30.1 C
Jakarta

Kekeliruan Kaum Garis Keras Memahami Demokrasi yang Harus Diwaspadai

Artikel Trending

KhazanahPerspektifKekeliruan Kaum Garis Keras Memahami Demokrasi yang Harus Diwaspadai
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sistem demokrasi sampai sekarang menjadi sebuah pertanyaan bagi beberapa kalangan umat Islam, “Apakah sistem demokrasi islami? Apakah sistem demokrasi sesuai dengan ajaran Al-Qur’an? Serta beberapa pertanyaan-pertanyaan yang sering diperdengarkan oleh mereka.

Sekte inilah yang kemudian mengingkari sistem kenegaraan dan sampai sekarang masih menginginkan sistem negara yang mereka yakini sebagai ajaran Islam, sebut saja sistem khilafah. Dalam beberapa tahun terakhir, ideologi yang dianut oleh beberapa sekte yang mengingkari akan sistem demokrasi cukup meresahkan bagi warga negara Indonesia.

Sebagai contoh tragedi bom bunuh diri yang terjadi di Kampung Melayu Jakarta Timur pada tahun 2017 yang mengakibatkan 5 orang tewas dan 10 orang luka-luka. Disusul dengan insiden bom bunuh diri di sebuah gereja di Surabaya pada tahun 2018. Kemudian terjadi kembali insiden bom bunuh diri pada tahun 2019 di sebuah pos pengamanan Sukoharjo (okezone.com, 14/11/19).

Beberapa kasus di atas sebagian besar pelakunya teridentifikasi sebagai golongan yang menolak akan sistem negara yang berlaku termasuk demokrasi, sehingga mereka menganggap dengan melancarkan bom bunuh diri dan merusak fasilitas aparatur negara yang mereka anggap sebagai toghut, merupakan sebuah tindakan jihad yang diperintahkan oleh Al-Qur’an.

Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan kami bahas sedikit mengenai kesalahpahaman (misunderstanding) sekte tersebut dalam memaknai sistem demokrasi di Indonesia.

Terminologi Syura dalam Al-Qur’an

Berlandaskan pada sebuah ayat وشاورهم فى الامر “dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam sebuah urusan” (Ali ‘Imrān: 152).

Jika melihat konteks turunnya ayat tersebut adalah berkenaan dengan konteks Perang Uhud (3 H/625 M) antara umat Muslim dan para kaum kafir penduduk Makkah di mana Muslim hampir saja mengalami kekalahan.

Kemudian Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk bermusyawarah kepada para sahabatnya guna mencari sebuah solusi terbaik bagi mereka. (Saeed, 2014: 246)

Meskipun terjadi beberapa perdebatan di kalangan mufasir mengenai term tersebut, sebagian mengatakan bahwa konsep Syurā hanya dapat diterapkan dalam perang dan sebagian lagi berpendapat bahwa konsep Syurā dapat dijadikan sebagai ideologi dalam sistem pemerintahan.

Terdapat pendapat menarik dari seorang mufassir yang selalu dijadikan sebagai rujukan para sekte non-nasionalis, yaitu Sayyid Quthb menyebutkan bahwa ayat tersebut merupakan sebuah anjuran bagi umat Islam dalam berdiskusi dan berdialog untuk memecahkan suatu permasalahan dan menentukan sebuah keputusan demi kemaslahatan bersama termasuk dalam sistem kenegaraan (Saeed, 2014: 253).

Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, apa relasi antara konsep Syurā dalam Al-Qur’an dengan demokrasi sebagai sebuah sistem negara? Berikut akan kami jelaskan pada poin berikutnya.

BACA JUGA  Indonesia Zero Radicalism: Perkuat Toleransi, Hancurkan Fanatisme!

Sistem Demokrasi sebagai Aplikasi Konsep Syūra

Berangkat dari sebuah definisi demokrasi secara praktis yang merupkan sebuah gagasan menyangkut negoisasi dan dialektisasi dalam konteks sosial, budaya dan politik tertentu. Sistem demokrasi sebagaimana disebutkan dalam Pancasila merupakan sebuah konsep yang mengedepankan hak-hak mayoritas dan menghargai setiap pendapat warga negara Indonesia.

Sistem demokrasi adalah sebuah solusi bagi negara dalam mengatasi sistem monarki, di mana rakyat dianggap sebagai sebuah elemen penting bukan hanya penguasa yang berhak merumuskan kebijakan-kebijakan negara. Yang sekarang ini sistem negosiasi antar warga negara dengan pemerintahan terwakilkan oleh parlemen-parlemen tertentu seperti DPR.

Syaikh al-Azhar Mesir, Ahmad al-Tayyib pernah menuturkan bahwa sistem demokrasi sesuai dengan ruh Islam atau Maqāsid al-Syari’ah ia berperan dalam memajukan pengetahuan dan sains, membangun keadilan dan kesetaraan, melindungi kebebasan martabat manusia, dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang dipegang dalam Islam.

Dalam sebuah karya yang berjudul “Kritik Ideologi Modern” ditulis oleh AFKAR (Anggota Forum Kajian Agama dan Realita) para Mahasantri Ma’had Aly Lirboyo, menjelaskan bahwa dalam kajian politik Islam sebagaimana kita ketahui bahwa pemimpin negara dikatakan sah mendapatkan suara mayoritas dari rakyat kemudian dibaiat oleh anggota DPR (Makky dkk, 2019: 257).

Eksistensi dewan perwakilan adalah representasi dari suara rakyat, yang di mana ketika seorang pemimpin disahkan oleh dewan perwakilan maka, pemimpin tersebut disahkan oleh suara rakyat. Maka hakikat seorang pemimpin adalah wakil dari rakyat bukan penguasa rakyat. Maka pada prinsip demokrasi inilah senapas dengan spirit nilai-nilai syari’at dalam Islam.

Sebagaimana yang dituturkan oleh al-Qurthubī فان الامام هو وكيل الامة ونائب عنها (seorang pemimpin adalah wakil rakyat dan utusan mereka). Jika seorang pemimpin dianggap sebagai seorang wakil rakyat, maka menjadi mutlak hukumnya bagi pemimpin untuk memberikan kebijakan-kebijakan atas dasar kemaslahatan, sedangkan salah satu jalan menuju kemaslahatan adalah dengan berdemokrasi antarsesama rakyat (Makky dkk, 2019: 257).

Dari beberapa ulasan di atas dapat kami pahami bahwa sistem demokrasi tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam. Sistem demokrasi merupakan bentuk eksplorasi dari konsep Syurā dalam Al-Qur’an.

Selain itu, sistem demokrasi mengedepankan spirit kemanusiaan dan kemaslahatan bagi seluruh warga negara, yang di mana hal itu sesuai dengan ruh ajaran Islam. Sistem demokrasi juga merupakan hasil reduksi dari tujuan utama Maqāsid al-Syari’ah untuk diterapkan sebagai sistem negara.

Latif Sulton, M.A
Latif Sulton, M.A
Pegiat Kajian Islam dan Politik

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru