27.6 C
Jakarta
Array

Humanasisasi Ilmu Keislaman dalam Konteks Ilmu Tasawuf

Artikel Trending

Humanasisasi Ilmu Keislaman dalam Konteks Ilmu Tasawuf
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pada abad ke-10 ketika kerangka pondasi dan formulasi keilmuan Islam era ‘asr tadwin itu dilakukan. Istilah yang muncul belakangan sesuai dengan perkembangan paradigma filsafat ilmu adalah adanya keinginan bahkan tuntutan untuk melakukan humanisasi hukum Islam, bahkan lebih luas lagi yaitu humanisasi ilmu-ilmu keislaman yang berbeda cara kerjanya dari Islamisasi ilmu pengetahuan.[1] Menurut Hasan Hanafi, penyebab keterbelakangan masyarakat muslim dan ketertinggalan pola berpikirnya dari masyarakat modern barat adalah faktor yang bersifat epistemologi. Ia melihat keterbelakangan masyarakat muslim dikarenakan umat Islam mensakralisasi ilmu – ilmu keislaman. Mengatasi hal ini Hanafi melakukan humanisasi ilmu-ilmu keislaman. Hanafi melakukan desakralisasi dan deabsolutisasi terhadap ilmu-ilmu keislaman sehingga lebih bersifat antroposentris, historis dan terbuka terhadap kritik.

Keilmuan dalam Islam secara etimologi mempunyai beberapa istilah. Pertama, tarbiyah dengan kata kerja rabba’ yang artinya pendidikan. Dalam al-Qur’an, kata kerja rabba‛ (mendidik). Kedua, ta’lim dengan kata kerja ’allama, yu’allimu yang artinya pengajaran.[2] Menurut Nasuka, bahwa yang dimaksud ilmu-ilmu keislaman adalah ilmu-ilmu agama Islam. Ilmu-ilmu agama Islam sendiri adalah keseluruhan pengetahuan yang disusun secara sistematis dan metodis yang mencakup tentang ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, yang bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Ruang lingkup ilmu-ilmu agama Islam (relegious knowledge), misalnya mencakup bidang akidah (ilmu kalam), syari’ah (ilmu fiqih), dan akhlak (ilmu tasawuf).

Menurut KBBI, Humanisasi adalah penumbuhan rasa perikemanusiaan.[3] Menurut Musthafa Rahman, humanisme merupakan cara pandang terhadap dunia yang menekankan manusia beserta sifat dasar dan peran atau kedudukannya di dunia, humanisme Islam adalah humanisme religius yang didasarkan pada ajaran Islam.[4] Humanisasi berarti memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan, dan kebencian dari manusia, dengan melawan tiga hal yaitu dehumanisasi (objektivasi teknologis, ekonomis, budaya, atau negara), agresivitas (agresivitas kolektif, dan kriminalitas), loneliness (privatisasi, individuasi). Dan humanisme Islam sendiri memandang manusia sebagai sumber kesempurnaan dan kebaikan. Dengan alasan, hanya manusialah satu-satu makhluk yang mendapatkan Ruh Ilahi, yang kemudian menjadi penyebab manusia memiliki fitrah atau potensi. Menurut Musthafa Rahman, fitrah atau potensi dan aktualisasinya inilah yang menjadi ciri utama kemanusiaan (humanitas) manusia.[5] 

Hal ini didasarkan pada ayat al-Quran surat al-Hijr ayat 29 yang artinya, “maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian) nya, dan Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”[6] Ayat di atas juga sekaligus menjadi dasar humanisme Islam bersifat religius-transendental. Dan transendensi[7] Tuhan dalam Islam tidak menjauhkan rahmat dan inayah-Nya kepada manusia. Dengan kata lain, humanisme Islam mengandung dua dimensi sekaligus, yakni dimensi vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal berupa hubungan baik kepada Allah, sedangkan dimensi horizontal berupa hubungan baik kepada sesama manusia.

Humanisasi Ilmu keislaman adalah upaya “memanusiakan manusia” dengan jalan memberikan kesempatan kepada penuntut ilmu untuk mengaktualisasikan dan menumbuh-kembangkan potensi atau fitrah yang dimilikinya.  Atau dalam ranah praktisnya, mengajarkan keimanan tidak hanya bertolak pada teks kitab suci, tetapi juga melalui pengalaman hidup dengan mengahadirkan Tuhan dalam mengatasi persoalan kehidupan individu dan sosial.

 Sedangkan Tasawuf sendiri berasal dari kata shafa yang berarti jernih, bersih, atau suci, makna tersebut sebagai nama dari mereka yang memiliki hati yang bersih atau suci, maksudnya adalah bahwa mereka menyucikan dirinya dihadapan Allah SWT melalui latihan kerohanian yang amat dalam yaitu dengan melatih dirinya untuk menjauhi segala sifat yang kotor sehingga mencapai kebersihan dan kesucian pada hatinya. Amin Syukur berpendapat bahwa tasawuf adalah latihan dengan kesungguhan (riyadloh, mujahadah) untuk membersihkan hati, mempertinggi iman dan memeperdalam aspek kerohanian dalam rangka mendekatkan diri manusia kepada Allah sehingga segala perhatiannya hanya tertuju kepada Allah.[8]

Ilmu Tasawuf sendiri memfokuskan pada aspek spiritual dari Islam. Dilihat dari keterkaitannya dengan kemanusiaan, tasawuf lebih menekankan pada aspek kerohanian dari pada aspek jasmani, dalam kaitannya dengan kehidupan manusia tasawuf lebih mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia.Tasawuf juga menjelaskan ilmu untuk menuju Allah dengan thoriqoh, zuhud, maqamat, mahabbah, hulul, dan istilah wahdatul wujud yang menuai polemik yang berkepanjangan ditengah masyarakat, sehingga memunculkan tokoh sufi yang mendukung konsep wahdataul wujud bahkan ada yang menentangnya.

 Sehingga ilmu Tasawuf termasuk dalam ilmu keislaman membahas tentang ketuhanan (theology) yang selama ini terlalu bersifat teosentris, atau merupakan barang langit, barang mati terlalu melangit yang tidak lagi aplicable (bisa diaplikasikan) di tengah-tengah masyarakat dan seperti menggantung di awang-awang karena tidak tersentuh oleh pemikiran baru. Sehingga gagasan dalam strategi pengembang ilmu-ilmu keislaman salah satu caranya dengan humanisasi keilmuan islam yang bertujuan agar ilmu-ilmu keislaman dapat menjawab tantangan zaman, khususnya pembebasan umat islam dari belenggu keterbelakangan.

 Hamzah Fansuri merumuskan sistem ontologi canggih yang dapat dijadikan acuan perjalanan spiritual manusia dalam konsep transendental. Beberapa bagian dari rangkaian syair Hamzah Fansuri dapat menunjukkan bagaimana pemikiran transendentalnya. Manusia dalam pandangan Hamzah Fansurî adalah makhluk transendental yang harus menemukan jalannya di alam spiritual. Dan dunia baginya hanya sebuah persinggahan sementara.

 Sedangkan praktik dan teori keilmuan Islam yang selama ini berjalan terlalu terburu-buru “menyempurnakan” manusia dengan memberikan konsep-konsep ketuhanan, lalu memberikan rambu-rambu akhlak. Tidak heran kenapa keilmuan Islam yang berlaku justru membuat manusia semakin sulit melepaskan diri dari perkara duniawi yang pada akhirnya manusia cenderung “hubbud dunya”, seakan manusia selalu dikuasai oleh dunia. Akibatnya pelaksanaan pendidikan Islam menjadi jauh dari prinsip humanisme. Ajaran Hamzah Fansuri sebenarnya dapat dijadikan landasan konstruksi epistemologi dan ontologi humanisasi keilmuan Islam. Karena ajarannya sangat bersesuaian dengan nilai esensial filosofi dasar negara yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang menuntut terlaksananya sisi kemanusiaan dalam segala aspek kehidupan. Ajaran Hamzah Fansuri yang sarat dengan prinsip humanisme dapat dibuktikan dengan latar belakang ajaran ‘irfan yang diajarkannya. Ajaran tersebut benar-benar berlandaskan pada prinsip cinta kasih sesama manusia, harmonisme dengan alam dan relasi transenden dengan Tuhan. Prinsip-prinsip tersebut ingin diaktualisasikan dalam praktik dan filosofi humanisasi pendidikan Islam. [9]

 Hamzah Fansuri memperingatkan agar para penunntut ilmu didalam menuntut ilmu tidak terjebak oleh ambisi duniawi. Evaluasi atas pelaksanaan keilmuan Islam dewasa ini hanya befokus pada bagaimana alumni sekolah dan perguruan tinggi Islam memiliki jatah yang sama dengan alumni pendidikan umum dalam dalam memperebutkan peluang-peluang kerja dan kursi-kursi duniawi. Kompetisi tersebut dijadikan tujuan utama dan indikator keberhasilan pelaksanaan keilmuan Islam yang membentuk paradigma manusia sejak dini untuk mencintai dunia. Misalnya, sekolah selalu dijadikan alasan untuk meraih cita-cita. Dan opsi cita-cita yang dibuat bagi murid harus berorientasi dunia. Berbanding dengan itu, para orang-orang ‘arif senantiasa menekankan agar kompetisi dunia benar-benar harus dihindari. Kompetisi duniawi adalah praktik evaluasi pelaksanaan pendidikan yang bertentangan dengan sisi kemanusiaan dan memunculkan dehumanisasi. Pelaksanaan keilmuan Islam tidak boleh mengusung orientasi dunia karena itu adalah bahaya yang dapat merusak hati, pikiran dan badan.[10] Islam sebaliknya bertujuan menjadikan manusia sebagaia hamba yang taat dan menerapkan nilai-nilai yang sesuai dengan perintah. Dwitunggal orientasi pendidikan tersebut adalah cara mewujudkan humanisasi keilmuan Islam.

 Dengan demikian, keilmuan dalam pandangan orang-oranng ‘arif adalah usaha menjadi ahlullah. Menjadikan pikiran, tindakan dan wujud semata-mata adalah Allah. Cara mencapainya adalah dengan mendayagunakan segala kemampuan setiap yang dimiliki manusia. Dengan mendayagunakan segala potensinya, akan teraktualisasi empati yang tinggi dari manusia kepada sesama manusia. Keilmuan Islam bertujuan untuk menumbuhkan dan mendayagunakan empati supaya terjauh dari egoisme dan menumbuhkan humanisme.

 Dan tujuan humanisasi ilmu keislaman adalah untuk membentuk manusia insan kamil,[11] atau manusia yang telah berhasil mengaktualisasikan semua potensi yang dimilikinya dengan maksimal dan seimbang. Sehingga apa yang dilakukan merupakan perwujudan dari tugas dan fungsinya di bumi, yakni di samping untuk beribadah juga untuk menciptakan kemakmuran bagi kehidupan di bumi. Dengan demikian manusia bisa mendapatkan kebahagiaan di dunia dan juga di akhirat. 

 

[1] Tsuwaibah, Epistemologi Unity Of Science Ibn Sina Kajian Integrasi Keilmuan Ibn Sina Dalam Kitab Asy-Syifa Juz I dan Relevansinya dengan Unity Of Science IAIN Walisongo, Jurnal UIN Walisongo 2014, hlm 30

   [2] Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 25-27

   [3] IndonesiaTim Penyusun Kamus Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 561.  

   [4] Musthafa Rahman, Humanisasi Pendidikan, (Jakarta: Walisongo Press, 2011) hlm. 53

   [5] Masbur, Integrasi Unsur Humanisasi, Liberasi dan Transidensi, Jurnal Edukasi Vol 2, Nomor 1, 2016, hlm. 47

   [6]  Kementrian Agama Islam Indonesia, Al-Quran Al-Karim dan terjemah per kata, (Bandung: Penerbit Semesta Al-Qur’an, 2013), hlm. 263

   [7] Transendensi mempunyai makna teologis, yakni ketuhanan, maksudnya bermakna beriman kepada Allah SWT. Transendensi bertujuan menambahkan dimensi transendental dengan cara membersihkan diri dari arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden. Singkatnya, menghendaki manusia untuk mengakui otoritas mutlak Allah SWT

   [8] Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, Dimensi Esoteris Ajaran Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm 11

 [9] Ismail Fahmi Arrauf Nasution, Humanisasi Pendidikan Islam Melalui Antropologi Transendental Hamzah Fansûrî, Jurnal IAIN Langsa, Aceh, Indonesia, Vol. 12, No. 1, 2017, hlm 249

 [10] Az-Zarnuji, Ta’lim muta’alim (Jakarta : Mutiara Islama, 2009), hlm. 102

   [11] M. Bashori Muchsin, dkk., Pendidikan Islam Humanistik Alternatif Pendidikan Pembebasan Anak” (Bandung: Refika Aditama, 2010), hlm. 13

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Artikel Terkait

Artikel Terbaru