33.8 C
Jakarta

Fasiq Dalam Bernegara: Antara Abu Bakar Ba’asyir dan Felix Siauw

Artikel Trending

CNRCTFasiq Dalam Bernegara: Antara Abu Bakar Ba’asyir dan Felix Siauw
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kedua figur ini pernah dikenal sebagai pejuang khilafah yang tangguh dari generasi yang berbeda. Ust. Abu Bakar Ba’asyir (ABB) dari masa kolonial. Sedangkan Felix Siauw (FS) dari generasi milineal. Ust. ABB keturunan Arab. Sejak lahir sudah Islam. Adapun FS keturunan Cina yang baru masuk Islam pada usia 18 tahun. Ust. ABB ikon gerakan wahabi jihadi. Sedangkan FS ikon dari gerakan tahriri-siyasi.

Karena kegigihan keduanya memperjuangkan khilafah di wilayah NKRI, Ust. ABB dan FS itu, WNI bukan? Pertanyaan ini perlu diajukan lagi, setelah Ust. Abu Bakar Ba’asyir (ABB) tetap menolak menandatangani pernyataan setia kepada NKRI dan Pancasila sebagai syarat bebas dari penjara. Rencananya besok Ust.ABB keluar dari penjara. Karena faktor kemanusiaan, mengingat usianya sudah 82 tahun, Ust. ABB bebas murni setelah divonis 15 tahun penjara karena terbukti secara sah dan meyakinkan terlibat pendanaan terorisme.

Kasus yang sama juga terjadi pada Felix Siauw (FS) saat akan mengisi pengajian di Masjid Manarul Islam, Bangil, Pasuruan (2017). FS menolak menandatanganani tiga poin yang diajukan oleh Banser Pasuruan sebagai syarat.  Pernyataan tersebut: Pertama, Mau mengakui Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, tidak mendakwahkan konsep khilafah dalam pengajian tersebut. Ketiga, bersedia meninggalkan HTI yang telah dibubarkan pemerintah.

Ada kesalahan memahami Islam di balik sikap penolakan Ust. ABB dan FS terhadap NKRI dan Pancasila. Tampak dari alibi yang kemukakan. Keduanya hanya mengakui Islam. Bumi ini milik Allah. Harus diatur dengan syari’at dan hukum Allah. Mengakui NKRI dan Pancasila dianggap menyalahi aqidah dan syariat Islam. Bisa membatalkan keislaman (murtad). Dan akan mati dalam keadaan kafir.

Pejuang-pejuang khilafah yang berpikiran seperti Ust. ABB dan FS, mereka tidak bisa membedakan antara hakikat dengan syariat. Bahwa bumi milik Allah, bahwa wewenang membuat hukum adalah hak Allah, bahwa hanya hukum Allah yang harus tegak, dan lain sebagainya, merupakan hakikat-hakikat dalam ajarah Islam. Tidak ada yang menolak hakikat-hakikat tersebut. Pancasila pada sila pertama juga mengakuinya.

Hakikat-hakikat dalam ajaran Islam diwujudkan dan dikongkritkan di dalam syari’at-syari’at. Yang masih syari’at, di-fiqih-kan. Yang masih abstrak dikongkritkan. Yang masih umum, dikhususkan. Yang masih mutlak, dibatasi. Yang masih general, didetailkan. Yang masih tekstual, dikontekstualkan melalui ijtihad berdasarkan dalil, kaidah, dan maqashid syariat yang dilakukan oleh ulama yang berkompeten di bidangnya.

Kesalahan pejuang-pejuang khilafah yang berpikiran seperti Ust. ABB dan FS, mereka memandang empat pilar bangsa dan negara Indonesia: NKRI, Pancasila, UUD 45 dan Bhineka Tunggal Ika dengan kacamata hakikat. Padahal keempat pilar tersebut produk dari syari’at yang dihasilkan melalui proses ijtihad syar’i oleh para ulama yang dikenal jujur, ikhlas dan tulus. Keempat pilar tersebut dirumuskan justru dalam rangka merealisasi hakikat-hakikat dari ajaran Islam.

Sebagaimana kata Imam Malik, hakikat tanpa syariat adalah fasiq. Adapun syariat tanpa hakikat adalah zindiq. Saidi Syekh Muhammad Hasyim Al-Khalidi guru Mursyid dari Ayahanda Prof. Dr. Saidi Syekh Kadirun Yahya MA. M.Sc mengibaratkan syariat laksana baju sedangkan hakikat ibarat badan. Fasiq dalam bernegara yaitu menginginkan tegaknya hukum-hukum Allah swt tapi menolak syariat Islam dalam bentuk konsensus dan konstitusi negara. Fasiq dalam bernegara pertama kali dilakukan oleh kaum khawarij dengan jargon la hukmu illa lillah.

Pejuang-pejuang khilafah yang berpikiran seperti Ust. ABB dan FS ingin menegakkan hukum-hukum Allah swt tapi tidak mengakui, menerima dan taat kepada pemerintah NKRI, Pancasila, UUD 45 dan Bhinne Tunggal Ika, adalah orang-orang yang ber-hakikat tanpa syariat. Mereka “berbadan tapi telanjang.” Selain fasiq dalam bernegara, perjuangan mereka juga palsu, penuh tipu-tipu dibaluti hawa nafsu. Mereka membawa kerusakan di tengah masyarakat dan mengancam eksistensi bangsa dan negara.

Muslim sejati adalah yang mengintegrasikan hakikat dan syariat pada dirinya. Mengamalkan hakikat di dalam batinnya, dan mengamalkan syariat dengan jasad lahiriyahnya. “Hakikat tanpa syariat adalah kepalsuan, sedang syariat tanpa hakikat adalah sia-sia.” Imam Malik berkata, Barangsiapa menghimpun keduanya [syariat dan hakikat], itulah jalan yang benar.”

Ayik Heriansyah
Ayik Heriansyah
Mahasiswa Kajian Terorisme SKSG UI, dan Direktur Eksekutif CNRCT

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru