26.1 C
Jakarta
Array

Erdogan dan Runtuhnya Legitimiasi Arab Saudi

Artikel Trending

Erdogan dan Runtuhnya Legitimiasi Arab Saudi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Bukan rahasia lagi ketika saat ini telah terbentuk blok-blok kekuatan persekutuan antar Negara yang ada didunia. Beberapa persaingan kepentingan wilayah terpaksa membuat Negara – Negara yang berada diwilayah rawan perebutan pengaruh tersebut dituntut memiliki ‘kawan bertahan’.

Gambar terkait
Source Image : alalam.ir

Sejauh yang banyak orang ketahui saat ini hanya ada tiga kekuatan besar yaitu Amerika Serikat dan kroni, Rusia  dan kawan komunisnya serta liga arab yang mencoba ‘bertahan’ di timur tengah. Kekuatan terakhir yang disebutkan merupakan yang terlemah bahkan tidak jarang saling mengkhianati dan terkadang membelot kepada salah satu kekuatan Amerika atau Rusia.

Timur tengah merupakan representasi kekuatan dunia islam, perpecahan diantara Negara-negara penghuni wilayah ini tidak terlepas dari hilangnya perekat. Ya , pasca runtuhnya Kesultanan Turki ottoman pada 3 maret 1924 perekat dan komando pemersatu itu memang hilang. Umat islam mulai berpecah dan Arab Saudi dianggap sebagai sebuah Negara dengan legitimasi wilayah dan history yang dianggap paling layak untuk menerima sandaran keputusan yang mewakili kekuatan umat.

Arab Saudi, sebuah monarki dan rumah bagi tempat kelahiran Islam, secara historis melihat negara itu sebagai pemimpin dunia Muslim. Namun Iran muncul sebagai penantang yang nyata dikawasan timur tengah membawa bendera sekte Syiah pada 1974. Arab Saudi dianggap musuh utama yang mewakili Islam Sunni. Konfrontasi kedua Negara islam itu terus terjadi saja selama bertahun-tahun tanpa sadar mereka tengah ditunggangi dua kekuatan besar yang sudah kita bicarakan sejak awal.

Tentu bukan rahasia lagi jika Arab Saudi bisa se-superior saat ini menancapkan pengaruhnya karena ada Amerika Serikat dibelakangnya. Dan Rusia berada sebagai penyokong utama Iran utamanya dalam konflik Suriah dimana Iran dan Rusiah menjadi pendukung utama untuk Presiden Bashar al-Assad mengalihkan sebagian besar kelompok-kelompok pemberontak yang didukung oleh Arab Saudi.

Turki Dan Erdogan

Hasil gambar untuk erdogan vs raja salman
Reccep Tayyib Erdogan (source : tribunews.com)

Negara – Negara islam terus saja diadu domba dan dieksplitasi dengan leluasa tanpa pernah belajar dari rumpun lain yang diperlakukan sedemikian. Korea Utara dan Korea Selatan harusnya menjadi sebuah ‘pertunjukan’ nyata yang member pelajaran besar bagi Negara – Negara islam diseluruh dunia khususnya timur tengah.

Namun belakangan perpecahan itu sedikit merendah sejak muncul kekuatan baru yang sebenarnya nama lama. Ya , Daulah yang pernah bubar dan kocar – kacir pada masa Kemal At-taturk itu kini bangkit menjadi kekuatan baru islam. Turki yang merupakan bekas reruntuhan Kekhalifahan islam terakhir itu kini bangun kembali setelah sekian lama tertidur dibawah bendera sekulerisme.

Nama Erdogan sudah melambung sejak keberhasilanya menjadi walikota Istanbul. Namanya semakin bersinar ketika berhasil memenangi kursi Perdana menteri Turki pada 2003 silam. Kepemimpinanya membawa Turki merangsek pada masa terbaiknya dengan peningkatan ekonomi yang fantastis sehingga membawa turki masuk kedalam G-20, kumpulan Negara dengan ekonomi terkuat didunia. Turki berhasil meroket ke posisi 16 padahal sebelumnya Turki berada diurutan 111.

Rasanya tak cukup berlembar-lembar membahas prestasi dalam negeri seorang Erdogan dari mulai ekonomi, pendidikan, pengangguran yang berkurang dari 33% menjadi 2% serta keberhasilanya menggalakkan swasembada senjata dan peralatan militer. Tak pelak hal itu membuat Turki sebagai Negara yang sangat disegani dari segala sisi baik, ekonomi, militer dan politik, tiga aspek yang bisa membuat sebuah Negara tak bisa didikte oleh Negara lain.

Timur Tengah Memilih

Dengan munculnya Turki sebagai Negara dengan kebijakan luar negerinya yang dianggap sangat berani menentang kekuatan – kekuatan utama dunia seperti Amerika serikat dan Rusia, hal ini tentu mempengaruhi pamor Arab Saudi yang selalu menjadi rujukan utama sebagian besar Negara islam dunia.

Belakangan Arab Saudi mulai ditinggalkan mayoritas Negara islam ketika terlalu banyak manuver politik Arab Saudi yang tak terbantahkan lagi ‘arah condongnya’ kemana.

Dewasa ini tidak lebih dari 10 negara yang masih bertahan dengan koalisi yang dipimpin Arab Saudi dari koalisi awal yang diklaim berjumlah 34 Negara termasuk Indonesia, meskipun akhirnya beberapa Negara mengaku terkejut Negara mereka dicatut dalam koalisi anti terorisme itu.

Dalam beberapa isu ke-umatan terakhir, Turki dianggap lebih gesit dalam merespon setiap kejadian yang ada. Seperti penyikapan Reccep tayyib Erdogan dalam tragedy kemanusiaan yang menimpa saudara – saudara muslim rohingya di Myanmar. Erdogan dengan sikap politiknya yang memadukan antara kecerdasan dan kecepatan merespon isu ini dengan mendesak Negara-negara islam untuk bertindak cepat bersama sama membantu ribuan muslim Rohingya di Rakhine,Myanmar. Mengutip internasional.sindonews.com, Desakan itu disampaikan Erdogan saat berbicara di telepon dengan Presiden Mauritania Mohamed Ould Abdel Aziz, Presiden Pakistan Mamnoon Hussain, Presiden Iran Hassan Rouhani dan Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani pada Kamis (31/8/2017).

Al Quds Dan Konsistensi Sikap

Konflik perebutan kota suci Al quds (orang Israel menyebutnya Jerussalem) secara diplomasi telah menunjukan kepada dunia islam siapa sebenarnya pengayom dan pemimpin Negara Negara islam.

Tiga kekuatan Negara muslim terbesar ditimur tengah menunjukan sikap yang beda-beda tipis terhadap isu pengakuan  Jerussalem oleh Amerika Serikat. Arab Saudi memilih bersikap lunak bahkan sempat memilih untuk ‘berpihak’ kepada Amerika. Sikap keberpihakan itu menyusul berita newyork times yang memberitakan bahwa pangeran mahkota Arab Saudi  Mohammed bin Salman mengajukan proposal usulan kepada Palestina untuk menjadikan Abu Dis sebagai Ibu kota saat kunjungan Presiden Palestina Mahmoud Abbas ke Riyadh bulan lalu. Meskipun akhir-akhir ini Saudi mengklarifikasi melalui Raja Salman bahwa mereka berada dipihak palestina untuk terus memperjuangkan Jerussalem.

Iran memilih sikap diplomasi yang cukup tegas dengan menghimbau kepada Negara-negara Arab dan Islam agar secara bersama-sama menentang kebijakan Amerika Serikat. Sikap ini tentu dikeluarkan karena memang sedari awal amerika menjadi musuh bersama Iran dan Rusia. Sayangnya sikap tegas ini tidak dibarengi dengan manuver politik yang konkrit.

Dari kedua Negara diatas, Turki sekali lagi dianggap menjadi Negara yang mampu memainkan peran diplomasi luar negerinya dengan sangat luar biasa. Selain bersikap keras, Erdogan membuat respon yang konkrit dengan mengumpulkan  Negara – Negara islam yang tergabung dalam organisasi kerja sama islam (OKI) untuk berkumpul dalam KTT yang diselenggarakan di Istanbul,Turki. Erdogan menyerukan agar seluruh Negara anggota OKI mengakui Jerussalem sebagai Ibu Kota Palestina dalam forum yang dihadiri oleh presiden Jokowi itu.

Pergerakan politik dilomasi luar negeri Turki nyatanya berhasil menggaet Negara-negara islam lain untuk bergandengan tangan bersama-sama membela palestina. Hasilnya siding majelis umum PBB  yang membahas resolusi majelis umum tentang  status jerussalem berhasil ‘menampar’ Amerika dan sekutunya dimuka umum. Sekali lagi Erdogan berhasil menjadi Pemimpin harapan baru umat muslim dunia.

Islam akan mencari panglimanya sendiri

Ketidakhadiran Saudi Arabia dalam KTT OKI telah mencoreng nama mereka sendiri dihadapan 57 negara islam yang hadir waktu itu. Tentunya Arab ditemani Mesir, Bahrain dan UEA tiga Negara yang juga tidak hadir dalam pertemuan denga agenda terpenting umat islam, Al Quds.

Isu Al Quds kemarin telah menimbulkan sebuah fakta baru bahwa Saudi Arabia yang dahulu dianggap sebagai jantungnya Negara islam telah kehilangan legitimasi itu dimata Negara-negara islam. Kecerdikan Erdogan mengelola isu Jerussalem ini telah membuat Turki merebut posisi yang dahulu ditempati Arab.

Erdogan dianggap lebih tegas dalam membela kepentingan umat

Dalam hal ini sikap Turki tidak bisa disalahkan. Karena mencari penayom terkuat adalah sikap yang alamiah. Negara – Negara islam tentu memiliki perhitungan yang rasional dalam memilih kiblat politiknya. Dan panglima yang akan terpilih adalah panglima yang paling siap dan paling kuat, Turki membuktikan itu.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru