29.7 C
Jakarta
Array

Menelusuri Epistemologi Faidhul Barākat Fī Sab’il Qirā’at

Artikel Trending

Menelusuri Epistemologi Faidhul Barākat Fī Sab’il Qirā’at
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ada sisi menarik dari kitab karya Kiai Arwani Amin al-Qudsi, disamping sebagai kitab qirā’at al-Qur’an fenomenal di Nusantara, Kiai Arwani juga menulis karyanya ini saat masih berstatus santri di Pesantren al-Munawir Yogyakarta, dan ini jarang terjadi pada tradisi pesantren, terlebih karyanya ini menjadi fenomenal. Faidhul Barākat Fī Sab’il Qirā’at ditulis ketika Kiai Arwani masih mengaji kitab Hirzul Amāni karya Syekh al-Qurra Abu Muhamad al-Qasim al-Syathibi (w. 590 H/1194 M). Seperti yang disebutkan di atas, bahwa dalam muqaddimahnya, Kiai Arwani mengutip ayat al-Qur’an, Q.S. al-Syu’ara ayat 193-195; Nazzala Bihirūuhul Amīn, ‘Alā Qalbika Litakūna Minal Mundzarīn, Bilisānin ‘Arabiyin Mubīn, dan Hadits Nabi; Innal Qur’āna Unzila ‘Alā Sab’ati Ahrūfin, Faqro-u Mā Tayassaro Minhu, sebagai pengantar pemahaman bahwa salah satu hal penting bagi pengkaji (kebahasaan) al-Qur’an adalah harus mengetahui qirā’at sab’ah.

Tujuan lain dari mempelajari qirā’at al-Qur’an adalah untuk menjaga otentisitas al-Qur’an itu sendiri, disamping itu, ada misi untuk memberikan ‘propaganda’ agar Muslim bersedia belajar dengan sungguh-sungguh (khususnya dalam qirā’at al-Qur’an), seperti apa yang dilakukan Nabi kepada Malaikat Jibril yang mengevaluasi bacaan Nabi, dan sahabat kepada Nabi sendiri. Memahami proses ini, penulis berkeyakinan bahwa dalam mempelajari al-Qur’an, akan lebih valid ketika memiliki guru yang akurasi sanandnya bersambung sampai pada Nabi (ittiṣālu sanad).

Kiai Arwani menunjukkan sikap kehambaan-nya, dengan cara meminta keridhoan Allah agar dapat mengamalkan ilmunya (ilmu qirā’at), hal ini senada dengan sebuah Hadits; Khoirukum Man Ta’allamal Qur’āna wa ‘Allamahu. Pada sisi lain, Kiai Arwani memberikan sebuah indikasi bagi Muslim untuk terus belajar, khususnya dalam budaya tulisan – sebagai penguat keilmuannya – Kia Arwani mengutip sebuah qaul; Ilmu sama halnya dengan hewan buruan, ikatlah hasil buruan tersebut dengan ikatan tali yang kuat. Analogi yang dibangun Kiai Arwani pun cukup menarik; ketika seseorang menyepelakan hasil buruannya, tidak mengikatnya dengan kuat, atau menyerahkannya pada orang yang bukan ahlinya, maka besar kemungkinan ilmunya akan lepas – tidak mengalami perkembangan keilmuan.

Kitab Faidhul Barākat Fī Sab’il Qirā’at mengandung beberapa metode dan cara tentang bagaimana melafalkan (membaca) al-Qur’an, namun bukan pada ranah tajwid yang berisi tentang hukum bacaan secara mutlak. Beberapa hal yang menjadi penting bagi Kiai Arwani adalah tentang waqaf pada setiap awal ayat, argumentasi yang dibangun adalah karena hal tersebut merupakan perintah Nabi (marfu’), salah satu cara menjaganya adalah dengan struktur kata dalam al-Qur’an, agar memudahkan bagi pemula yang ingin mempelajari kebahasaan al-Qur’an. Bagi Kiai Arwani, al-Qur’an (kitab Allah, kalāmullah) merupakan representasi sebuah ilmu paling mulia, dan cara memuliakan al-Qur’an adalah dengan membacanya, dan mentadaburi (sesuai kaidah yang sudah ditetapkan). Menarik bagi penulis, tentang logika yang dibangun Kiai Arwani terkesan teologis; kemuliaan al-Qur’an ibarat dzat Allah dengan selain Allah, artinya, bagi Muslim yang beriman, tentu meyakini bahwa kuasa Allah tidak ada yang menandingi, jadi, al-Qur’an adalah kitab suci yang paling mulia, yang bisa mengantarkan Muslim pada kebaikan universal, karena al-Quran tentu memuat sifat Allah sebagai Tuhan seluruh alam semesta.

Betapa pentingnya menulis, Kiai Arwani sampai pada tahap normatif, bahwa hukum menulis kitab (ilmu) adalah fardhu kifayah. Mempelajari qirā’at sab’ah sama saja dengan menjaga turats (tradisi) keislaman, karena ilmu tentang qirā’at al-Qur’an adalah warisan para ulama salaf, yang sumber utamanya dari Nabi. Hal ini sama halnya dengan apa yang terjadi pada masa Nabi, bahwa Nabi meresepsi budaya Arab pada saat itu tentang bagimana sahabat mencoba membaca al-Qur’an dengan dialeknya masing-masing. Bagi peneliti, Kiai Arwani dalam menulis kitab tersebut adalah sebagai bentuk kearifan lokalnya terhadap respsi beberapa masyarakat pada saat itu -atau bahkan hari ini- yang menganggap bahwa qirā’at al-Qur’an adalah sesuatu aneh. Ada sebuah dimensi moralitas yang dibawa oleh Kiai Arwani, untuk mengatakan bahwa dalam membaca al-Qur’an harus sesuai dengan kaidah bacanya, baik tajwid, makhraj, hingga qirā’at al-Qur’an.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru