26.1 C
Jakarta

Fazlurrahman dan Teori Double Movement

Artikel Trending

Asas-asas IslamTafsirFazlurrahman dan Teori Double Movement
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Menurut Fazlurrahman bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an harus kontekstual dan mampu menjadi solusi bagi problem yang dihadapi oleh umat muslim. prinsip ini didasarkan pada ontologis yang meyakini bahwa al-Qur’an adalah kitab yang sohihu likulli zaman wa makan. Dalam menjaga dan menjalan prinsip ini Fazlurrahman menggunakan teorinya dalam menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan teori hermeneutika double movement. Yaitu sebuah metode penafsiran yang memposisikan nash al-Qur’an sebagai bagian dari budaya, artinya dalam turunnya wahyu menrut Rahman tidaklah terlepas dari konteks sosio-historis, menurutnya juga bahwa Qur’an merupakan respons terhadap situasi yang sebagian besarnya merupakan pernyataan-pernyataan moral, religious dan sosial yang menanggapi berbagai persoalan spesifik dalam situasi konkrit. Oleh karenanya dalam menafsirkan al-qur’an harus bergerak dari situasi sekarang kemasa lampau guna melihat konteks sosio-hostorisnya dan menemukan prinsip-prinsip ideal moral kemudian kembali pada situasi sekarang guna menemukan kontekstualisasi atas nilai-nilai tersebut.

Dalam menjalanka teori double movemen Fazlurrahman melihat konteks sosio historis disertai dengan pertimbangan kombinasi pola penalaran induksi, pertama dari yang khusus (partikular) kepada yang umum (general) dan yang kedua dari general kepada yang partikular. Hal ini didasarai karena Rahman mengakui jika wahyu al-Qur’an adakalanya diturunkan untuk menjawab bagi situasi khusus atau pernyataan umum dan adakalnya al-Qur’an diturnkan guna menjelaskan hukum yang bersifat umum.

Oleh karenanya dalam mewujudkan teorinya, mufassir harus benar-benar memahami situasi dan kondisi bangsa Arab pada awal Islam serta kebiasaan, pranata-pranata dan pandangan hidup orang Arab. selain itu mufassir harus memposisikan ayat al-Qur’an sebagai sesuatu yang bersifat situasional, karena tidak rasional apabila kita berpendapat bahwa al-Qur’an diajarkan  tanpa menyinggung aktifitas-aktifitas nabi yang meliputi bidang politik, ekonomi dan pengambilan keputusan. Yang kemudian Fazlurrahman menempatkan prinsip ini pada sunnah nabi sebagai metode Ijtihad.

Kontekstualisasi Surah al-Baqarah Ayat 256 Berdasarkan Teori Fazzurrahman

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.

seperti yang dijelaskan diatas menganai konteks sosio-historis dari turunnya ayat tersbut, maka mengacu dari teori Fazlurrahman dapat dilihat jika aspek sosio-historis secara partikular adalah ketika terdapat seorang laki-laki yang mempunyai dua anak beragama Nasrani kemudian seorang lelaki tersebut melapor kepada nabi lalu turunlah ayat tersebut. Kemudian aspek sosio historis general dimana pada masa tersebut nabi hidup di-Madinah berdampingan dengan berbagai macam agama, termasuk Yahudi, Nasrani dan kaum Sobiin. Maka dapat disimpulan bahwa kodisi soiso-historis mada mesa itu tergolong pada masyarakat plural. Namun faktanya nabi tidak membeda-bedakan mereka dalam menentukan kebijakan kewarganegaraan yang notabenenya pada saat itu nabi selain sebagai pemimpin agama beliau juga menyandang sebagai kepala Negara. Terlihat dari putusan-putusan yang surat dalam piagam sebagaimana dijelaskan diatas bahwa “masing-masing klompok bebas menjalankan agamanya masing”.

BACA JUGA  Tafsir Ayat Perang: Melihat Konteks Qs. al-Taubah [9]: 29 dalam Tafsir Buya Hamka

Maka, berdasarkan teori Fazlurrahman, ayat tersebut tidak hanya menjwab situasi khusus melainkan ayat tersebut dapat diambil maknanya secara general yang dimana ayat tersebut juga menjawab persoalan umum. Dengan berangkat dari analisis tersebut dapat di simpulkan jika ideal moral ayat tersebut adalah terletak pada sikap toleransi.

Dari kesimpulan tersebut tentu akan menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan ayat-ayat yang lain yang menjelaskan tentang anjuran seorang muslim mendakwahkan agama islam. Melihat bagaimana Fazlurrahman bagaimana memposiskan nabi sebagai Ijtihadis maka dapat dijawab dengan beberapa hadis nabi yang menjelaskan bagaimana seorang muslim selayaknya mendakwahkan Islam. Hal itupun sejalan dengan definisi dakwah menurut R. al-Faruqi, ia menyebutnya bahwa dakwah terbagi kedalam tiga term yaitu: kebebasan, rasionalitas, universalisme, menurutnya ketiganya saling melengkapi. Menurtunya juga bahwa da’wah bukanlah paksaan, dakwah adalah ajakan yang tujuannya dapat tercapai tanpa adanya paksaan dari dakwah itu sendiri.

Kemudian pertanyaan lain akan timbul bagaimana dengan ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang kesesatan agama selain Islam, apakah dengan bertoleransi sama saja kita sebagai umat muslim hendak membiarkan kesesatan mereka. Untuk menjawab demikian maka harus kembali pada dasar ideology keberagamaan terkait semua aspek baik sisi tauhid, syari’at dan sebagainya. Yang pada intinya berangkat dari pendangan Taha jabir al-alwani bahwa toleransi keberagamaan merupakan bagian dari sprit syari’ah yang menjadi salah satu tujuan penting dari tujuan-tujuan syari’ah. Karena bagaimanapun esensi dari keberagamaan adalah adanya sebuah keyakinan yang mendalam dari dalam diri manusia sebagaimana pernyataan Fazlurrahman yang mengatakan jika setiap individu mempunyai presepsi dan keyakinan yang tidak dapat dipaksakan. Demikian pula dengan bagaimana Islam mendefiniskan iman dengan: تصديق بالجنان واقرار بالسان وعمل با لجوارح

Berangkat dari kesimpulan idela moral diatas yang mengacu pada teori Fazlurrahman maka kembali pada prinsip double movement dalam mengkontekstualisasikan ayat tersebut. Secara umum konteks sosio-historis pada masa ini terutama dalam lingkup keberagaman yang notabenenya berkebangsaan Indonesia yang berkomposisikan banyak macam Ras, Suku, Budaya dan agama. maka dengan kesimpulan bertoleransi merupakan prinsip yang selaras. Pasalnya jika meriview konteks soisio-historis pada masa pewahyuan ayat tersebut tidak jauh berbeda dengan konteks sosio-historis pada saat ini.

Pada intinya adanya sebuah printah sikap toleransi adalah sebuah upaya dari al-Qur’an yang mengarahkan pada masyarakat yang egaliter, sosial-harmonis, dan bermoral. Sebagaimana yang sebutkan oleh Fazlurrahman bahwa agama bukan hanya sebatas doktrin ideologis yang mistis dan tidak rasionalis, melainkan al-Qur’an adalah sebuah wahyu yang menjawab problem sosial secara rasional dan aktual.

 

Latif Sulton, M.A
Latif Sulton, M.A
Pegiat Kajian Islam dan Politik

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru