di muka bumi, yaitu harus selalu mewujudkan bumi yang penuh kedamaian.

Wallahu a’lam.

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru