34.8 C
Jakarta

Jalan Terjal Kehidupan Muslim Thailand Selatan: Melihat Perjuangan Masyarakat Sipil Mendapatkan Keadilan

Artikel Trending

KhazanahTelaahJalan Terjal Kehidupan Muslim Thailand Selatan: Melihat Perjuangan Masyarakat Sipil Mendapatkan Keadilan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com-Kaum Muslim Pattani di Pattani merupakan kelompok Muslim di daerah Thailand Selatan yang mengalami konflik serta benturan dengan pemerintah. Perlu diketahui bahwa, Kawasan Pattani merupakan merupakan bagian dari kerajaan Melayu yang memiliki corak Islam. Pada tahun 1909 Pattani masuk dalam wilayah Thailand setelah penandatanganan perjanjian perbatasan Thailand-Malaya. Kenyataan inilah menjadi titik balik dari konflik Muslim Pattaya ketika mendapatkan perlakuan yang cukup diskriminatif dari pemerintah Thailand.

Ada beberapa hal yang perlu di diketahui terkait latar belakang konflik Muslim Pattaya, di antaranya: pertama, sikap dan tidanakan diskriminatif pemerintah Thailand terhadap kaum minoritas Islam di Pattani. Kedua, ketidakmerataan pembangunan ekonomu di Thailand Selatan. Ketiga, pemerintah Thailand menerapkan trinitas yang hanya mengakui satu kebangaan Thai, satu agama Buddha dan tunduk kepada raja. Kebijakan ini kemudian membuat para Muslim di Thailand, tidak mendapatkan hak untuk sebagai warga negara karena identitas keagamaan yang dimiliki. Perlu diketahui bahwa, populasi masyarakat Thailand berdasarkan agama terdiri dari Buddha (90%), sisanya 10% terdiri dari pemeluk Islam, Katholik, Kong Hutju dan Hindu.

Masalah bermula ketika para Muslim di Pattani, dengan latar belakang sejarah yang cukup kompleks, yakni berasal dari etnis Muslim melayu, di mana seluruh aspek kehidupan yang dilakukan oleh kelompok Muslim berkiblat kepada Melayu. Bahkan kelompok Muslim ini juga menerapkan sistem hukum Islam sebagai landasan dalam menjalankan kehidupan keberagamaan yang dijalankan. Pada tahun 1932, Pemerintah Thailand menerapkan sistem pendidikan nasional yang menyatukan seluruh kelompok agama dalam satu bangsa. Nasionalisme yang diusung oleh pemerintah Thailand, berdampak negatif terhadap nilai-nilai religiusitas dan nilai lokal yang selama ini dimiliki oleh Muslim Pattani.

Muslim Melayu menolak kebijakan ini karena mengakibatkan dekulturisasi Melayu. Penolakan ini dikarenakan dua hal: pertama, kewajiban menggunakan bahasa Thai dalam pengajaran dianggap mengancam keberadaan bahasa Melayu. Bagi orang Melayu Muslim, bahasa Siam adalah bahasa asing karena tidak digunakan dalam kehidupan sehari hari. Penggunaan bahasa yang berbeda antara di sekolah dan di luar sekolah akan mengakibatkan kebingungan anak didik. Kedua, tidak adanya ruang untuk mempelajari Islam dalam bahasa Siam.

Hal ini dikarenakan Siam identik dengan Buddha, sehingga penggambaran-penggambaran dalam materi pembelajaran dianggap sebagai upaya memasukkan ajaran Buddha ke dalam pendidikan Islam. Penolakan Muslim terhadap kebijakan pemerintah mengakibatkan tidak diberikannya dana pendidikan bagi sekolah Muslim. Madrasah atau pondok yang tidak mengikuti kurikulum pemerintah tidak terdaftar dalam kementerian pendidikan.

BACA JUGA  Menyikapi Hasil Keputusan MK: Mari Belajar Bernegara dengan Bijak

Kebijakan ini berdampak buruk terhadap kehidupan kelompok Muslim karena secara jenjang karir di masa yang akan datang, kelompok Muslim tidak mendapatkan hak yang setara sebagai warga negara. Pergolakan konflik ini terus mengakar karena kelompok Muslim dianggap sebagai kelompok penentang. Padahal, penentangan tersebut dilakukan dalam rangka mempertahakan nilai-nilai yang selama ini sudah menjadi pijakan kehidupan kelompok Muslim.

Perjuangan Para Perempuan Sipil Muslim Thailand

Salah satu upaya yang dilakukan oleh perempuan Muslim Thailand adalah ruang kesadaran untuk memahami konflik yang terjadi di negaranya. Sebagai kelompok minoritas yang mendapatkan diskriminasi dari mayoritas serta tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah Thailand, para perempuan yang hidup di daerah tersebut harus memiliki daya tahan yang cukup kuat menghadapi setiap gejolak yang ada.

Upaya-upaya untuk meningkatkan ruang kesadaran tersebut dilakukan dengan beberapa hal, di antaranya: kampanye digital untuk mempromosikan perdamaian. Luasnya jangkauan yang dimiliki oleh media sosial, menjadikan ruang kampanye ini sangat perlu dipahami oleh pengguna media sosial agar bisa melihat konflik Muslim Pattani lebih dekat. Di samping itu, kampanye digital yang dilakukan ini juga memerlukan kapasitas dari masing-masing kelompok atau individu. Artinya, untuk menunjang terhadap upaya tersebut, kegiatan training of trainer bagi kelompok/individu sebagai penguatan kapasitas diri dalam memproduksi narasi perdamaian yang akan disebarkan secara digital.

Tidak hanya itu, promosi toleransi tidak hanya diberikan kepada kelompok Muslim saja, akan tetapi seluruh kelompok agama yang ada di Thailand, utamanya kelompok Buddha, Kristen, serta agama yang lain dalam rangka memperkuat hubungan antar agama, sehingga mampu menciptakan ruang perdamaian dan memberi ruang aman bagi setiap pemeluk agama yang ada di Thailand.

Meskipun upaya-upaya tersebut sudah dilakukan, tentunya perlu penguatan kesadaran dan kolaborasi masyarakat sipil untuk terus memperjuangkan hak-hak yang dimiliki oleh masing-masing warga negara, tanpa melihat latar belakang suku, ras dan agama tertentu. Pemberian perhatian terhadap kasus yang dialami oleh Muslim Pattani di Thailand, merupakan bentuk kesadaran utuh bahwa konflik dengan dasar agama, perlu diputus dan tidak boleh diwariskan kepada generasi selanjutnya. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru