28.4 C
Jakarta
Array

Hoak dan Pers Pancasila

Artikel Trending

Hoak dan Pers Pancasila
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dewasa ini, sering kita menemukan dan bahkan membaca berita-berita yang tidak sesuai dengan kenyataan (hoak). Terlebih dalam setahun kedepan bangsa Indonesia akan menyambut pesta demokrasi yang paling prestisius. Tentunya, selebaran berita-berita hoak akan semakin bertebaran dimana-mana. Pembangunan isu akan terus digalakkan oleh berbagai media untuk kepentingan kelompok masing-masing.

Meskipun pada akhir tahun kemarin telah diberlakukan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), penyalahgunaan internet (sebagai salah satu penyedia layanan informasi terkini) masih saja terjadi, bahkan semakin menjadi-jadi. Tak begitu sulit menemukan contohnya, jika kita memiliki Instgaram, pasti kita akan acapkali menemukan postingan-postingan yang berbau hoak. Bahkan seringkali menyudutkan suatu golongan. Netizen biasanya menyebut dengan akun nyinyir.

Padahal, jika kita melihat perkembangan pers tempo dulu, Indonesia termasuk negara yang begitu hati-hati dalam menggunakan pers. Bahkan Anwar Arifin mencanangkan bahwa Indonesia memiliki aliran pers sendiri. Berbeda dengan negara-negara lain yang condong menggunakan empat macam pers yang banyak digandrungi oleh negara-negara lain.

Siebert Peterson, dalam bukunya Four Theories of The Press, menyatakan bahwa pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur sosial politik di dalam mana sistem pers itu diterapkan. Hal ini mencerminkan sistem pengawasan sosial dengan hubungan antara orang dan lembaga yang akan selalu diatur. Orang harus melihat pada sistem-sistem masyarakat dimana pers itu berfungsi.

Dalam buku tersebut, Siebert Peterson mengelompokkan teori pers menjadi empat macam, antara lain teori pers Otoritaria, Komunis, Tanggung Jawab, dan Liberalis.

Di Indonesia, teori pers Otoritarian diartikan sebagai teori pers yang menganggap nilai kebenaran berada di tangan pemerintah. Lembaga-lembaga pers swasta memiliki hak untuk mendirikan lembaga pers dengan syarat tidak akan bertentangan dengan pemerintah. Sistem pers yang demikian ini dulunya pernah diterapkan ketika awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan pada masa pemerintahan presiden kedua Indonesia, Soeharto.

Teori pers yang kedua yakni Komunis, yakni teori pers yang mulai berkembang di Rusia. Sistem pers ini muncul karena adanya penolakan terhadap pemerintahana NAZI. Kekerasan yang dilakukan oleh pemerintahan yang diktator memaksa masyarakat kecil, terlebih bagi kaum buruh untuk menyuarakan aspirasinya. Dari sinilah sistem pers ini tumbuh dan berkembang, yaitu sebaga wadah protes kaum buruh terhadap pemerintahan.

Dua teori pers yang terakhir yaitu teori pers tanggung jawab dan teori pers liberalis. Teori pers leberalis merupakan tanggapan dari teori pers tanggung jawab. Dalam pelaksanaannya, teori pers Tanggung jawab dianggap kurang efektif. Hal ini dikarenakan ketidakadaan sekat antara pemerintah dengan masyarakat biasa. Alhasil semua kebrobokan yang ada di pemerintahan bisa dengan mudah diketahui oleh masyarakat. Akibatnya animo ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan semakin besar.

Sistem Pers Pancasila Yang Luntur

Dalam sebuah negara, tidak menutup kemungkinan untuk menerapkan keempat teori tersebut. Dan bahkan sebuah negara bisa menciptakan teori persnya sendiri. Hal ini didasarkan kepada kebutuhan teknologi dan informasi negara tersebut. Seperti halnya negara yang baru merdeka, maka teori pers yang biasanya diterapkan adalah teori pers Otoritarian. Hal ini dilakukan untuk memupuk tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan yang baru berdiri.

Menurut Anwar Arifin (1992), sistem pers yang diterapkan di Indonesia adalah teori pers Pancasila. Semangat pers Pancasila ini mencoba untuk mengambil semua kelebihan yang dimiliki oleh keempat teori pers diatas dan meminimalisir dampak negatif yang diakibatkannya. Secara gagasan, teori pers ini memang baik, akan tetapi pada praktiknya, teori pers ini dinilai masih jauh dari yang diharapkan.

Nakalnya lembaga-lembaga pers yang ada di Indonesia disinyalir menjadi awal mulai runtuhnya teori pers Pancasila. Banyak media-media yang sudah melepaskan ideologinya demi uang, bahkan tak jarang yang menjual independensinya. Hal ini bisa dilihat saat pemilihan presiden 2014. Bagaimana media-media menjadi pendukung masing-masing calon yang dijagokannya.

Masalah lain yang sering dialami teori pers Pancasila ini yaitu tingginya rating tayangan-tayangan yang tidak memiliki nilai pendidikan, seperti sinetron, infotaiment, iklan, dan lain-lain. Di media cetak pun juga tidak jauh berbeda. Banyak media-media cetak yang mengumbar gambar-gambar tidak senonoh. Parahnya lagi, banyak media-media Indonesia yang membuat berita palsu demi mengejar popularitas.

Padahal, jika kita menengok dari konsep yang digambarkan oleh Anwar Arifin tidak demikian. Semangat pers yang dulu digalakkan oleh ahli komunikasi ini seakan sudah mulai termakan usia. Gagasan hanyalah tinggal gagasan, dan kini yang terpenting adalah uang. Jadi tidak salah jika orang menyebut lembaga-lembaga pers di Indonesia sebagai lembaga pers komersial.

Untuk mengembalikan semangat pers Pancasila sebagaimana yang digagas oleh Anwar Arifin memang tidak mudah. Mengingat sudah menjamurnya dunia infotaiment Indonesia dengan tayangan-tayangan yang tidak memiliki nilai pendidikan. Akan tetapi bukan tidak mungkin untuk memperbaikinya atau bahkan membuatnya lebih baik lagi.

Perlu adanya kerja sama antara pemerintah dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Lembaga Sensor Film Indonesia (LSFI) untuk mengawasi setiap tayangan dan pemberitaan yang tidak memiliki nilai, terlebih nilai pendidikan. Adanya lembaga khusus yang diberi kewenangan untuk menegakkan UU ITE tentunya akan lebih membantu pemerintah dalam menekan angka persebaran berita hoak. Wallahu A’lamu bi Al-Shawab.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru